Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan berjudul “Neurologi dan Perang Teknologi Melawan Otak”
Eposdigi.com – Pikiran adalah hal yang berkaitan dengan proses mental, kesadaran. Sementara itu, tubuh adalah hal yang berkaitan dengan aspek fisik dari neuron-neuron otak dan bagaimana otak tersusun.
Persis di situ, muncul pertanyaan kunci dalam psikologi dan filsafat yang cenderung bertolak dari problem pikiran/tubuh:
apakah pikiran bagian dari tubuh atau apakah tubuh bagian dari pikiran? Jika dua-duanya berbeda, lalu bagaimana mereka berinteraksi?
Menjawabi pertanyaan di atas, terdapat beberapa perspektif dominan yang diterima oleh kalangan ilmuwan.
Baca Juga: Neurologi dan Perang Teknologi Melawan Otak
Pertama, dualisme. Dualisme ini terbentuk dari adanya pandangan bahwa manusia adalah objek yang eksis secara materi. Buktinya, kita memiliki berat, mengandung cairan, utuh, dan seterusnya yang bisa dikuantifisir atau diukur.
Meskipun begitu, manusia juga memiliki kemampuan untuk membuat pertimbangan dan mengambil keputusan terhadap keberadaannya. Dengan kata lain, manusia mempunyai pikiran.
Oleh karena itu, manusia memiliki dimensi non-fisik (pikiran) dan dimensi fisik (tubuh/otak) yang eksis sebagai dua hal yang berbeda. Ini dikenal juga dengan sebutan dualisme Cartesian.
Kedua, perspektif di atas memunculkan gerakan ideologis lain yang disebut dengan monisme. Penganut gagasan ini percaya bahwa tidak ada hal yang bisa eksis di luar dunia material dan psikolog materialis cenderung sepakat bahwa kesadaran (pikiran) adalah fungsi dari otak.
Artinya, proses mental seseorang dapat diidentifikasi melalui proses fisik di dalam sistem saraf, dan manusia hanyalah organisme psikologis yang kompleks, tidak lebih dari itu.
Baca Juga: Menutup Muka, Membuka ‘Kepala’ (Terorisme di Tengah Pandemi)
Terdapat beberapa implikasi lanjutan dari perspektif di atas, antara lain:
𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, adanya keyakinan bahwa otak merupakan bagian dari tubuh. Di situ, perilaku manusia sepenuhnya dikontrol oleh otak. Bahkan ahli ilmu saraf berpandangan bahwa sebagai organ pikiran, otak bertanggungjawab penuh jika ada yang salah dengan pikiran.
Mengenai hal ini, kita semua mungkin sepakat bahwa penyerangan kriminal atau kecenderungan mendownload dan menonton film porno merupakan hal yang salah dengan perilaku manusia.
Namun, jika berhadapan dengan kasus ini, hakim cenderung mempertimbangkan dasar biologis dalam memberikan hukuman yan lebih ringan, terutama jika yang melakukan itu adalah anak di bawah umur.
Ahli saraf di dunia ini mungkin tidak berkeberatan jika saya berbicara tentang semua ini dalam bahasa yang sederhana dan santai. Ini saya katakan karena sebagian besar ahli saraf bersikeras bahwa kita menggunakan pikiran kita berbeda dari otak.
Baca Juga: Era Sinergi Manusia Dengan Robot, Siapkah Anda?
Mereka menolak gagasan bahwa pikiran memiliki keberadaan yang tidak bergantung pada otak (sering disebut dualisme Cartesian, setelah adagium Rene Decartes “saya berpikir maka saya ada” menjadi populer).
𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚, otak tidak berkaitan dengan pikiran. Dalam artikel 𝐖𝐡𝐲 𝐭𝐡𝐞 𝐁𝐫𝐚𝐢𝐧-𝐁𝐨𝐝𝐲 𝐂𝐨𝐧𝐧𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐈𝐬 𝐌𝐨𝐫𝐞 𝐈𝐦𝐩𝐨𝐫𝐭𝐚𝐧𝐭 𝐓𝐡𝐚𝐧 𝐖𝐞 𝐓𝐡𝐢𝐧𝐤 yang mempublikasikan hasil wawancara dengan Alan Jasanoff, professor teknik biologi di MIT, penulis buku The Biological Mind itu mengatakan bahwa internet pikiran adalah gagasan untuk menghubungkan pikiran secara langsung ke internet melalui implan otak sehingga kita tidak lagi perlu berbicara atau mengetik dan melakukan banyak hal dengan menghabiskan banyak waktu.
