Eposdigi.com – Postingan Ama Januar Bala Lamablawa di dinding Facebook miliknya Selasa (03/08/2021) baru-baru ini sedikit mengganggu. Ia menyoal ulah para buruh pelabuhan Larantuka dan juga Waiwerang yang “agak biadab”
Januar menulis “Di Pelabuhan Larantuka, ibu kota Flores Timur, inilah nerakanya Lamaholot. Para buruh adalah penguasa pelabuhan. Mereka memaksa untuk membawa barang-barang para penyeberang.”
Saat tulisan ini dibuat Kamis, 05/08/2021. Pkl 21.17 waktu Jelupang, postingan mantan anggota DPRD Flores Timur ini telah ditanggapi 146, dikomentari sebanyak 106, dan dibagikan 10 kali.
Januar tidak sendirian. Banyak penanggap, dalam komentar pada postingan miliknya, memberi testimoni tentang ulah sekelompok buruh di Pelabuhan Larantuka.
Baca Juga: Mekko Masuk Nominasi API 2020: Untuk Siapa?
Saya terganggu dengan postingan ini justru karena kalimat pembuka postingan itu. “Pelabuhan seringkali menjadi gerbang pertama sesorang mengalami kesan yang membekas lama bahkn seumur hidup. Perilaku orang orang di pelabuhn menjadi gamb(a)ran / image sekaligus input tentang karakter masyarakat tertentu”.
Saya gelisah. Gambaran pelabuhan Larantuka seperti diangkat (lagi dan lagi), salah satunya oleh Januar bukan barang baru. Bahkan mungkin sudah terjadi puluhan tahun.
Mengapa ulah buru Larantuka ini benar-benar jadi masalah?
Benar seperti yang Januar sampaikan, siapapun yang dari luar Flores Timur, menangkap kesan pertama tentang Flores Timur justru dari orang-orang yang pertama ia temui.
Baca Juga: Membaca “ Turis Miskin Dilarang ke NTT”
Apalagi saat ini kita sedang gencar-gencarnya menjual pariwisata di Flores Timur. Kita baru menang Anugerah Pesona Indonesia (API) untuk Mekko, dan saat ini kita lagi gencar mengkampanyekan Kampung Adat Lewokluok, Kecamatan Demopagong.
Dalam banyak kesempatan, terutama untuk media ini, telah banyak tulisan mengenai bagimana menjual pariwisata pada sebuah daerah. Salah satunya adalah keramahtamahan masyarakat lokal pada lokasii pariwisata.
Produk pariwisata bukan lagi semata panorama alam yang memukau, atrakasi budaya, kesenian, olahraga atau lainnya. Sebagai bisnis hospitality, pariwisata juga adalah mengenai bagaimana masyarakat lokal dan atau pelaku bisnis pariwisata memiliki kesadaran tinggi memberi pelayanan terbaik kepada wisatawan.
Pelayanan terbaik dengan berbagai macam alat ukur yang bisa digunakan. Pelayanan terbaik agar para wisatawan datang lebih banyak dan tinggal lebih lama. Dan setelah pulang, mereka memutuskan datang lagi dengan mengajak serta lebih banyak orang.
Baca Juga:Pariwisata Mekko Masih Harus Berbenah
Jika pintu-pintu masuk kita, pelabuhan, bandara udara, terminal, kita memiliki wajah suram seperti yang digambarkan Januar dalam postingannya, bagaimana kita akan menjual pariwaisata?
Siapa yang betah tinggal lebih lama jika mengalami di pintu masuk saja ia telah di sambut dengan perilaku “agak biadab” seperti yang digambarkan Januar?
Lantas apa yang harus kita lakukan untuk keluar dari situasi ini?
Keluhan mengenai buruh pelabuhan Larantuka bukan barang baru. Lamanya waktu pembiaran atau tidak tuntasnya pencarian jalan keluar terhadap situasi ini menandakan bahwa kita semua, Pemerintah, Para Aparat Penegak Hukum, otoritas Pelabuhan Larantuka, buruh pelabuhan, sungguh tidak berpikir untuk mencari jalan keluar atas masalah ini.
