Eposdigi.com – Sejak dihapuskannya Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021, sistem evaluasi pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan. Asesmen Nasional (AN) diperkenalkan untuk menggantikan UN dengan pendekatan yang lebih berorientasi pada literasi, numerasi, dan karakter siswa.
Kini, pemerintah kembali memperkenalkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai instrumen evaluasi baru bagi siswa kelas 12. Namun, kebijakan ini tampak seperti langkah yang tergesa-gesa.
Sementara AN sendiri masih dalam tahap perbaikan dan penyesuaian, kini muncul kebijakan baru yang menimbulkan pertanyaan: apakah TKA merupakan inovasi yang membawa perbaikan nyata, atau sekadar pergantian istilah tanpa perubahan substansial?
- Transformasi Evaluasi: Dari UN ke AN dan Kini TKA
Ujian Nasional selama bertahun-tahun menjadi tolok ukur utama dalam menentukan kelulusan siswa di Indonesia. Namun, kritik terhadap UN semakin menguat karena dianggap hanya mengukur penguasaan materi akademik tanpa mempertimbangkan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, serta kecakapan abad ke-21 (Hanushek & Woessmann, 2011).
Baca juga :
Sebagai respons atas kritik tersebut, pemerintah menghapus UN dan menggantikannya dengan Asesmen Nasional (AN), yang lebih menekankan pemetaan mutu pendidikan secara nasional.
AN bertujuan untuk menilai kualitas pendidikan melalui tiga komponen utama: asesmen literasi dan numerasi, survei karakter, serta survei lingkungan belajar (Kemendikbudristek, 2022).
Pendekatan ini lebih berorientasi pada sistem daripada individu, sehingga tidak memiliki konsekuensi langsung terhadap kelulusan siswa.
Namun, dengan munculnya kembali evaluasi berbasis individu dalam bentuk TKA, muncul pertanyaan apakah Indonesia sedang kembali ke sistem evaluasi berbasis tes standar yang sebelumnya dikritik.
TKA dijadwalkan untuk diterapkan mulai November 2025 sebagai alat seleksi bagi siswa kelas 12 yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Berbeda dengan UN yang fokus pada pencapaian akademik berdasarkan kurikulum, TKA diklaim lebih mengukur keterampilan berpikir analitis dan aplikatif.
Namun, perbedaan ini masih perlu dikaji lebih lanjut untuk memastikan bahwa TKA benar-benar menghadirkan pendekatan yang lebih bermakna dalam mengukur kompetensi siswa.
- Tantangan dan Potensi Masalah dalam Implementasi TKA a) Potensi Kembali ke Model “Teaching to the Test“
Penelitian menunjukkan bahwa sistem evaluasi berbasis tes standar cenderung mendorong sekolah untuk berorientasi pada “teaching to the test“, di mana pengajaran lebih fokus pada persiapan ujian daripada pemahaman mendalam (Schwartz, 2021).
Baca juga :
Apa Hasil Penelitian Bank Dunia tentang Learning Loss di Indonesia?
Jika TKA tidak dirancang dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan holistik, maka ada resiko bahwa pola pembelajaran di sekolah akan kembali terjebak dalam praktik lama yang kurang mendukung eksplorasi dan kreativitas siswa.
Selain itu, format soal pilihan ganda yang sering digunakan dalam tes standar justru dapat menghambat pengembangan berpikir kritis.
Alih-alih mendorong analisis mendalam, siswa cenderung diajarkan untuk mengenali pola jawaban atau menghafal trik menjawab soal, bukan memahami konsep secara substansial.
Di mana letak berpikir kritisnya jika siswa hanya diajarkan mencari pola dalam jawaban yang tersedia?
b) Ketidaksesuaian dengan Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka yang sedang diimplementasikan saat ini menekankan fleksibilitas pembelajaran, eksplorasi minat, serta pengembangan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah (OECD, 2022).
Jika TKA hanya menjadi versi lain dari UN dengan format soal pilihan ganda yang kaku, maka keberadaannya justru bertentangan dengan semangat reformasi pendidikan yang sedang dikembangkan.
c) Kebijakan yang Terlalu Tergesa-gesa
Kebijakan yang mengubah sistem evaluasi dalam waktu singkat beresiko menimbulkan kebingungan di lapangan. AN sendiri masih dalam tahap penyempurnaan, tetapi pemerintah kini memperkenalkan kebijakan baru tanpa ada waktu yang cukup untuk memastikan efektivitasnya.
