Eposdigi.com – Banyak sekali saya temukan miskonsepsi dalam pembelajaran berdiferensiasi. Khususnya di Pelajaran Matematika. Entah ketika saya mengisi pelatihan atau webinar, juga ketika melihat berbagai konten baik youtube, tiktok maupun instagram. Pembelajarannya asyik, menyenangkan, cocok dikontenkan, tapi kosong makna. Tidak sesuai dengan karakteristik Matematika. Cocoknya cuma ditiktokin saja.
Di salah satu video youtube ada guru berbagi praktik baiknya di kelas 2 SMA. Dia sedang mengajarkan komposisi fungsi. Lalu aspek diferensiasi yang dia gunakan adalah gaya belajar.
Murid visual diberi semacam info grafis, murid audio diberikan laptop untuk menonton video, dan murid kinestetik diberikan VR. Iya VR virtual reality yg dipakai di mata. Entah apa yang di dalam VR saya tidak tahu, tapi si murid tampak berjalan-jalan di kelas.
Baca Juga :
Begini ya bapak/ibu guru Matematika yang imut dan unyu-unyu. Objek Matematika itu abstrak. Fungsi komposisi dalam Matematika tidak dipelajari dengan jalan-jalan, sekalipun anak kinestetik. Aktivitas murid dalam belajar Matematika itu nggak dilihat ketika dia berjalan-jalan pakai VR.
Belajar Matematika nggak seperti berburu pokemon. Aktivitas belajar Matematika itu paling banyak ya aktivitas berpikirnya, kognitifnya. Semua itu ada di dalam otak. Jadi, nggak usah iri lihat pelajaran lain terus jadi latah ikut-ikutan.
Nggak semua konsep dalam Matematika itu bisa dipraktikkan, diwujudkan dalam kehidupan nyata. Sebab Matematika itu berbicara tentang ide, gagasan dalam menyelesaikan masalah.
Terus di salah satu video lain ada guru kelas 3 SD berbagi praktik baik mengajar perkalian. Lagi-lagi aspek yang digunakan adalah gaya belajar. Murid yang kinestetik diberi sedotan untuk dihitung, murid audio dijelasin gurunya, murid visual langsung diberi soal perkalian bersusun ke bawah.
Baca Juga :
Faktor Inilah yang Menyebabkan Angka Pengangguran Tertinggi Dialami oleh Lulusan SMK
Begini teman-teman guru Matematikaku yang hobi pakai sandal; pembelajaran diferensiasi itu tidak berfokus pada perbedaan apa yang akan saya berikan di kelas, tapi apa yang saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan murid. Lah kalau kebutuhan muridnya sama, ya gak usah dibedakan.
Di kelas 3 SD, menurut Kakek Piaget, murid masih dalam tahapan berpikir operasional konkrit. Tahukan ya konkrit. Ada benda yang bisa mereka pegang dan manipulasi. Murid kinestetik mendapat keuntungan sebab mereka dapat sedotan sebagai alat peraga.
Lah murid visual, gak dijelasin, tiba-tiba dikasih soal perkalian bersusun ke bawah. Iya soalnya ini disajikan secara visual bukan dibungkus pakai daun pisang dikaretin 2 kayak rujak. Tapi nggak gitu juga. Lah kasihan murid visual yang tiba-tiba ngerjain soal.
Harusnya mereka semua, terlepas dari apapun gaya belajarnya, mendapat alat peraga yg bisa dimainkan. Loh bedanya di mana dong? Harus banget ya keliatan bedanya. Mau dikontenkan biar keliatan paling wow ya?
Baca juga :
Sekali lagi ya bapak/ibu guru para jawara balap karung: Objek Matematika itu bersifat abstrak dan umum. Tidak perlu memaksakan membuat perbedaan berdasarkan minat atau profil belajar kalau memang dirasa susah.
Misalnya nih mau belajar limit fungsi, mau minatnya panjat tebing, panjat pinang, atau panjat-panjatan yang lain, nggak ngaruh sama konten dan proses belajar Matematikanya.
Konsep Limit fungsi mau dipake di bidang apapun ya tetep sama. Sebab seperti saya bilang tadi, itu keumuman Matematika. Konsep segitiga mau dipakai arsitek atau dipake masak onigiri ya gak berbeda.
Misalnya lagi nih mau belajar Logaritma, mau dia murid cewek atau murid cowok, gaya belajarnya apapun itu, konsep logaritmanya ya tetap sama. Kalau memaksakan belajar logaritma ala gaya belajar kinestetik dengan bermain peran misalnya, ya malah aneh dan gak nyambung.
Lalu mengenai strategi berdiferensiasi produk. Ini lebih aneh lagi. Hasil belajar Matematika itu adalah pemahaman yang ada di otak anak. Beda seperti pelajaran lain.
Baca juga :
Krisis Kepemimpinan Pendidikan sebagai Salah Satu Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan
Hasil belajar anak setelah belajar konsep fungsi kuadrat bukan berarti tiba-tiba mereka bisa menendang bola melengkung ala Beckham. Jadi jangan memaksakan membuat diferensiasi produk kalau memang tidak sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
Lalu gimana dong membuat pembelajaran berdiferensiasi? Sederhana kok.
Dalam belajar Matematika, apa yang mungkin berbeda dari murid-murid kita? Yang paling mungkin adalah responnya. Maksudnya adalah respon ketika murid mencoba menyelesaikan masalah yang diberikan guru. Lalu strategi apa yang harus dilakukan oleh guru?
Sebenarnya cara guru yang memberi respon yang berbeda untuk membantu siswa dalam menyelesaikan masalah Matematika itu termasuk dalam diferensiasi. Bantuan seperti apa yang diberikan guru yang sesuai dengan yang murid butuhkan.
Baca juga :
Menciptakan Ekosistem Pendidikan yang Sehat untuk Tumbuh Kembang Anak
Nah bantuan yang menyesuaikan kebutuhan murid dalam belajar Matematika inilah yang biasa disebut scaffolding. Kalau ngomongin scaffolding tentu ngomongin zpd-nya. Jadi guru harus tahu sejauh mana zone proximal development murid.
Mengajar murid di bawah zpd akan membuat murid bosan, sedangkan mengajar di atas zpd akan membuat murid frustasi. Jadi zpd yang berbeda-beda ini yang bisa dijadikan aspek kesiapan dalam pembelajaran berdiferensiasi.
Percuma mau pakai tèknologi AR kek, VR kek, nano teknologi sekalipun kalau guru ngajarnya nggak sesuai zpd ya bakal sia-sia. Nggak usah kebanyakan gimmick-gimmick teknologi yang sebenarnya nggak esensial. Matematikawan paling sukses sekalipun nggak belajar pakai VR juga kok.
Baca juga :
Lintas Jurusan di Perguruan Tinggi, Perlu Diikuti di SMA dengan Kebijakan Ini
Teori pembelajaran diferensiasi Tomlinson itu bagus untuk kesetaraan, tapi jangan ditelan sendirian. Sebab ada banyak teori belajar Matematika yang lebih mendasar misalnya teori belajarnya kakek Piaget dan Vigotsky.
Jangan karena lagi ngetren teori pembelajaran berdiferensiasi, lantas membuat pembelajaran yang kontra-produktif. Belajar itu nggak harus menyenangkan dan mewah, tapi harus bermakna. Sudah.
Penulis adalah Guru Matematika dan Founder Matemagis
Artikel ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tauangkan kembali dengan izin dari redaksi. / Foto:gramedia.com
Leave a Reply