Eposdigi.com – Kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 yang kemudian direvisi menjadi pukul 05.30, bagi 10 SMA dan SMK Negeri menurut penjelasan Gubernur NTT, maupun Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT bertujuan untuk melatih karakter disiplin siswa/i agar lebih disiplin dalam belajar.
Dengan masuk sekolah pagi pukul 05,00 Kata Viktor Laiskodat, dimaksudkan untuk membentuk etos kerja seperti pada orang bekerja. Ini adalah upaya membangun sumberdaya manusia di NTT. Atau Kata Linus Lusi, ini adalah kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
Hingga kini pemerintah NTT, kata Viktor Laiskodat, telah mengalokasikan hampir 50 persen Angaran Pendapatan Belanja Daerahnya untuk pendidikan namun mutu pendidikan belum juga membaik. Misalnya terlihat dari, lulusan SMA dari NTT belum juga menembus perguruan tinggi negeri sekelas UI dan UGM.
Dan nampaknya kebijakan masuk jam 05.30 pagi ini diantaranya dimaksudkan sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu tersebut, dengan indikator capaiannya; lulusan SMA dari NTT dapat menembus perguruan tinggi negeri sekelas UI dan UGM.
Baca Juga:
Bukan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi, Ini Kata AI Tentang Disiplin di Sekolah
Jika demikian, maka pemerintah NTT terlalu menyederhanakan masalah. Karena masalah peningkatan mutu Pendidikan di NTT harusnya tidak sesederhana itu. Mungkin ada masalah mentalitas dan disiplin tetapi, menetapkan jam masuk sekolah pukul 05.30 masih jauh dari menyelesaikan masalah mutu pendidikan.
Pengembangan mutu pendidikan NTT
Pengembangan mutu pendidikan di NTT yang tepat sasaran hendaknya dimulai dengan upaya merumuskan masalah pendidikan di NTT. Hasil dari proses ini kemudian dijadikan landasan untuk menyusun program pengembangan mutu pendidikan.
Di Indonesia proses merumuskan masalah pendidikan tidak perlu dilakukan lagi dan tinggal menggunakan data yang sudah ada, karena proses ini sudah dilakukan melaui asesmen nasional oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Hasilnya tingal dipelajari pada dashboard daerah masing-masing. Rapor pendidkan NTT sudah ada di sana. Jika pemerintah NTT ingin menyusun program untuk mengembangkan mutu pendidikan, tinggal merumuskan profil masalahnya dan gunakan sebagai landasan untuk menyusun program.
Dari proses asesmen nasional yang dilakukan oleh Kemendikbudristek, terhadap 869 SMA di NTT dengan 33.433 siswa, 773 kepala satuan pendidikan, dan 20.214 guru sebagai responden, diperoleh profil masalah pendidikan pada level SMA di NTT sebagai berikut:
Baca juga:
Bukan Masuk Jam 5 Pagi, Berikut Usul untuk Mendukung Kualitas Pendidikan di NTT
Pertama, kemampuan literasi dan numerasi siswa SMA di NTT masih rendah. Kemampuan literasi membaca siswa SMA masih kurang. Pada umumnya berada di bawah kompetensi minimum. Angkanya mencapai 50 persen.
Kondisi yang sama juga terjadi pada komponen literasi numerasi. 50 persen siswa memiliki kemampuan literasi numerasinya masih di bawah minimum. Sedangkan 50 persen lainnya baru mencapai kemampuan minimum. Ini nampaknya yang menjelaskan kenapa lulusan SMA dari NTT belum bisa tembus Universitas negeri sekelas UI dan UGM.
Kedua, indeks kualitas pembelajaran (IKP) SMA di NTT mulai masuk kategori terarah. Artinya pembelajaran mulai mengarah pada peningkatan kualitas dengan suasana pembelajaran yang mulai lebih kondusif karena dukungan efektif dan aktivasi kognitif dari guru.
Meskipun demikian, data yang ada menyebutkan bahwa kegiatan pengembangan kualitas pembelajaran di level SMA belum terstruktur. Atau pelatihan pengembangan kemampuan profesional guru sudah ada namun belum terstruktur dengan baik.
Ketiga, secara teknis, dalam proses belajar mengajar guru belum secara konsisten melakukan refleksi pembelajaran di akhir pembelajaran dan di akhir topik, belum melakukan ekplorasi sumber belajar dan referensi pengajaran baru.
Baca juga :
Guru juga belum mampu menginspirasi siswa untuk belajar lebih lanjut atau mencetuskan inovasi belajar baru.
Keempat, kepemimpinan kepala sekolah dan kepemimpinan istruksional guru di kelas, belum mengacu pada visi dan misi sekolah. Visi dan misi disusun hanya sebagai kelengkapan administrasi sekolah. Bukan jadi dokumen yang diacu, diimplementasikan dalam proses belajar mengajar.
Visi dan misi belum jadi pedoman dalam perencanaan guru, dalam proses belajar mengajar termasuk dalam asesmen pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan hasil belajar siswa.
Kelima, Implementasi Kurikulum Merdeka belum menempatkan siswa sebagai fokus utama. Implementasi kurikulum belum fokus pada pertumbuhan siswa sebagai pribadi ke arah yang lebih baik. Menyelesaikan target kurikulum masih jadi fokus dari proses belajar mengajar di kelas.
Keenam, birokrasi pendidikan, termasuk kepala sekolah belum mengembangkan program, sistem intensif, dan sumber daya untuk mendukung guru untuk terus belajar, terus mengembangkan diri guna perbaikan proses belajar mengajar.
Baca juga:
Itulah enam permasalahan pokok pendidikan di NTT yang harusnya menjadi landasan dalam penyusunanan program dan penetapan kebijakan. Pemerintah daerah tingkat 2 dapat melihat dashboard-nya sendiri. Juga ada dashboard bagi semua SMA. Silakan dilihat sendiri.
Hanya dengan bertolak dari masalah real, dapat disusun program dan kebijakan yang tepat. Dan ini menjadi langkah yang tepat bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di NTT.
Tulisan ini sebelumnya tayang di www.depoedu.com / Foto: Antara
Leave a Reply