Eposdigi.com – Kasus kekerasan seksual di Indonesia telah mencapai titik darurat, terutama di lingkungan pendidikan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, sebagaimana dikutip oleh Kompas.com (19/8), menegaskan bahwa darurat ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan hingga kini status tersebut belum juga berubah.
Upaya pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual ini patut diapresiasi, salah satunya dengan pendirian Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA) di tingkat kabupaten/kota. Namun, langkah ini masih jauh dari cukup.
Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, UPT DPPA baru terbentuk di 331 wilayah, meninggalkan lebih dari 200 kabupaten/kota tanpa dukungan UPT DPPA. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan hak mereka untuk pemulihan, pendampingan, dan bantuan hukum yang memadai.
Baca juga :
Masalah besar lain yang dihadapi oleh UPT DPPA adalah jaraknya yang seringkali jauh dari sekolah-sekolah. Meskipun ada inisiatif proaktif untuk mendatangi sekolah, realitas di lapangan menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual seringkali merasa kesulitan untuk melaporkan kejadian yang mereka alami, apalagi jika harus menuju UPT DPPA yang berlokasi jauh dari lingkungan sekolah mereka.
Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya mempertimbangkan pendekatan yang lebih dekat dan langsung, yaitu dengan mengoptimalkan peran konselor sekolah di sekolah-sekolah. Konselor sekolah adalah ujung tombak yang seharusnya dapat dimaksimalkan perannya dalam memberikan pendampingan kepada siswa korban kekerasan seksual.
Langkah-langkah konkret berikut bisa diambil untuk memperkuat peran konselor sekolah dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan:
Pertama, pemenuhan rasio ideal konselor sekolah dengan siswa di setiap sekolah. Saat ini, rasio ideal antara guru BK dan siswa adalah 1 berbanding maksimal 300 siswa, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa rasio ini belum terpenuhi. Bahkan, masih banyak sekolah yang tidak memiliki konselor sekolah sama sekali.
Baca juga :
Kekurangan ini menyebabkan banyak siswa tidak mendapatkan layanan konseling yang mereka butuhkan. Pemerintah harus segera mengatasi kekurangan ini dengan memperbanyak pengangkatan konselor sekolah serta memastikan distribusi yang merata di seluruh sekolah, terutama di daerah-daerah yang rawan kekerasan seksual.
Kedua, program peningkatan kompetensi konselor sekolah dalam mendampingi siswa korban kekerasan seksual. Konselor sekolah harus dibekali dengan kemampuan dan keahlian khusus dalam menangani trauma yang dialami siswa korban kekerasan seksual.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi Bimbingan dan Konseling atau Psikologi untuk memberikan pelatihan intensif kepada konselor sekolah. Melalui pelatihan ini, konselor sekolah diharapkan mampu memberikan intervensi yang efektif dan mendukung proses penyembuhan psikologis korban.
Ketiga, penggalakan konseling teman sebaya. Siswa korban kekerasan seksual mungkin merasa lebih nyaman berbicara dengan teman sebaya daripada dengan konselor sekolah. Oleh karena itu, perlu dibentuk program konseling teman sebaya di setiap sekolah, di mana siswa-siswa yang terlibat dilatih keterampilan dasar komunikasi dalam konseling.
Baca juga :
Dengan dukungan dari teman sebaya yang terlatih, siswa korban kekerasan seksual dapat lebih mudah membuka diri dan akhirnya diarahkan untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut dari konselor sekolah.
Keempat, optimalisasi program preventif pencegahan kekerasan seksual di sekolah. Pencegahan adalah langkah paling efektif dalam mengurangi angka kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Konselor sekolah dapat memainkan peran sentral dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program-program preventif melalui layanan bimbingan kelas maupun lintas kelas.
Pemerintah bersama perguruan tinggi bisa berkolaborasi untuk menciptakan program pencegahan yang komprehensif, yang kemudian diimplementasikan oleh konselor sekolah di seluruh sekolah.
Baca juga :
Rambut Rebonding, Celana Umpan dan Martabat Perempuan Adonara
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hak-hak anak, sudah seharusnya kita menempatkan perlindungan terhadap anak di posisi prioritas tertinggi, terutama dalam lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman dan kondusif bagi tumbuh kembang mereka. Pemerintah tidak boleh lagi setengah hati dalam menangani kasus kekerasan seksual di sekolah.
Mengandalkan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA) saja tidaklah cukup, terutama dengan ketidakmerataannya di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Pemerintah perlu segera mereformasi pendekatan yang ada dengan mengoptimalkan peran Bimbingan dan Konseling di sekolah-sekolah.
Dengan memastikan kecukupan rasio konselor sekolah dan siswa, meningkatkan kompetensi konselor sekolah, serta menggalakkan konseling teman sebaya dan program preventif, kita dapat membangun sistem perlindungan yang lebih kuat dan responsif terhadap kebutuhan siswa korban kekerasan seksual.
Baca juga :
Langkah-langkah ini bukan hanya sekadar solusi, melainkan investasi jangka panjang bagi masa depan generasi muda Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan perlindungan penuh, pendampingan yang memadai, dan lingkungan belajar yang aman.
Saatnya bertindak tegas, karena keselamatan dan kesejahteraan anak-anak kita tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya dengan kebijakan yang tepat dan implementasi yang maksimal, kita dapat menghentikan darurat kekerasan seksual di sekolah dan membangun generasi yang lebih sehat, kuat, dan berdaya. Pemerintah harus segera beraksi—karena masa depan bangsa kita dipertaruhkan.
Penulis adalah Dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin redaksi / Foto:Kompas.com
Leave a Reply