Eposdigi.com – Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Bagi saya soal ini tidak jarang dijumpai dalam keseharian hidup masyarakat. Yang sungguh mengejutkan adalah tentang rekor dunianya. Tiga besar pula. Fatherless!!
Beberapa hari lalu, setelah menemukan artikel mengenai rekor Indonesia ini, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah video pendek yang isinya tentang bagaimana menangani anak yang sedang rewel. Terutama anak yang masih minum ASI.
Bahwa dalam kondisi tertentu anak akan semakin rewel karena mencium aroma ASI dari ibunya, sehingga ia harus dipisahkan sementara dan digendong oleh ayahnya. Nanti kalau rewelnya sudah meredah baru kemudian digendong lagi oleh ibunya, kira-kira demikian.
Artikel dari detik-helath (15.05.2023) yang menjadi inspirasi utama tulisan ini menyebutkan banyak hal.
Bahwa dalam tumbuh kembangnya seorang anak membutuhkan figure ini. Dalam kedekatannya secara fisik dan dalam bentuk perharian anak akan mendapatkan banyak pengalaman yang membuatnya tumbuh dengan karakter-karakter baik.
Detik-health secara terang menyebutkan tentang kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasi, tingkat kepercayaan diri, juga kemampuan berpikir.
Tingkat kepercayaan diri membuat anak lebih mudah mencari solusi dan menemukan jalan keluar atas masalah. Karena itu anak tumbuh dengan kerentanan terhadap stress sangat minim.
Saya mencoba mencari sumber lain untuk mengkonfirmasi apa yang ditulis oleh detik,com ini, minimal mencari sumber sahih mengenai rekor tiga besar dunia ini. Detik hanya menyebutkan tentang “ramai di media social”.
Dwi Ratna LAksitasari, S.Psi dari Dinsos Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam tulisannya di babelprov.go.id menyebutkan bahwa Fatherless adalah sebuah gejala di masyarakat berupa kecenderungan tidak adanya peran dan keterlibatan figure ayah secara signifikan dan hangat dalam keseharian seorang anak.
Saya sangat menyukai dua kata kunci yang digunakan Dwi Ratna Laksitasari dalam definisinya ini. Dua kata kunci ini yaitu : Keterlibatan ayah secara SIGNIFIKAN dan HANGAT.
Ketidakhadiran ayah dalam tumbuh kembang anak di sebutkan oleh Dwi Ratna Laksitasari menyebabkan anak mengalami father hunger. Kondisi “lapar pada sosok ayah” disebutkan sebagai kerusakan psikologis. Sekali Lagi kata kuncinya adalah KERUSAKAN psikologis.
Father hunger ini diikuti oleh rendahnya harga diri anak, anak tumbuh dalam psikologi yang tidak matang (kekanak-kanakan), anak tidak mandiri, gagap dalam identitas seksual : bisa saja terlalu feminism atau juga hipermaskulin, kesulitan dalam belajar, tidak tegas, dan kesulitan dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah.
Bagi anak perempuan, ia sulit mengidentifikasi figure pasangan sempurna karena tidak ditemukan dari ayahnya semasa tumbuh kembangnya. Anak tanpa figur ayah cenderung tumbuh tanpa kematangan psikologis yang membuat mereka rentan jatuh sebagai pelaku maupun korban KDRT ketika dewasa.
Banyak sumber memberi contoh kondisi yang juga beragam mengenai fatherless ini. Ada yang memasukan anak yatim, yang karena ayah meninggal dunia sebagai fatherless. Ada pula yang memberi contoh anak yang tumbuh diasuh sendiri oleh ibunya sebagai fatherless.
Kondisi ibu menjadi pengasuh tunggal misalnya karena masalah perkawinan atau masalah pekerjaan yang mengakibatkan ayah jauh dari anak-anaknya. Dalam tulisan ini saya mengesampingkan dua kondisi tersebut di atas; anak yatim dan ibu yang single parents.
Saya lebih suka focus pada dua kata kunci Dwi Ratna Laksitasari di atas. Menurut saya fatherless yang paling parah adalah kehadiran fisik seorang ayah di rumah namun tanpa peran secara signifikan dan hangat.
Figur ayah ada di rumah namun tidak terlibat sungguh dalam proses tumbuh kembang anak. Kondisi ini dalam masyarakat kita yang cenderung patriarkis akan sangat jamak ditemui.
Sifat patriarkis yang dominan di masyarakat kita membuat orang berpikir seolah-oleh urusan mengasuh anak adalah peran tunggal seorang ibu. Anggapan demikian inilah yang mengakibatkan peran ayah tidak hadir secara signifikan dan hangat.
Ayah ada di rumah, namun ia sibuk dengan hobinya, dengan pekerjaannya, dengan HPnya, dengan dirinya sendiri dan sangat minim atau bahkan tidak sama sekali membantu istrinya, ibu anak-anaknya, hadir secara signifikan dan hangat dalam mengasuh anak-anak mereka.
Dampak negative baik yang ditulis oleh detik.com maupun oleh Dwi Ratna Laksitasari dalam tulisannya tentu bukan sesuatu yang sederhana. Kerusakan Psikologis dari fatherless tidak dapat diperbaiki dengan mudah.
Anak-anak yang tumbuh dengan kondisi father hunger membawa serta semua afek negative itu dalam diri mereka seumur hidup. Itu berarti peran signifikan dan hangat seorang ayah sangat menentukan bagi masa depan seorang anak; masa depan bangsa.
Foto ilustrasi dari diadona.id
Leave a Reply