Wacana Presiden Tiga Periode, Apa Urgensinya?

Opini
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Akhir-akhir ini berbagai kalangan mewacanakan presiden tiga periode, dengan berbagai alasan dan kepentingan yang melatarbelakanginya. Salah satu alasan yang dikemukakan bahwa Presiden Jokowi menjabat selama hampir delapan tahun memiliki banyak prestasi gemilang.

Hal demikian boleh saja, karena rakyat menginginkan orang baik menjadi pemimpinnya agar mampu membawa kesejahteraan bagi mereka. Kalangan yang mewacanakan presiden tiga periode, bukan saja dari masyarakat klas bawah, melainkan juga dari para elit politik.

Terakhir, dari asosiasi kepala desa seluruh Indonesia. Wacana boleh saja, dan itu menjadi hak warga negara dalam mengemukakan pendapat, sehingga patut dihormati dan dihargai.

Presiden Joko Widodo di Mata Jack Ma

Namun, sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” maka wacana tersebut harus dikaitkan dengan hukum yang berlaku saat ini. Pasal 7 UUD 1945 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Ketentuan konstitusi tersebut mengandung makna bahwa kekuasaan harus dibatasi dari segi waktu, sehingga seorang warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden, hanya boleh menjabat dua periode yakni 2 x 5 tahun, dan sesudahnya tidak boleh lagi menjadi calon.

Kecuali itu, seorang wakil presiden dua periode, boleh menjadi calon presiden dan jika terpilih berhak menjabat untuk dua kali masa jabatan.

Wacana presiden tiga periode dikaitkan dengan ketentuan konstitusi tersebut, maka jabatan presiden tiga periode hanya dapat dimungkinkan melalui amendemen UUD 1945 yakni mengubah masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.

Tanpa melalui amendemen UUD 1945, wacana tetap saja menjadi wacana, walaupun 99,99 persen rakyat Indonesia mendukung presiden tiga periode. Oleh karena itu, perjuangan rakyat dan para elit politik agar presiden saat ini menjabat tiga periode harus diajukan melalui lembaga yang berwenang yakni MPR, agar dapat melakukan amendemen UUD 1945.

Baca Juga: Pilkada Serentak Tahun 2024 dan Impact Politik bagi Incumbent

Mekanisme amendemen UUD harus mengikuti ketentuan Pasal 37 UUD 1945, ayat (1) Usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Anggota MPR saat ini berjumlah 711 orang yang terdiri atas anggota DPR 575 orang, dan anggota DPD 136 orang, maka 1/3 dari 711 anggota MPR yakni 237 orang yang boleh mengajukan perubahan pasal-pasal UUD 1945.

Ayat (3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, yakni 2/3 dari 711 sama dengan 474 orang.

Ayat (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, yakni 711 dibagi dua ditambah satu sama dengan 356 orang anggota.

Berdasarkan ketentuan konstitusi sebagaimana dikemukakan, maka wacana presiden tiga periode harus disampaikan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 237 orang anggota MPR agar memenuhi syarat konstitusi, untuk selanjutnya dibahas dan diputuskan dalam sidang MPR, supaya  presiden tiga periode konstitusional.

Besipae dan Gimmick Sang Presiden

Tanpa melalui mekanisme amendemen UUD, tidak mungkin wacana presiden tiga periode dapat terwujud, dan jika ada kalangan tertentu memaksakan kehendak, maka dapat dikatakan sebagai pengkhianat konstitusi.

Semua warga negara harus tunduk dan taat pada konstitusi, karena merupakan hukum dasar tertinggi dan menjadi acuan penyelenggaraan negara.

Mencermati wacana yang berkembang di masyarakat tentang presiden tiga periode, diketahui bahwa wacana tersebut berdasarkan alasan bahwa presiden saat ini berprestasi baik, sehingga perlu menjabat lagi satu periode. Berarti, alasan mengubah konstitusi adalah untuk kepentingan figur tertentu.

