(Mencoba) Memahami Kondisi Psikologis Para Pecandu Judi Online

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kepada Sang Guru, seorang penjudi datang bertanya. Semalam, akibat kalah judi, ia kemudian dibuang dari lantai dua tempat judi. Untungnya ia jatuh di atas tumpukan sampah. Walaupun bau, itu cukup menyelamatkan kaki dan tangannya dari patah tulang. Atau mungkin saja nyawanya.

“Guru, apa yang harus saya lakukan agar saat kalah judi, orang-orang tidak melemparku dari lantai dua tempat judi?,” tanya penjudi kepada Sang Guru.

Kita tinggalkan dulu jawaban Sang Guru. Tinggalkan juga cerita pembuka di atas.

Saya ingin melanjutkan tulisan ini dengan pertanyaan berikut. “Sebenarnya apa yang ada dalam benak para penjudi online ini?”.

Sebelum menjawab ini kita sama-sama membangunkan ingatan kita sebentar kepada sebuah peristiwa tragis baru-baru ini. Diberitakan banyak media, seorang istri membakar suaminya. Sebabnya sang suami gemar berjudi online.

Lain kasus. Sebuah infografis dari detik .com (19.06.2024) mengutip data dari PPATK dan BPS tahun 2023 yang berisi tentang judi terutama judi online. Datanya cukup mencengangkan. Perputaran uang di judi online berada pada angka 327 triliun Rupiah.

Baca Juga:

Indonesia Menempati Posisi Teratas sebagai Pemain Judi Online Terbanyak di Dunia, Di antaranya Anak-Anak

Sayangnya detik tidak menyebutkan besaran 327 triliun secara detail. Apakah ini adalah perputaran dalam periode tertentu? Apakah hanya terjadi di Indonesia atau di seluruh dunia? Atau detail lainnya. Tapi tidak apa-apa. Intinya bahwa, judi online adalah sebuah ‘bisnis’ yang luar biasa besar.

Data infografis yang sama juga menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2022 lalu, kasus perceraian yang disinyalir disebabkan oleh judi online adalah sebanyak 1.191 kasus. Dibandingkan dengan kasus perceraian pada tahun-tahun sebelumnya yaitu 648 kasus pada tahun 2020, kemudian 993 kasus pada tahun 2021.

Lebih mengejutkan lagi. Jumlah kasus melonjak jauh menjadi lebih tinggi di tahun 2023 lalu, menjadi 1.572 kasus perceraian karena judi online.

Perceraian akibat judi menjadi yang terbanyak. Judi mengalahkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak dan bahkan mengalahkan mabuk, dalam hal penyebab perceraian.

Sebuah daerah di Jawa Timur, menjadi daerah dengan tingkat perceraian tertinggi di Indonesia. Dari total 971 kasus perceraian, penyebabnya didominasi oleh karena suami kecanduan judi online.  Padahal para pasangan yang rata-rata berusia 20 – 30 tahun ini sudah menikah 7 – 8 tahun.

Lebih mengejutkan 179 kasus diantaranya adalah perkara suami menggugat cerai istri yang kecanduan judi online.

Baca Juga:

Judi Online Marak, Banyak Anak SD di Indonesia Mulai Terdeteksi Kecanduan

Satu dua hari belakangan ini, public tanah air lagi dihebohkan dengan wacana bahwa para korban judi online akan ‘dipelihara oleh negara’ lewat Bantuan Sosial Tunai (BST). Wacana ini mengemuka ketika Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mengatakan bahwa negara akan melindungi keluarga pelaku judi online. Karena mereka adalah korban.

Apakah bantuan ini akan menyelesaikan masalah? Apakah kemudian menjamin bahwa perilaku judi ini tidak lagi terjadi pada keluarga tersebut? Hemat saya, penjudi online dan keluarganya seharusnya tidak menjadi prioritas penerima BST.

Untungnya Presiden Jokowi, seperti diwartakan kompas.tv(19.06.2024) mengungkapkan bahwa wacana ini tidak benar dan tidak ada peraturan mengenai bantuan kepada keluarga penjudi online.

Kita kembali kepada menjawab pertanyaan apa yang dipikirkan oleh para penjudi online ini. Riza Wahyuni, S.Psi., M.psi., seorang psikolog klinis dan forensic dari LPP Geofira, seperti dikutip oleh idntimes.com (03.01.2023) menjelaskan sebagai berikut:

Pertama: Terpedaya oleh ilusi bahwa mereka akan menang dan menjadi kaya. Mereka merasa tertantang, diantara banyak kekalahan pasti akan ada kesempatan untuk menang. Menang besar dan menjadi kaya raya. Kira-kira begitu khayalan mereka.

