Membaca Statistik tentang Kasus Bullying di Indonesia

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Media massa kita kembali diramaikan oleh pemberitaan mengenai aksi bullying di kalangan remaja. Mulai dari kasus SMP plus Baitturahman di Bandung hingga kasus bullying di SDN 159 OKU Sumatera Selatan.

Nampaknya bullying tidak pernah surut dari lembaga pendidikan kita, bahkan dari tahun ke tahun seperti tergambar pada data statistik yang coba saya himpun berikut ini.

Pada tulisan ini, saya menampilkan data statistik tentang kasus bullying terlama  adalah tahun 2015 hingga tahun 2022 untuk menggambarkan trend yang menurut saya juga menggambarkan kasus bullying tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 2015, WHO melalui Global School-Based Student Health (GSHS) melakukan survey. Survey tersebut menyimpulkan bahwa 21 persen atau sekitar 18 juta anak usia 13-15 tahun mengalami bullying dalam satu bulan terakhir.

Baca Juga:

Ini Strategi Atasi Bullying Menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim

Survey GSHS juga menggambarkan 25 persen dari kasus tersebut berupa pertengkaran fisik, 36 persen dialami oleh anak laki-laki dilaporkan lebih tinggi daripada anak perempuan yang hanya 13 persen.

Laporan tersebut lebih lanjut menggambarkan bahwa dampak dari bullying tersebut menyebabkan 1 dari 20 atau 20,9 persen remaja di Indonesia memiliki keinginan untuk bunuh diri.

Juga dilaporkan bahwa bullying dapat memberikan dampak jangka panjang maupun jangka pendek berupa gangguan kesehatan mental dan gangguan fungsi sosial.

Data lain berasal dari penelitian PISA tahun 2018 menyimpulkan bahwa 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia pernah mengalami bullying, setidaknya beberapa kali dalam sebulan.

Laporan tersebut juga menggambarkan dampak buruk dari bullying bagi korbannya. Para peneliti PISA menyimpulkan bahwa pada umumnya para korban memiliki hasil belajar yang buruk, termasuk kinerja membaca yang lebih rendah.

Baca juga : 

Bias Gender dalam Pendidikan

Data lain juga berasal dari survey Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2018. Survey tersebut menyimpulkan bahwa 2 dari 3 remaja laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun mengalami bullying.

Survey tersebut juga melaporkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi kesehatan mental, gangguan fungsi sosial dan hasil belajar yang buruk.

Saya juga memperoleh data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, tahun 2020. Pada tahun tersebut, KPAI mencatat ada 119 kasus bullying terhadap anak.

Menurut rilis tersebut, jumlah ini melonjak dari tahun sebelumnya yang hanya kurang lebih 60 kasus per tahun.

Sedangkan di tahun 2021, KPAI mencatat hanya terjadi 53 kasus bullying di lingkungan sekolah, dan 168 kasus perundungan di dunia maya. Ini adalah tahun dimana sekolah berada dalam proses belajar daring. Inilah yang mrenjelaskan kasus bullying dilingkungan sekolah lebih rendah dari pada kasus di dunia maya.

Baca juga : 

Membumikan Tajuk Kesehatan Mental Melalui Media Sosial

Data terakhir juga berasal dari KPAI. Tahun 2022 KPAI melaporkan kasus bullying dengan kekerasan fisik dan mental yang terjadi di lingkungan sekolah sebanyak 226 kasus, termasuk 18 kasus bullying di dunia maya.

Itulah data datanya. Menurut hemat kami, sesungguhnya jumlah kasus bullying lebih banyak dari kasus yang dirilis oleh KPAI, karena banyak kasus yang terjadi tapi tidak dilaporkan le KPAI, atau tidak mencuat di media.

Situasi ini sesungguhnya menggambarkan lembaga pendidikan formal kita sejak lama tidak kondusif bagi berlangsungnya pendidikan dan pengajaran.

Oleh karena itu kita mendesak agar sekolah-sekolah kita, dan lembaga-lembaga terkait, lebih bertanggung jawab memperbaiki iklim proses belajar mengajar di sekolah, termasuk berusaha mencegah terjadinya bullying di sekolah.

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis /Foto:goriau.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of