Catatan Kritis Kasus Kebijakan Impor Gula Tom Lembong

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Pada periode 2015-2016 silam, Indonesia mengalami sebuah situasi krisis terkait stok gula nasional yang signifikan. 

Menurut Ahli Pangan IPB Dwi Andreas Santosa, stok gula nasional berkurang drastis dari 1,182 juta ton (akhir 2014) menjadi hanya 817 ribu ton (akhir 2015)— hanya cukup untuk 3 bulan konsumsi nasional.

Penurunan ini diperparah lagi dengan adanya fenomena El Niño yang mengakibatkan kemarau panjang dan gagal panen yang kemudian menjadi penyebab kenaikan harga gula dari Rp 11.167/kg di bulan Januari 2015 menjadi Rp 13.427/kg di bulan April 2015. 

Persoalan kebijakan ini “memaksa’ Tom Lembong menjadi “pesakitan”.

Baca Juga:

Pahitnya Gula di Lidah Petani Tebu Hindia Belanda, Semoga Tidak Dialami Petani Komoditi Lain Saat Ini

Dalam sidang praperadilan, Andreas mengemukakan bahwa kebijakan impor gula Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan saat itu merupakan upaya menyelamatkan konsumen nasional dari potensi kerugian  sebesar Rp 8 triliun.

Meski demikian, Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat Tom Lembong dengan tuduhan:  

– Penyalahgunaan Wewenang: Memberikan izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada 9 perusahaan swasta tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi antar kementerian .  

– Pelanggaran Teknis: Perusahaan penerima izin tidak memenuhi syarat untuk mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP), yang seharusnya hanya boleh dilakukan pengolah gula rafinasi .  

– Ada Kerugian Negara: Kebijakan ini dianggap menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar berdasarkan audit BPKP. Kerugian terutama muncul dari skema harga jual gula dari produsen ke PT PPI (BUMN) yang lebih tinggi dari Harga Patokan Petani (HPP), serta praktik margin tidak wajar .  

Baca Juga:

Sorgum, Alternatif Baru Swasembada Pangan sekaligus Energi

Namun Tom Lembong membantah dakwaan JPU melalui:  

– Nota Keberatan: Menyatakan dakwaan jaksa “tidak lengkap, tidak cermat, dan tidak jelas” (obscuur libel), terutama terkait bukti kerugian negara dan motif memperkaya pihak tertentu .  

– Konteks Darurat: Kebijakan impor adalah respons darurat atas krisis stok dan lonjakan harga, bukan tindakan koruptif.  

– Politisasi Hukum: Tim pembela menuding kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi politik, terutama karena Tom Lembong dekat dengan Anies Baswedan (rival politik Presiden Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024). 

Baca Juga:

Kelangkaan Minyak Goreng Sebagai Dampak dari Permainan Politik

Namun lagi-lagi Kejagung membantah tudingan ini dan menegaskan penanganan kasus Tom Lembong ini murni berdasarkan aspek yuridis.  

Data Proses Hukum dan Vonis Pengadilan

– Penahanan dan Tahap Penyidikan: Tom Lembong ditahan pada Oktober 2024 bersama 10 tersangka lain, termasuk Direktur PT PPI Charles Sitorus .  

– Vonis: Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta (subsider 6 bulan kurungan). Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa (7 tahun penjara). Majelis hakim menyatakan TomLembong “terbukti secara sah dan meyakinkan” melanggar Pasal 3 UU Tipikor. 

Baca Juga:

Membangun Kedaulatan Pangan: Tak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Kedaulatan Petani

Dalam kasus Tom Lembong ini ada 3 masalah struktural yang patut disoroti publik:  

  1. Koordinasi antar-kementerian (Perdagangan dan Perindustrian) dalam penerbitan izin impor gula kerap tumpang tindih, menciptakan celah penyalahgunaan yang dapat berujung pada persoalan hukum yang tidak mesti.  
  2. Komisi Kejaksaan merekomendasikan pemeriksaan seluruh mantan Menteri Perdagangan (2015–2024) untuk mengungkap “kotak pandora gelap tata niaga impor gula”. Langkah ini mengindikasikan masalah sistemik yang lebih luas .  
  3. Kebijakan darurat memang kerap mengabaikan kepatuhan prosedural, maka dibutuhkan payung hukum yang jelas agar tidak memberikan akibat pertanggungjawaban hukum yang tidak tepat terhadap pembuat kebijakan seperti Tom Lembong.

Baca Juga:

Ini Delapan Tanda Konsumsi Gula Anda Sudah Berlebih

Kasus Tom Lembong ini mencerminkan sebuah permasalahan sangat serius antara urgensi kebijakan pangan dan kepatuhan hukum. Di satu sisi, kebijakan impor 2015–2016 lahir dari kondisi darurat stok gula nasional dan harga gula di tingkat konsumen. Namun pada sisi lainnya kemudian dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan prosedural yang merugikan negara, dan “memaksa’

” harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Vonis 4,5 tahun menjadi penegas bahwa meskipun konteks kebijakan relevan, tetap memiliki potensi diproses hukum. Oleh karenanya, proses hukum wajib menjamin transparansi dan akuntabilitas.

Kasus ini seharusnya menjadi trigger untuk mendorong reformasi regulasi impor pangan yang memadukan fleksibilitas darurat dengan pengawasan antikorupsi yang ketat. (Disarikan dari berbagai sumber).

Foto Ilustrasi dari ekbis.sindonews.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of