Baca Juga:

Cafe Heng-Heng Di Ketapang Kota Diduga Jadi Markas Judi Heng Geng 189

Sayangnya khayalan ini kadang terus bertahan, yang kemudian membuat mereka menjadi semakin kecanduan, bahwa suatu saat nanti mereka akan menang besar.

Riza menjelaskan bahwa memenangkan taruhan kecil, otak melepas hormone dopamine, hormone yang menciptakan rasa senang dan nyaman. Padahal Umpan berupa kemenangan kecil ini, justru adalah cara Bandar judi membuat mereka semakin “gila” dan terus berjudi.

Kedua : Sifat impulsif. Para penjudi online kebanyakan laki-laki. Gambling Commission mengungkapkan bahwa para pria lebih tinggi 7,5 kali menjadi penjudi yang bermasalah dibanding perempuan.

Sialnya, para laki-laki yang tidak berpikiran luas ini lebih berpotensi mengalami ‘problem gamblers’, sebuah fenomena dimana laki-laki cenderung melukai diri sendiri dan keluarga. Mereka bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu (impulsif) dan lebih hedonis.

Tiga: Judi memperparah kesehatan mental. Pecandu judi yang kalah cenderung mengalami stress, harga diri rendah, cemas hingga depresi. Tidak sedikit dari mereka berusaha menyakiti diri sendiri (self-harm) karena hutang dan rasa malu.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Frontiers in Psychiatry (26.10.2022) mengungkapkan bahwa 22-80 persen para penjudi ingin bunuh diri, 7 – 30 persen  diantaranya bahkan pernah mencoba bunuh diri namun jalan. Sebanyak 14 % menjadi alkoholik, 4 % menjadi pecandu narkoba.

Baca Juga:

Di Mana Posisi Warganet Indonesia Tahun 2023, Soal Kecanduan Main HP?

Empat: Judi berdampak buruk bagi hubungan sosial. Kecanduan judi sangat berpengaruh kepada orang disekitarnya. Keluarga, rekan kerja, keluarga besar lainnya, bahkan terlebih mempengaruhi anggota keluarga inti; pasangan dan anak-anak.

Studi oleh University of Chicago Amerika Serikat dengan judul “Gambling Impact and Behavior Study, mendapat hasil bahwa ada lebih dari 53,5 % penjudi di Amerika Serikat memilih untuk bercerai.

Tidak hanya bercerai, para penjudi juga cenderung terlibat baik sebagai pelaku maupun korban rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, beresiko dijahili para debt collectors

Studi berjudul “Gambling Impact and Behavior Study” yang dilakukan oleh University of Chicago, Amerika Serikat, menemukan bahwa penjudi memiliki tingkat perceraian hingga 53,5 persen.

Selain itu, pasangannya lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), berisiko dilecehkan oleh orang-orang yang menagih hutang, dan kesulitan dalam menghidupi anak-anaknya.

Lima: Harus ada dorongan dari dalam diri yang kuat untuk melihat judi sebagai sumber masalah. Pecandu judi online harus dibantu untuk mengalami sendiri akibat langsung dari kegiatan perjudian yang dilakukannya.

Untuk mendorong perubahan  dari dalam diri, seseorang harus mendapatkan bantuan berupa terapi perilaku kognitif (CBT). Terapi CBT ini bertujuan untuk merubah perilaku dan pola pikir.

Baca Juga:

Media Sosial Menjadi Salah Satu Penyebab Depresi Pada Anak dan Remaja Kita. Apa yang Harus Kita Lakukan?

Para penjudi benar-benar didorong untuk menemukan sendiri masalah utamanya sendiri, sekaligus berlatih untuk menyelesaikan masalah ini.

Sang Guru menjawab singkat kepada penjudi “ Mulai besok malam, berjudi-lah di lantai pertama”.

Digiers, Si Penjudi mendatangi Sang Guru bukan karena menyadari bahwa judi adalah salah. Ia hanya mengeluhkan perilaku orang-orang yang mengusirnya dan membuangnya dari lantai dua saat kalah judi.

Nasihat Sang Guru tepat. Berjudi di lantai pertama adalah jawaban atas masalah penjudi dilempar dari lantai dua, tempat judi. Jika dia berjudi di lantai pertama tentu dia tidak akan dilempar ke tempat sampah oleh mereka yang menang.

Saya sedikit penasaran, bagaimana jika penjudi menanyakan pertanyaan lain kepada Sang Guru. Misalnya :”Apa yang harus saya lakukan agar berhenti dari kecanduan judi?”

Bagaimana dengan Digiers? Alternatif jawaban seperti apa yang paling sesuai dari Sang Guru untuk mengatasi kecanduan berjudi dari penjudi ?

Foto ilustrasi dari halodoc.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of