Generasi Muda Indonesia dalam Moncong Terorisme Digital

Opini
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Indonesia merupakan negara demokrasi yang berlandaskan pada pancasila sebagai dasar negara. Indonesia dikenal sebagai negara yang plural dan multikultural karena didiami oleh berbagai suku, ras, etnis, budaya, agama, bahkan aliran pemikiran atau ideologi-ideologi tertentu.

Satu sisi, keanekaragaman ini merupakan aset berharga bagi negara Indonesia sebagai sebuah bangsa negara (nation state). Aset ini perlu dikelola dan dikembangkan dengan baik agar menghasilkan pendapatan bagi negara atau dengan kata lain keanekaragaman ini perlu dipupuk, disirami, dan dirawat agar mendukung perkembangan dan kemajuan peradaban negara Indonesia menuju visi Indonesia emas 2045.

Namun disisi lain, dengan kemajemukan yang ada kadang memunculkan konflik horizontal (antar sesama warga negara) dan vertikal (dengan pemerintah atau penguasa).

Baca Juga:

Tayangan Kekerasan dan Etika Bermedia Sosial

Dalam kehidupan bernegara, konflik sosial merupakan hal yang niscaya terjadi dan tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan sosial masyarakat. Konflik ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti persilangan pendapat, pilihan politik, perbedaan keyakinan, perilaku rasis, diskriminasi, ekstremisme, radikalisme, dan bahkan terorisme 

Dalam konteks negara Indonesia, satu masalah akut yang menjadi hama dalam menghambat pertumbuhan dan kesehatan demokrasi Indonesia adalah menjamurnya perilaku terorisme dalam pola pikir dan perilaku sebagian masyarakat Indonesia dengan berbagai motif seperti ideologi agama, kekuasaan (power), solidaritas, pembalasan dendam, separatis, ikut-ikutan atau spontan dan lain-lain.

Salah satu contoh konkretnya adalah kasus Bom Bali, yang terjadi pada 12 Oktober 2002, sebagai salah satu aksi terorisme terbesar di Indonesia yang menewaskan lebih dari 200 orang dan melukai ratusan lainnya (Suryani, 2020).

Baca Juga:

Melihat Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan Sekolah Dari Sudut Pandang Nilai Sila Ke -2 Pancasila

Serangan bom ini melibatkan beberapa tokoh penting dalam jaringan Jemaah Islamiyah (JI). Pada akhir Juni 2024, ada 16 pentolan Jemaah Islamiyah yang membubarkan organisasi mereka dan menyatakan patuh pada hukum positif Indonesia.

Meskipun telah dilakukan mitigasi oleh berbagai stakeholder untuk membasmi hama terorisme di Indonesia, namun pada faktanya bibit terorisme masih ada dan makin tumbuh subur karena disebabkan media sosial.

Berkaca pada kasus HOK, seorang pelajar berusia 19 tahun ditangkap pihak Detasemen Khusus (Densusu) 88 Antiteror pada tanggal 31 Juli 2024, dengan tuduhan rencana peledakan bom di beberapa tempat ibadah di Kota Batu, Malang. 

Polisi menangkap HOK ketika hendak meledakkan triacetone triperoxide (TATP) yang acap dijuluki “mother of satan”  karena ledakannya yang sangat tinggi.

Baca Juga:

Kekerasan Masih Marak di Sekolah karena Belum Munculnya Kepedulian dan Empati Sekolah pada Kesejahteraan Mental Murid

Berdasarkan penyelidikan polisi menunjukan bahwa HOK bukan terpapar paham radikalisme dari sebuah organisasi teroris yang ada dalam pengawasan polisi, namun melalui media sosial pada November 2023.

HOK tergabung pada 2 group di aplikasi Telegram yang berisi propaganda kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang menyerukan perlawanan kepada pemerintahan karena dianggap tidak memenuhi syariat Islam (Tempo, 2024).

