Efek Samping AI: Dari Etika hingga Kejahatan

Internasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sewajarnya, setiap teknologi yang diciptakan oleh manusia bertujuan untuk membantu kita untuk memperoleh hidup lebih berkualitas. Teknologi diharapkan bisa mempermudah kita dalam pekerjaan. Membantu kita untuk menemukan solusi-solusi atas berbagai kesulitan dan persoalan kehidupan.

Tetapi tidak semuanya demikian. Bukan karena teknologinya yang memiliki kelemahan. Teknologi biasanya dibuat sempurna untuk tujuan-tujuan baik tadi.

Hanya saja ditangan orang-orang jahat. Teknologi ciptaan manusia yang sempurna dan untuk tujuan baik tadi bisa digunakan untuk melakukan berbagai hal tidak baik.

Sederhana saja misalnya. Pisau dapur untuk memotong sayuran dan untuk mengiris bawang bisa dipakai untuk melukai bahkan untuk membunuh orang. Begitu pula dengan berbagai perkembangan mutakhir yang di didalam berbagai Artificial Intelligence (AI) yang dikembangkaan saat ini.

Mulai dari tindakan yang diduga tidak etis hingga kejahatan serius yang dilakukan para penjahat yang memanfaatkan kecanggihan Kecerdasan Buatan (AI) untuk melakukan perbuatan jahat mereka.

Baca Juga:

Bill Gates Prediksi Khanmigo ChatGPT versi Asia, Bisa Mengganti Peran Guru dalam Waktu Dekat

Misalnya, cnnindonesia.com (11/05/2023) menduga bahwa Magic Editor pada Google Photo dapat digunakan untuk menambah konten yang tidak ada ataupun menghapus dan mengganti konten pada sebuah foto.

“Penambahan fitur AI bisa berguna untuk menyelamatkan foto yang seharusnya tidak dapat digunakan. Namun, hal ini juga menambah daftar pertanyaan etis seputar AI generative,” tulis cnnindonesia.com.

Pengeditan seperti ini bisa saja membuat orang menyajikan dalam fotonya sebuah peristiwa yang tidak pernah ada. Ini dapat menghilangkan kepercayaan orang pada sebuah foto walaupun belum tentu foto tersebut benar-benar palsu.

Kasus kasus sederhana seperti ini bisa dapat kita lihat dalam banyak kali kesempatan disekitar kita. Misalnya orang menyamarkan wajah aslinya dengan fitur-fitur AI pada kamera HP, sehingga wajah asli dapat tersamarkan. Jejak-jejak keriput, warna kusam, bekas jerawat dan lainnya berganti mulus sempurna berkat AI.

Kasus yang demikian ini termasuk ringan. Jika memang ingin menipu diri sendiri. Bukan dimaksud untuk menipu orang lain dan untuk mendapat keuntungan dari mereka.

Baca Juga:

Tang Yu Robot Humanoid Pertama dalam Sejarah, Diangkat Jadi CEO Perusahaan Teknologi

Ada juga yang sangat jahat. Menggunakan AI untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan. Kompas.com (8/3/2023) menulis bahwa sepanjang tahun 2022, ada 36.000 kasus kejahatan menggunakan AI, menurut laporan The Washington Pos.

Dari puluhan ribu kasus tersebut, lebih dari 5.000 kasus penipuan dengan menyamarkan suara pada panggilan telepon. Pelaku kejahatan meniru suara orang-orang terdekat korban pada saat menelepon. Total kerugian yang dilaporkan dari kejahatan yang demikian ini mencapai 11 juta dollar AS yang jika di rupiahkan menjadi sekitar 169 milyar.

Kompas mengangkat dua contoh kasus. Pertama, keluarga Benjamin Perkin. Orang tua Perkin ditelepon seorang yang mengaku sebagai pengacara. Ia mengatakan Perkin terlibat kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya seorang penting.

Ia meminta sejumlah besar dana untuk jasa hukum yang ia sediakan. Untuk meyakinkan orang tua Perkin, ia merubah suaranya dengan menggunakan AI,  menjadi seperti suara Perkin.

Kasus kedua dialami oleh Ruth Card. Seorang menelponnya dan mengaku sebagai cucunya Brandon. Penelpon mengatakan bahwa ia sedang dipenjara dan membutuhkan biaya hokum. Ruth Card percaya dan menyerahkan sejumlah uang.

Baca Juga:

Jika Elon Musk Berhasil, Enam Bulan Lagi, Orang Lumpuh Dapat Berjalan dan Orang Buta Dapat Melihat

Padahal yang menelpon bukalah cucunya Brandon melainkan penipu yang meniru suara Brandon dengan teknologi kecerdasan buatan.

Dalam konteks Indonesia, kasus seperti ini sebenarnya marak terjadi. Jamak orang bercerita mendapatkan telepon dari orang yang mengaku pihak kepolisian bahwa anaknya terlibat narkoba atau kejahatan lainnya.

Kemudian dari seberang telepon terdengar suara seperti orang sedang menangis. Ujung-ujungnya penelpon meminta sejumlah uang untuk membantu membebaskan pelaku. Bayangkan bahwa suara tangis itu, diganti oleh AI menjadi suara yang benar-benar mirip dengan anggota keluarga kita.

Efek samping dari perkembangan AI ini jugalah yang membuat ‘guru besar AI’ yang dijuluki sebagai The Godfather of AI, Geoffrey Hinton mengundurkan diri dari Google, tulis kompas.com (3/5/2023).

Selama di Google, Hinton adalah orang dibelakang banyaknya produk-produk berbasis AI milik Google. Ia mengaku bahwa sangat sulit mencegah orang-orang jahat menggunakan produk AI untuk berbuat jahat.

Baca Juga:

Dua Tantangan Eksistensial Profesi Guru di Abad 21

“Sebenarnya saya keluar agar dapat membicarakan tentang bahaya AI” kata Hinton.

Benar, seperti apa yang disampaikan oleh Hinton. Bahwa pilihan bebas itu ada ditangan saya dan Anda. Teknologi apapun, baik yang sederhana maupun yang canggih, kitalah yang membuat pilihan, apakah digunakan untuk tujuan baik atau sebaliknya.

Kompas.com menulis bahwa foto ilustrasi AI ini berasal dari Via DW Indonesia

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of