Baca juga :
Penjelasan Nadiem Makarim tentang Peringkat PISA Indonesia Terbaru dan Asesmen Nasional
Reformasi pendidikan seharusnya dilakukan secara bertahap dengan evaluasi yang mendalam, bukan melalui perubahan mendadak yang justru berpotensi menghambat stabilitas sistem pendidikan.
d) Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi TKA adalah kesiapan sekolah dan perguruan tinggi dalam menyesuaikan diri dengan kebijakan ini.
Jika perguruan tinggi tidak mengadopsi hasil TKA sebagai bagian dari seleksi nasional, maka siswa kelas 12 justru akan dihadapkan pada dua sistem evaluasi yang berbeda—TKA dan Tes Skolastik—yang berpotensi menambah beban akademik mereka (Brookhart, 2013).
Selain itu, kebijakan yang diterapkan secara terburu-buru tanpa uji coba yang matang dapat menghasilkan implementasi yang tidak optimal.
Baca juga :
Kesimpulan Hasil Penelitian; ChatGPT Menyebabkan Penurunan Kemampuan dan Prestasi Belajar Murid
- Tiga Jalan Keluar untuk Evaluasi Pendidikan yang Lebih Bermakna
Agar evaluasi pendidikan di Indonesia tidak hanya sekedar berubah nama tetapi juga membawa dampak positif bagi kualitas pembelajaran, ada beberapa solusi yang perlu dipertimbangkan:
a) Mengintegrasikan TKA dengan Sistem Seleksi Perguruan Tinggi
Jika TKA benar-benar ingin menjadi alat seleksi akademik yang relevan, maka perlu ada integrasi yang jelas dengan sistem seleksi masuk perguruan tinggi, seperti Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT).
Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi beban tambahan bagi siswa tetapi juga memiliki manfaat nyata dalam proses transisi mereka ke jenjang pendidikan tinggi.
b) Menerapkan Model Evaluasi yang Lebih Holistik
Alih-alih kembali ke tes standar berbasis pilihan ganda, evaluasi akademik seharusnya mengadopsi pendekatan berbasis kompetensi, seperti asesmen berbasis proyek, portofolio, dan ujian berbasis studi kasus (Brookhart, 2013).
Pendekatan ini lebih mencerminkan kemampuan siswa dalam menghadapi tantangan nyata di dunia akademik maupun profesional.
c) Memastikan Kesiapan Sekolah melalui Uji Coba dan Pendampingan
Sebelum diterapkan secara nasional, pemerintah perlu melakukan uji coba TKA di beberapa sekolah percontohan untuk mengukur efektivitasnya.
Baca juga :
Selain itu, guru dan sekolah perlu mendapatkan pendampingan dalam menyesuaikan metode pengajaran mereka agar selaras dengan tujuan evaluasi yang lebih komprehensif.
Kesimpulan: Evaluasi Pendidikan Harus Lebih dari Sekadar Pergantian Nama
Perubahan dari Ujian Nasional ke Tes Kemampuan Akademik seharusnya bukan sekadar formalitas. Jika benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendidikan, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan:
- Tujuan Evaluasi yang Jelas – TKA harus memiliki integrasi yang kuat dengan sistem seleksi nasional agar tidak menjadi beban tambahan bagi siswa.
- Metode Evaluasi yang Berbasis Kompetensi – Tes sebaiknya tidak hanya mengukur hafalan tetapi juga kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
- Kesiapan Infrastruktur Sekolah dan Guru – Implementasi harus dilakukan secara bertahap dengan pendampingan yang memadai.
Jika hanya mengganti nama tanpa perubahan substansial, maka yang terjadi hanyalah siklus kebijakan yang berulang tanpa memberikan dampak nyata bagi kualitas pendidikan di Indonesia.
Baca juga :
Integritas atau Gaji? Dilema Profesi Guru di Indonesia dalam Bayang-Bayang Pinjaman Online
Reformasi pendidikan yang sesungguhnya harus berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran dan kesejahteraan siswa, bukan sekadar perubahan kosmetik dalam sistem evaluasi.
Penulis adalah Kepala SMA Regina Pacis Jakarta
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: parenting.co.id
Leave a Reply