Contoh lain, seorang wanita berusia 26 tahun atau kelahiran 1995 bernama Zakiah Aini, terpapar virus melalui dunia maya dan menjadi seorang “lone wolf” memilih jalan “jihadis” dengan menyerang Mabes Polri pada Rabu sore, 30 Maret 2021 (Antaranews.com, 2022).

Contoh kasus ini secara gamblang mensinyalir bahwa media sosial menjadi medium alternatif dan menjadi “sel” bagi penyebaran terorisme meskipun organisasi induk terorisme telah dibubarkan.

Baca Juga:

Menelaah Kasus Pembunuhan Ibu oleh Anak Kandung Berdasarkan Sila Ke-2 Pancasila

Media sosial memberi ruang bagi teroris untuk menyebarkan ideologi secara luas dan merekrut anggota baru, seperti yang terjadi pada HOK. Artinya media sosial seperti pedang bermata dua yang memiliki dua sisi yakni positif dan negatif.

Satu sisi sebagai sarana komunikasi dan informasi, tetapi disisi lain sebagai media efektif untuk penyebaran ideologi teror.

Duan contoh kasus ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki andil dan peran yang besar sebagai medium penyebaran terorisme dan yang terpapar virus ini didominasi oleh anak muda 

“Menurut penelitian mengenai terorisme beserta dinamikanya oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Mufid dkk di Indonesia pada tahun 2011 mengidentifikasi akar penyebab aksi terorisme dimana salah satu penyebabnya adalah teknologi atau media komunikasi. Kemudian, mayoritas pelaku aksi teror dilakukan oleh remaja, yaitu 47.3%, pemuda usia 21 hingga 30 tahun, 29. 1% dan usia 31-40 tahun 11.8%.” (Zora A. Sukabdi, 2015, p. 53).

Baca Juga:

Mengapa Karnaval Harus Ramah Anak?

Masalah-masalah ini menyiratkan makna dan satu kesimpulan bahwa negara Indonesia tengah berada dalam moncong terorisme digital dan generasi muda tengah mengalami krisis moral dan akhlak sosial sehingga cenderung bersifat gegabah dan sporadis dalam berpikir dan bersikap atau bertindak.

Pertanyaannya, lantas bagaimanakah solusi atau jalan penyelesaian yang bisa ditempuh untuk membereskan dan membersihkan hama (terorisme) yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan Indonesia, terutama generasi muda Indonesia yang dicanang-canangkan sebagai garda terdepan pendorong negara Indonesia menuju visi “Indonesia Emas” 2045.

Menyelesaikan anomali (terorisme) dalam negara Indonesia diperlukan kolektivitas dari berbagai stakeholder (pemangku kepentingan), baik dari institusi pemerintah, agama, pendidikan, politik dan lain-lain.

Baca Juga:

Kasus Murid SD Dianiaya Orang Tua Murid Menggambarkan Buruknya Tata Kelola Sekolah

Adapun beberapa alternatif tawaran yang bisa dilakukan secara kolektif, seperti membuat kurikulum pendidikan dan literasi digital tentang pentingnya memasukkan pendidikan anti terorisme dan literasi digital dalam kurikulum untuk meningkatkan kesadaran di kalangan generasi muda. 

Lalu perlu adanya peran organisasi keagamaan yang plural: menyampaikan bagaimana organisasi keagamaan dapat mempromosikan nilai-nilai yang plural dan moderat untuk menyeimbangkan narasi radikal.

Kemudian perlu dilakukannya program deradikalisasi: ulasan tentang pentingnya program deradikalisasi yang fokus pada pencegahan dan pemulihan, bukan hanya pencegahan berbasis kontrol.

Baca Juga:

Perlu Literasi Digital untuk Mencegah Dampak Negatif Facebook bagi Anak-Anak

Seperti, program deradikalisasi bagi narapidana teroris melalui terapi psikologis, mengajarkan toleransi, nilai-nilai keagamaan yang moderat, serta cara menyikapi perbedaan secara damai dan pemberian program bimbingan kepada mantan narapidana teroris.

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of