Tapi menurut dia, ini hal yang gelap dan berbahaya. “Saya secara pribadi tidak menganggapnya menarik. Tapi orang-orang seperti Elon Musk justru mempromosikan ini dengan argumen dasar bahwa untuk menjadi futuristik, kita harus mengutak atik otak”.
Baca Juga: Inovasi Elon Musk : Manusia Cerdas dengan Komputer di Kepala
Dengan maskud menghujat Musk, Jasanoff menyindir bahwa Elon Musk membawa integrasi antara manusia dan mesin selangkah lebih maju setelah memfasilitasi kemitraan antara Neuralink dan proyek SyNAPSE IBM, ahli bahan biokompatibel, ahli saraf, dan ahli BMI, untuk menciptakan seluruh otak yang disebut BCI sebagai “tali saraf”.
“Ada juga contoh lain yang menjadi pendekatan teratas industri otomotif yang mencoba hubungkan mobil ke otak. Bagi saya, kenapa tidak latih saja mobilnya secara manual? Bagi saya, ini bukan hal yang revolusioner,” katanya dalam kesempatan lain dalam sebuah seminar di London.
Singkatnya, jika kita ingin menyelesaikan masalah kita, kita tidak boleh mereduksinya menjadi masalah otak. Kita perlu memiliki pandangan yang luas, yang mengenali bagaimana otak terhubung dengan tubuh dan lingkungan.
𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚, otak, tubuh dan lingkungan itu terintegrasi. Istilah “Pikiran-otak-tubuh” menunjukkan bahwa kita adalah makhluk yang terintegrasi — bahwa pikiran kita (termasuk kemampuan kita untuk berpikir, mengingat, bernalar, merencanakan, dan merasakan) tidak terpisah dari bagian tubuh kita yang lain, atau memang dari lingkungan tempat kita tinggal.
Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme
Di satu sisi, otak mengontrol moral dan etika kita, kebahagiaan atau kesedihan kita, ingatan kita, kesehatan kita dan daftarnya terus berlanjut dan di lain sisi kita bukan hanya korban pasif dari otak kita. Ada hubungan timbal balik yang berlangsung terus menerus di antara tiga komponen di atas.
Mari simak salah satu paragraf artikel Monbiot bertajuk 𝐍𝐞𝐨𝐥𝐢𝐛𝐞𝐫𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦 𝐢𝐬 𝐜𝐫𝐞𝐚𝐭𝐢𝐧𝐠 𝐋𝐨𝐧𝐞𝐥𝐢𝐧𝐞𝐬𝐬. 𝐓𝐡𝐚𝐭’𝐬 𝐖𝐡𝐚𝐭 𝐖𝐫𝐞𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐒𝐨𝐜𝐢𝐞𝐭𝐲 𝐀𝐩𝐚𝐫𝐭 berikut: “Jika perpecahan sosial tidak diperlakukan seserius anggota tubuh yang patah, itu karena kita tidak dapat melihatnya.
Tapi ahli saraf bisa. Serangkaian makalah menarik menunjukkan bahwa rasa sakit sosial dan rasa sakit fisik diproses oleh sirkuit saraf yang sama.
Ini mungkin menjelaskan mengapa, dalam banyak bahasa, sulit untuk menggambarkan dampak dari putusnya ikatan sosial tanpa kata-kata yang kita gunakan untuk menunjukkan rasa sakit dan cedera fisik”.
Argumen di atas menegaskan bahwa baik pada manusia maupun mamalia sosial lainnya, kontak sosial mengurangi rasa sakit fisik. Inilah sebabnya mengapa kita memeluk anak-anak kita ketika mereka melukai diri sendiri; sebab kasih sayang adalah analgesik yang kuat.
Baca Juga: Ini Tanda Orang Tua Menghargai Anak dan Dampaknya pada Pertumbuhan Anak
Singkatnya, opioid meredakan penderitaan fisik dan/atau tekanan perpisahan dan perspektif ini memungkinkan adanya penjelasan tentang hubungan antara isolasi sosial dan kecanduan narkoba.
Artinya, di hadapan situasi batas, entah kematian karena covid-19, gangguan psikologis karena isolasi mandiri tanpa batas waktu, bunuh diri, depresi, dan seterusnya, yang kita butuhkan adalah mengaktifkan kembali otak, bukan sebatas imunisasi melalui vaksin saja.
Dalam kosa kata yang berbeda, kita butuh sesama sebagai obat penyembuh paling manjur dalam sejarah (Anda bisa telusuri literatur tentang fisika kuantum yang beroperasi dalam relasi sosial). Selamat mencintai.
*Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama bang Viki Djalong, kak Irna Welna, bro Dicky Hanus di rumah Gejayan, Februari – Maret 2021. / Foto : primaberita.com
Leave a Reply