“Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan kemarin, mengenai Tanggung Jawab Pendidikan di SMA di Adonara Timur“
Eposdigi.com – Karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama maka ekosistem pendidikan pun harus bisa menciptakan ruang dan waktu yang ideal untuk tumbuh kembang anak.
Sebagai sebuah ekosistem maka, setiap individu yang terlibat dalam ekosistem tersebut adalah satu tim yang sama. Tim yang bergerak dalam harmoni yang sama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan, mengantar setiap anak menjadi pribadi terbaik dalam segala macam pengukuran sesuai dengan kekhasan individu masing-masing anak.
Jika ada tanda-tanda konflik kepentingan dalam ekosistem pendidikan, maka lingkungan pendidikan seperti itu akan meracuni setiap orang yang ada dalam ekosistem itu.
Baca Juga:
Jika guru berkonflik dengan sekolah, jika sekolah tidak akur dengan orang tua, jika orang tua dan sekolah berlawanan dengan pemerintah dan atau jika guru dan sekolah punggung memunggungi dengan organisasi profesi guru maka yang menjadi korban adalah anak didik.
Kita hidup dan menghidupi sebuah zaman dimana interaksi semua orang terhubung dan terbuka pada saat yang bersamaan. Karena komunikasi tanpa batas inilah maka persepsi konflik dalam dunia pendidikan tidak memiliki batas pagar.
Konflik orang tua dan sekolah, sekecil apapun itu, menunjukan bahwa kita belum memiliki satu fokus tujuan yang sama yaitu tumbuh kembang seluruh potensi anak didik.
Apalagi jika masing-masing pihak mulai mencari pembenaran versinya dengan “memohon” dukungan dari siapa saja di media social. Yang sama sama disadari tanpa batas ruang dan waktu, itu.
Tidak ada yang lebih memahami persoalan yang terjadi di dalam komunitas sekolah selain orang tua, guru dan siswa sekolah tersebut. Karena itu penyelesaiannya pun harus datang dari inisiatif komunitas kecil ini.
Baca Juga:
Penghapusan Jurusan di SMA Perlu diIkuti dengan Kebijakan Ini di SMP dan SMA
Mengapa harus diselesaikan di dalam komunitas kecil ini? Karena hanya merekalah yang paling tahu persoalannya. Karena semakin kecil komunitas, semakin terbuka peluang untuk bisa berbicara dari hati ke hati dengan semangat saling memahami.
Dialog hanya konstruktif jika semua orang sadar. Guru, sekolah, orang tua, dan anggota komunitas lainnya berpedoman pada satu fokus yang sama yaitu demi tumbuh kembang anak dengan berbagai kekhasan individualnya. Bukan ego untuk menang masing-masing dari mereka.
Solusi “Win-Win” sudah ketinggalan zaman.
Win-win solution sudah lapuk ketinggalan zaman. Sebab untuk mendapatkan solusi menang-menang, masing-masing pihak harus melepaskan sebagian kepentingannya untuk pihak lain.
Terutama dalam dunia pendidikan. Kepentingan setiap anggota komunitas sekolah harus terakomodir semuanya. Tidak boleh ada satu bagian pun yang ditinggalkan demi memenangkan apa yang dinamakan win-win solution.
Kerjasama kolaboratif juga tidak tepat dalam dunia pendidikan. Kolaborasi hanya memungkinkan semua orang yang terlibat “terpaksa” memberi yang terbaik saja. Bukan memberi diri sepenuhnya untuk tujuan bersama.
Kolaborasi menjadi bom waktu yang merusak ketika seseorang merasa bahwa kebutuhannya untuk menjadi kolaboran, merasa bahwa tujuannya tidak lagi sama dengan tujuan bersama. Ia bakal menarik diri.
Baca Juga:
Menyiapkan Anak Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Memasuki Sekolah Baru
Dunia pendidikan membutuhkan kerjasama sinergis. Menciptakan alternatif-alternatif baru yang mengakomodir kepentingan semua orang. Ketika semua orang memberi diri dan menemukan tujuan bersama maka semua energy mereka akan terarah pada tujuan tersebut.
Kerjasama sinergis antara sekolah, guru dan organisasi profesinya, orang tua, siswa, masyarakatlah yang menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat untuk mengupayakan tujuan bersama yaitu tumbuh kembang anak didik sebagai pribadi yang utuh.
Kesediaan untuk mendengarkan, jalan menuju kerjasama sinergis.
“Tak kenal maka tak sayang.” Ini benar. Untuk dapat sinergis dengan orang lain, kita butuh memahami diri kita sekaligus bersedia memahami orang lain. Sekolah harus memahami budayanya. Orang tua harus mengerti keinginan anaknya. Dan sekolah serta orang tua harus saling mendengarkan untuk menciptakan sinergi terbaik bagi anak didik.
Membangun sinergi tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil untuk dilakukan. Guru, sekolah dan orang tua dalam ‘studi kasus’ tulisan ini nyatanya belum bisa saling memahami satu sama lain. Dialog nyatanya sudah dibuka dalam banyak kesempatan. Hanya saja tidak tuntas mencabut benih-benih konflik.
Baca Juga:
Dialog untuk sinergi adalah kesediaan melepaskan prasangka demi keinginan untuk memahami masing-masing pihak. Dalam dialog sinergis, guru tidak boleh merasa sudah memahami orang tua. Pun sebaliknya, orang tua jangan merasa sudah memahami guru dan sekolah.
Perasaan bahwa saya sudah memahami pihak lain, kadang menjadi kebenaran ilutif. Hanya ilusi seolah-olah saya sudah memahami.
Dialog yang sinergis adalah memberi kesempatan kepada semua orang untuk mengeluarkan apapun yang ada di dalam keinginannya, kebutuhannya, sehingga orang tersebut mengalami bahwa dia dipahami.
Karena itu keterampilan untuk mendengarkan adalah keterampilan dasar untuk membangun sinergi dengan siapapun.
Intinya bahwa : komunitas pendidikan yang didalamnya ada guru, sekolah, organisasi profesi, pemerintah, orang tua, siswa sendiri, dan masyarakat luas bertanggung jawab untuk menciptakan sinergi, guna mendorong setiap anak tumbuh menjadi pribadi yang utuh, sesuai kekhasan dan keunikan masing-masing anak didik.
Foto ilustrasi dari vecteezy.com
Leave a Reply