Dilema Penjurusan dan Peminatan di Sekolah Menengah Atas dan Jalan Keluarnya

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA)  yang pada pada zaman Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dipimpin oleh Nadiem Makarim, hendak dikembalikan oleh Menteri Pendidikan saat ini, Dr. Abdul Mu’ti. Rencananya, sistem penjurusan, IPA, IPS dan Bahasa akan kembali berlaku di SMA. 

Kebijakan tersebut diberlakukan untuk mendukung pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti ujian nasional, yang akan segera berlaku pada bulan  November untuk siswa kelas 12, di mana hasil TKA akan digunakan dalam proses seleksi masuk jenjang selanjutnya.    

“Jurusan akan kita hidupkan lagi, IPA, IPS, Bahasa. Di TKA ada tes wajib Bahasa Indonesia, dan Matematika. Kalau jurusan IPA boleh pilih Fisika, Kimia atau Biologi. Kalau IPS ada Akuntansi dan sebagainya,” jelas Abdul Mu’ti dalam acara forum wartawan pendidikan di Jakarta. 

Baca Juga :

Membaca Arah Kiprah PB PGRI di Masa Transisi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah

Meskipun demikian, penggunaan hasil TKA di jenjang Perguruan Tinggi (PT) masih menjadi tanda tanya karena kewenangannya ada pada Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek). Namun dilihat dari kebijakannya, pada jalur seleksi seperti Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) memang bukan menguji mata pelajaran di SMA. 

Inilah salah satu dilemanya penjurusan di SMA. Penjurusan mau disinkronkan dengan kebijakan TKA yang akan menemukan relevansinya dengan proses seleksi masuk di jenjang di atasnya, sementara proses seleksi masuk PT tidak lagi menguji penguasaan mata pelajaran di SMA. Maka perubahan ini tidak sinkron, tidak relevan dengan sistem di atasnya. 

Sementara jika tetap menggunakan sistem peminatan yang berlaku pada Kurikulum Merdeka, sistem peminatan memang sudah sinkron dengan proses seleksi masuk PT, meskipun juga ada dilemanya.

Baca Juga :

Proses Eksplorasi Minat Anak dan Karier, Perlu Mulai Dilakukan di Sekolah Menengah Pertama

Dilemanya adalah pada sistem peminatan. Para peserta didik diberi kebebasan untuk mempelajari mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan rencana studinya. Misalnya seorang peserta didik berencana untuk masuk Fakultas Kedokteran, oleh karena itu dia memilih belajar Biologi dan Kimia saja, tidak perlu belajar Fisika. 

Padahal bisa jadi di kelas 12 minat dia berubah, ke arah Teknik, sementara di kelas 11 dia tidak belajar Fisika.    Oleh karena itu, pengamat pendidikan  Mansur Sipinathe dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengusulkan, sebaiknya sistem sebelumnya dimatangkan saja, ketimbang menggantinya dengan kebijakan yang baru yang ternyata tidak sinkron.

Ternyata, mau berubah ke arah mengembalikan penjurusan atau bertahan dengan kebijakan sebelumnya, dua-duanya berhadapan dengan dilema. Oleh karena itu saya setuju Mansur Sipinathe dari FGSI bahwa lebih baik menyempurnakan sistem sebelumnya daripada mengembalikan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA. 

Baca Juga :

STIN, Sekolah Kedinasan Gratis, Lulus Langsung Jadi Pegawai Negeri Sipil

Kenapa kembali ke sistem sebelumnya? 

Kembali ke sistem sebelumnya berarti saya ikut mengusulkan agar pemerintah memperbaiki kelemahan dari sistem peminatan yang diberlakukan pada zaman Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan. Di samping karena sudah sinkron dengan sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN, sistem ini dipandang lebih sesuai dengan semangat zaman. 

Kesesuaiannya terletak pada fleksibilitas yang diberikan pada peserta didik untuk memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk memilih mata pelajaran untuk dipelajari. Ini adalah peluang bagi peserta didik untuk melakukan  eksplorasi bakat dan minat. 

Baca Juga : 

Bakat dan Minat Murid dalam Sistem Pengelolaan Pendidikan dan Pengajaran Sekolah Menengah Finlandia

Hanya dengan kesempatan eksplorasi yang cukuplah, pada akhirnya peserta didik dapat mengenali konsentrasi minatnya. Penjurusan di SMA dipandang menghambat peserta didik untuk melakukan eksplorasi tersebut. Meskipun masih bisa berubah, tetapi lebih baik proses tersebut terjadi di SMA, bukan di perguruan tinggi. 

Tentu saja, proses ini perlu diikuti dengan program Bimbingan Karier yang intensif, di mana dalam proses tersebut peserta didik tidak hanya didampingi untuk melakukan proses eksplorasi, tetapi juga didampingi untuk membuat rencana karier yang akan menjadi patokan penting dalam proses eksplorasi tersebut. 

Selama ini SMA-SMA kita alpa dalam melakukan proses pendampingan yang penting ini. Hal inilah yang membuat proses eksplorasi di SMA tidak berjalan efektif. Padahal semestinya proses ini sudah harus dilakukan sejak dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di jenjang pendidikan inilah idealnya pengenalan dan eksplorasi dunia kerja serta karier sudah dilakukan. 

Baca Juga :

Penghapusan Jurusan di SMA Perlu diIkuti dengan Kebijakan Ini di SMP dan SMA

Di Finlandia, proses eksplorasi dunia kerja dan karier sudah dilakukan sejak dari seorang anak masih duduk di bangku SMP. Misalnya melalui program magang di kantor orang tua mereka, untuk membantu anak menyusun orientasi kariernya. Inilah yang membuat anak Finlandia lebih efektif melakukan proses eksplorasinya di SMA. 

Inilah penyempurnaan program peminatan di SMA, sekaligus menjadi jalan keluar yang saya maksud. Bukan dengan mengembalikan penjurusan yang selama ini mengungkung peserta didik pada kotak kecil jurusannya, sebelum ia memilih fokus mempelajari satu bidang yang menjadi keahliannya. 

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / foto :porosjakarta.com

 

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of