Hal ini bertolak belakang dengan teori konstitusi, bahwa mengubah sebuah konstitusi harus didasarkan pada pertimbangan yang matang, bukan karena alasan sederhana atau serampangan demi kepentingan seseorang/sekelompok orang.

Dengan demikian, mengubah konstitusi hanya untuk mengakomodir kepentingan seorang presiden yang berprestasi sangatlah tidak tepat.

Baca Juga: Demokrasi Dalam Cengkraman Oligarki

Jika dengan alasan seperti ini, maka terjadi kemungkinan bahwa setelah menjabat tiga periode, presiden yang bersangkutan masih menunjukkan prestasi yang baik, maka dengan menggunakan logika yang sama sebelumnya sudah pasti akan dilakukan amendemen UUD lagi untuk melanjutkan masa jabatan presiden menjadi empat periode, dan seterusnya.

Sebaliknya, suatu ketika ternyata seorang presiden menunjukkan prestasi buruk, maka rakyat menuntut agar dilakukan amendemen UUD untuk mengurangi masa jabatan presiden, misalnya hanya satu atau dua periode.

 Praktik seperti ini, tidak memberikan kepastian kehidupan bernegara, dan terlihat jelas bahwa perubahan konstitusi mengikuti fakta kepemimpinan seorang presiden, jika berkinerja baik maka diperpanjang masa jabatan, dan sebaliknya berkinerja buruk maka diperpendek.

Sesungguhnya, perubahan sebuah konstitusi berdasarkan pertimbangan kepentingan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perubahan berlaku untuk waktu yang lama.

Fakta presiden saat ini berprestasi baik, sesuai dengan tuntutan moral bahwa seorang pemimpin harus menjadi pemimpin yang baik yang membawa perubahan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, merupakan  suatu keharusan bahwa seorang presiden dan juga para pemimpin yang lain harus menjadi pemimpin yang baik.

Antara Fahri Hamzah, Fadli Zon, Corona dan Demokrasi Jokowi

Mengacu pada uraian di atas, maka hingga saat ini tidak terdapat alasan yang penting dan mendesak untuk melakukan amendemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 yang mengatur masa jabatan presiden dua periode.

Oleh karena itu, jangan menghabiskan energi untuk mewacanakan presiden tiga periode. Rakyat yang berdaulat, mulai dari sekarang mempersiapkan figur pengganti Presiden Jokowi, yakni orang yang memiliki karakter baik dan berintegritas tinggi. Tahun 2024 dilakukan pemilihan presiden untuk mengganti kepemimpinan nasional secara periodik.

 Akan sia-sia jika tetap mewacanakan presiden tiga periode, sementara tidak dilakukan amendemen UUD 1945. Apakah tidak ada warga negara lain yang baik seperti presiden sekarang, untuk menjadi presiden pada periode berikut.

Pasti banyak, yang penting rakyat jeli melakukan seleksi dan menelusuri rekam jejaknya, agar tidak salah memilih. Lima tahun bukan waktu yang singkat, jika salah memilih pemimpin maka penderitaan akan datang selama lima tahun masa kepemimpinan.

Hendaknya semua pihak yang mewacanakan presiden tiga periode, mempelajari fakta sejarah perubahan konstitusi mengenai masa jabatan presiden yang tidak dibatasi menjadi dibatasi hanya dua periode, yakni untuk mencegah terjadinya praktik pemerintahan yang otoriter dan korup.

Masa jabatan presiden, satu, dua, tiga periode atau seumur hidup harus berdasarkan konstitusi. Sebuah negara demokrasi mengharuskan sebuah kekuasaan yang dibatasi, baik dari segi waktu maupun isi/materi kekuasaan.

Baca Juga: Ganjar Atau Puan?

Konstitusi harus menjadi acuan dalam berdemokrasi, hukum dan demokrasi ibarat dua sisi dari satu lembaran mata uang, dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.

Demokrasi/politik harus tunduk pada hukum agar tertib. Jangan paksakan hukum tunduk pada kekuasaan, jika dipaksakan akan terjadi kekacauan.

Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang – NTT / Foto dari lintasnusa.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of