Baca Juga: Menjawab Tiga Tantangan Pariwisata Mekko
Kita harus mulai dari mana? Membangun masyarakat sadar wisata tentu bukan perkara mudah. Proses penyadaran ini bisa saja memakan waktu lama. Namun belum terlambat jika kita bisa memulainya dari sekarang.
Pertama; lewat dunia pendidikan. Sudah saatnya proses membangun kesadaran tentang hospitality pariwisata diajarkan dalam sekolah-sekolah formal kita.
Toh kurikulum kita saat ini sudah memungkinkan kita memasukan konten-konten pendidikan kontekstual dalam proses pembelajaran. Bukan soal bahasa asingnya, konten pendidikan kontekstual tentang pariwaisata harus berisi terutama bagaimana aspek hospitalitnya.
Selain hospitality atau keramahtamahan, konteks pendidikan pariwisata kita harus berisi tentang pariwisata berkelanjutan. Bagimana kita menjaga kelestarian objek pariwisata kita. Entah alam, budaya atau lainnya.
Baca Juga: Gubernur NTT: Festival Pariwisata Harus Berdampak Terhadap Ekonomi Masyarakat
Pendidikan kontekstual pariwisata di Flores Timur harus berisi tentang bagaiman mengelolah bisnis pariwisata berdasarkan prinsip Gemohing. Melibatkan lebih banyak komunitas agar distribusi dampak ekonomi dari pariwisata dapat menjangkau lebih banyak kalangan.
Jika kita mulai hari ini, dan serius untuk itu, 12 tahun kemudian, setelah sekolah formal selesai semoga kesadaran akan pariwisata sudah terlihat nyata hasilnya.
Kedua; mencari alternatif yang lebih mensejahterakan para buruh pelabuhan Larantuka. Saya percaya bahwa masih ada banyak kebaikan yang mendiami sanubari para buru pelabuhan di Flores Timur.
Tuntutan ekonomilah yang barangkali menjadi asal muasal perilaku “agak biadab” yang mereka lakukan. Karena itu harus ada alternatif perbaikan tingkat penghasilan.
Apapun mekanismenya, jika kita mau, kita bisa meniru dari banyak tempat lain, atau menciptakan mekanisme baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan kita.
Baca Juga: Keaslian budaya kampung adat Wae Rebo bisa hilang tergerus moderenitas
Ketiga; formalisasi organisasi serikat buruh pelabuhan Larantuka. Ini penting. Jika menjadi organisasi resmi maka ada hak dan kewajiban yang mengikat antara organisasi dengan pihak terkait dalam hal ini otoritas pengelolah pelabuhan Larantuka.
Tidak hanya serikat buruh dengan otoritas terkait, formalisasi organisasi juga menjadi jalan perlindungan bagi para buruh dengan konsumen yang dilayaninya.
Misalnya para buruh pelabuhan entah poter maupun Tenaga Kerja Buruh Muat (TKBM) diberi seragam dengan tanda pengenal, dikomunikasikan tarif jasa mereka secara pasti, maka kemungkinan tindakan pemaksaan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab bisa dihindari.
Dan masyarakat pun hanya boleh menggunakan jasa para buruh ini, sehingga ada kepastian mengenai tarif. Ada jaminan akan pelayanan prima. Dan jika ada keluhannpun ada organisasi resmi yang siap menampung dan menyelesaikannya.
Baca Juga: Mewujudkan Pasar Premium Tenun Ikat NTT
Keempat; Namun lebih penting adalah mengurai benang kusut wajah buruh pelabuhan Larantuka tidak semata-mata tanggung jawab dunia pendidikan, otoritas pelabuhan dan para buruh.
Pintu-Pintu gerbang masuk Flores Timur adalah milik kita semua. Maka membangun dan mempertahankan kesan baik pada pintu-pintu masuk itu adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat Flores Timur.
Kita bisa mulai dari satu hal kecil. Belajar seyum setulus mungkin. Sebab senyum tulus adalah gerbang masuk paling tanpa penghalang, bagi siapa saja yang datang ke Flores Timur.
Foto : Ferdinandus Rabu / mediaindonesia.com
[…] Baca Juga: Belajar Senyum Untuk Pariwisata Flores Timur […]
[…] Baca Juga: Belajar Senyum Untuk Pariwisata Flores Timur […]