Eposdigi.com – Mencermati pernyataan Pengurus Besar PGRI menanggapi paparan 6 program prioritas Mendikdasmen Dr. Abdul Mu’ti, yang pada saat itu langsung menyatakan setuju terhadap wacana menghidupkan kembali ujian nasional yang pada zaman Nadiem Anwar Makarim ditiadakan.
Kata Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi, ujian nasional harus ada, hanya nama dan modelnya bisa di redefinisi dan modelnya tidak seperti sekarang. Ujian nasional dibutuhkan oleh satuan pendidikan sebagai standar minimum yang harus dicapai peserta didik.
Pernyataan dukungan yang hampir spontan ini, membuat saya tergerak untuk mencoba menelusuri sikap pengurus PGRI sebelumnya, pada zaman menteri pendidikan Nadiem Anwar Makarim, ketika muncul gagasan untuk meniadakan ujian nasional dari sistem pendidikan Indonesia.
Baca juga :
Perbaikan Kesejahteraan Guru Hanya Menunggu Kemauan Politik Dari Para Politisi
Pada saat itu, PB PGRI dipimpin oleh Didi Supriadi. Pengurus PGRI pada saat itu juga menyatakan dukungan terhadap gagasan meniadakan ujian nasional. Bahkan sikap tersebut sudah disampaikan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sebelumnya.
Sikap mereka bahkan didukung oleh data hasil survei dengan responden guru, kepala sekolah dan pengawas. Dari survei tersebut 70 persen guru setuju ujian nasional dihapus. Sedangkan 71 persen kepala sekolah dan pengawas sekolah menyatakan setuju ujian nasional ditiadakan.
Saya jadi mempertanyakan motivasi pengurus PB PGRI sekarang yang menyatakan setuju pada gagasan mengembalikan ujian nasional dalam komponen sistem pendidikan Indonesia. Jika pengurus yang dulu menolak ujian nasional, mengapa pengurus yang sekarang mendukung?
Baca juga :
Kesejahteraan Guru Hendak Diupayakan Melalui Revisi UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003
Saya jadi ingin mengetahui bagaimana gagasan atau landasan berpikir mereka, sehingga mereka menyatakan dukungan terhadap gagasan mengembalikan ujian nasional. Sebaiknya sikap mereka dilandasi oleh gagasan yang dapat mereka pertanggung jawabkan.
Tidak boleh terjadi dukungan mereka hanya didorong oleh interest pengurus, misalnya karena mereka ingin masuk menjadi bagian dari ‘gerbong’ Kemendikdasmen saat ini. Karena ini bukan tujuan PGRI didirikan pada awalnya.
Selama ini PGRI memang lebih sering digunakan oleh pengurusnya untuk kepentingan pribadi mereka daripada memperjuangkan kepentingan-kepentingan guru. Misalnya dalam hal kesejahteraan guru, kita belum pernah melihat advokasi PGRI secara sistematis menyangkut isu ini.
Baca juga :
Integritas atau Gaji? Dilema Profesi Guru di Indonesia dalam Bayang-Bayang Pinjaman Online
Menurut hemat saya, masalah kesejahteraan guru adalah masalah kemauan politik, bukan masalah anggaran. Lihat saja, pembangunan infrastruktur yang masif dapat juga terjadi ketika anggaran negara terbatas, hanya karena ada kemauan politik dari Presiden Jokowi.
PGRI seharusnya dapat secara sistematis melakukan advokasi untuk mendorong munculnya kemauan politik tersebut, untuk peningkatan kesejahteraan guru. Tapi PGRI tidak melakukan advokasi tersebut.
Saya membaca arah kiprah Pengurus PB PGRI di masa transisi seperti itu. Saya berharap PGRI lebih bertanggung jawab dalam menanggapi gagasan mengembalikan ujian nasional dalam sistem pendidikan Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: detik.com
Leave a Reply