Eposdigi.com – Hampir setiap kita berpikir revolusi di bidang teknologi adalah penemuan paling luar biasa abad ini. Kita dibuat tercengang mulai dari penemuan roda, bola lampu, hingga tisu tolet dan tusuk gigi, tanpa sekalipun berpikir bahwa perang dan tuntutan industri persenjataan-lah yang memungkinkan pelbagai penemuan itu tersebar ke seluruh dunia.
Tentu saja, saya tidak sedang berbicara tentang perang terbuka antarmanusia, melainkan perang ideologis melawan diri manusia sendiri.
Dengan kata lain, penemuan itu adalah konsekuensi terdekat dari cita-cita modernitas yang berusaha memberikan manusia kemampuan untuk mengubah dunia, namun pada akhirnya mengubah dirinya sendiri.
Baca Juga: Inovasi Elon Musk : Manusia Cerdas dengan Komputer di Kepala
Apa bagian dari manusia yang diubah oleh teknologi? Gaya hidup? Cita-cita? Imajinasi? Peradaban? Tentu saja semuanya benar.
Namun, tidak banyak dari kita yang menyadari bahwa perubahan itu dibuat dengan langkah paling sederhana dan berbahaya: mengutak-atik dan merekayasa cara kerja otak manusia. Ini berlangsung sejak zaman penemuan api, tata kelola pertanian, dan terbentuknya sistem bernama masyarakat.
Jika Anda mengamati secara saksama pola perubahan teknologi dari yang sederhana hingga paling canggih dan tak masuk akal, semua itu meniru cara kerja otak. Anda bisa baca itu di berbagai literatur neurologi dan fisika kuantum.
Sayangnya, entah mengapa, tema seperti ini cenderung absen dalam perbicangan publik, apalagi dalam cara bernalar birokratisme tidak sedikit pemimpin kita.
Baca Juga: Robot lebih Canggih dari Anda?
Akhirnya, apabila saya diminta memprediksi masa depan manusia dalam persinggungan dengan teknologi, coba “bayangkan, sebuah sepatu besar menginjak wajah orang lain. Selamanya…”, tulis Orwell dalam Animal Farm.
Alasan Mengapa Menulis Tentang ini
Sependek penelusuran terhadap beberapa literatur, ditemukan bahwa masifnya perkembangan teknologi justru dipicu oleh problem dalam berbagai disiplin ilmu khususnya ilmu sosial humaniora dan sains (jangan lagi ungkit perdebatan tidak berguna antara agama dan sains).
Itulah kenapa meneliti otak dianggap sebagai keahlian para neurolog dan pakar saraf sedangkan pikiran merupakan wilayah riset pakar ilmu sosial humaniora.
Sampai kapanpun, jika gejala ini dibiarkan terus menerus, kita akan kehilangan dimensi paling eksistensial sebagai manusia. Mengenai hal ini, dalam Minding the Mind Emeran Mayer dan Clifford B. Saper menulis kalimat pembuka artikel mereka dengan pernyataan yang cukup mengejutkan.
Baca Juga: Jangan Mau Kalah Sama Robot
Selama beberapa abad dalam setiap masyarakat, sebelum obat-obatan dan pusat kesehatan didirikan, proses penyembuhan penyakit dilakukan dengan berdasarkan pada sistem psikologi indigenous yang berpusat pada otak.
Konsep universal tentang praktik penyembuhan tradisional mengikuti kepercayaan terhadap: Pertama, kepercayaan pada kekuatan universal (jiwa, chi, prana, daya tarik binatang dan alam). Kedua, kepercayaan pada persatuan antara pikiran, tubuh, dan lingkungan.
Ketiga, konsep tentang kesehatan sebagai kondisi harmoni antara pikiran dan tubuh, dan antara organisme dan alam. Dengan demikian, konsep tentang penyakit dipahami sebagai hilangnya harmoni.
Oleh sebab itu, penyembuh (katakanlah, dukun), dilihat sebagai katalisator yang menggunakan intervensi untuk memengaruhi kemampuan tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri, dengan tujuan memperbaiki harmoni yang telah rusak tadi (Mayer and Saper, 2000: 3).
Dari penjabaran di atas, muncul pertanyaan: mengapa dalam sistem penyembuhan modern (katakanlah, rumah sakit), perspektif di atas tidak tampak signifikan.
Baca Juga: Peradaban Manusia akan jadi seperti apa?
Dengan kata lain, mekanisme kuasa seperti apa yang membuat pola penanganan medis dewasa ini cenderung memisahkan kekuatan pikiran dari cara kerja otak, tubuh, dan lingkungan?
Atau lebih spesifik lagi, mengapa penanganan pandemi lebih menonjolkan mekanisme dari luar alih-alih memercayakan pada kemampuan tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri?
Bahkan lebih mengerucut lagi, mengapa hanya satu perusahan farmasi di dunia yang mengembangkan vaksin dengan menggunakan sel dendritik (sel imun yang berfungsi sebagai guru) dalam leukosit yang nantinya memproduksi antibodi?
Tanpa bermasud membahas secara terperinci metode penelitian menghasilkan vaksin covid-19, artikel ini berargumen bahwa pada masa ini, pola penanganan penyakit cenderung mengandalkan sesuatu dari luar tubuh, selah-olah tubuh manusia tidak mampu melawan penyakit.
Baca Juga: Darurat Kecanduan Gawai pada Anak
Persis tidak ada bedanya dengan dikotomi pikiran dan otak dalam keseluruhan desain hidup manusia, terutama dalam kancah pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, status ini ditulis dalam rangka mengisi kekosongan diskusi tentang korelasi antara otak, tubuh, pikiran dan lingkungan, dan bagaimana empat komponen itu terjalin atau dibuat terpisah-pisah oleh dikotomi disiplin ilmu pengetahuan di dunia.
*Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama bang Viki Djalong, kak Irna Welna, bro Dicky Hanus di rumah Gejayan, Februari – Maret 2021. Bersambung…
Foto: okezon.com
[…] Baca Juga: Neurologi dan Perang Teknologi Melawan Otak […]