Eposdigi.com – Kita baru merayakan Hari Pendidikan Nasional, pada tanggal 2 Mei 2025. Ini adalah hari kelahiran Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perintis Taman Siswa serta pelopor pendidikan nasional dan pemikir kebudayaan yang aktif mendorong kemajuan pendidikan nasional.
Oleh karena jasa-jasanya ini maka ia dikenang sebagai Bapak Pendidikan, dan hari kelahirannya ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 16 Desember 1959 oleh Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden no. 316 tahun 1959.
Selama pergerakan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantoro selalu menyuarakan pemikiran yang progresif tentang pendidikan. Bahwa pendidikan pada akhirnya harus diabdikan untuk kemerdekaan dan kemandirian. Ia percaya bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari kungkungan penjajahan dan membentuk kemandirian bangsa.
Baca Juga:
Menelanjangi Problematika Mahalnya Biaya Pendidikan di Indonesia
Selain itu ia juga berpendapat bahwa pendidikan adalah untuk semua, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau status sosial dalam masyarakat. Ini adalah kritiknya terhadap pendidikan waktu itu yang hanya boleh diikuti oleh warga keturunan Belanda dan anak orang bangsawan pribumi seperti dirinya.
Selain aktif dalam pemikiran pendidikan lalu gerakan pendidikan, ia juga aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Ia bergabung pada organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo dan Indische Partij, yang sehari-hari dikenal sebagai seorang jurnalis handal.
Ia menulis berbagai artikel yang kritis terhadap pemerintah Kolonial Belanda dan membela kepentingan rakyat pribumi dengan pemikirannya yang tajam dan jauh melampaui zamannya. Melalui tulisannya ia membangkitkan semangat nasionalisme, dan mengajak rakyat pribumi untuk bersatu melawan penjajah.
Baca Juga:
Membaca Indeks Integritas Pendidikan Indonesia Menurut Rilis KPK dan Akar Masalahnya
Pemikiran besar yang jauh melampaui zamannya dan tulisan-tulisan kritisnya membuat tidak semua orang percaya bahwa gagasan-gagasan besar itu lahir dari seorang Ki Hajar Dewantara yang hanya lulusan Europese Lagere School (ELS). ELS adalah sekolah rendah untuk anak keturunan Eropa, Timur asing dan bangsawan pribumi, setara sekolah dasar.
Ki Hajar Dewantara tercatat masuk ELS pada tahun 1896, pada usia 7 tahun. Setelah lulus ELS ia kemudian memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia. Namun karena sakit-sakitan maka pada tahun 1909 ia mengundurkan diri.
Jejak pembelajaran Ki Hajar Dewantara
Meskipun tidak menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Ki Hajar tidak pernah berhenti belajar. Teman-temannya mengenalnya sebagai sosok yang haus akan ilmu. Ia kemudian belajar berbagai bidang. Selain pendidikan, ia juga belajar filsafat dan kebudayaan. Ia tekun membaca buku dan berdiskusi dengan tokoh intelektual pada masanya.
Baca Juga:
Tokoh Tionghoa Ini Tercatat Sebagai Tokoh Perintis Pendidikan Modern Indonesia. Siapakah Dia?
Proses inilah yang membentuk pemikiran dan pandangannya tentang pendidikan, kebudayaan dan kebangsaan, yang hingga kini masih relevan. Selain itu, sebagai seorang bangsawan, ia aktif bergaul dengan masyarakat pribumi yang kurang beruntung, yang menumbuhkan kesadarannya tentang pentingnya pendidikan bagi kemajuan masyarakat.
Menurutnya pendidikan adalah kunci untuk membebaskan bangsa dari penjajahan dan ketertinggalan. Pembelajarannya kemudian semakin terfokus setelah ia memutuskan menekuni pekerjaan jurnalistik. Menulis kemudian menjadi caranya untuk belajar sekaligus alat perjuangannya.
Salah satu tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling terkenal adalah Als Ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Seorang Belanda. Ini adalah artikel yang ia tulis sebagai tanggapan atas rencana pemerintah Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaannya di Hindia Belanda.
Baca Juga :
Ini adalah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah Belanda yang tidak adil dan diskriminatif terhadap rakyat Indonesia. Akibat tulisan ini ia ditangkap dan diasingkan ke Belanda bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Pengalaman pembuangan di Belanda ternyata menjadi kesempatan bagi Ki Hajar Dewantara untuk mempelajari berbagai hal tentang pendidikan dan kebudayaan. Ia mengunjungi berbagai sekolah dan lembaga pendidikan, dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh pendidikan di Belanda.
Sistem pendidikan Taman Siswa lahir dari interaksi ini. Pulang dari sana ia mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan ini berasaskan kemerdekaan, kebangsaan, dan kebudayaan.
Baca Juga:
Mutu Tenaga Kerja Indonesia, Revolusi Industri 4.0, Dan Antisipasi Lembaga Pendidikan
Proses belajar lainnya ia alami melalui organisasi pergerakan yang kemudian ia terjuni melalui Boedi Oetomo dan Indische Partij, di mana mereka larut dalam diskusi-diskusi di antara mereka, yang sekaligus menjadi cara mereka belajar di antara sesama kaum pergerakan.
Nampaknya diskusi-diskusi dengan topik pendidikan sebagai alat pembebasan kaum pribumi menjadi topik yang sangat berpengaruh, sehingga tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Syahrir merasa menjadi alumni dari Perguruan Taman Siswa.
Taman Siswa kemudian memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Indonesia dan menginspirasi banyak lembaga pendidikan lainnya. Dan ketika Indonesia sungguh-sungguh merdeka, Ki Hajar Dewantara, tokoh besar yang hanya lulusan sekolah dasar, diangkat menjadi Menteri Pendidikan Indonesia yang Pertama.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto ilustrasi dari rri.co.id
Leave a Reply