Orang Denmark Paling Bahagia Di Dunia karena Belajar Empati di Sekolah?

Internasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sejatinya, bahagia dalam hidup bukan hanya tentang kemampuan kita memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan dalam hidup kita. Karena banyak orang kaya yang memiliki kemampuan untuk memenuhi tiga kebutuhan tersebut ternyata tidak bahagia. 

Sebaliknya, banyak pula orang yang belum mampu memenuhi ketiga kebutuhan ini, tetapi menikmati hidup bahagia, lantaran memiliki hubungan yang harmonis dalam interaksi antar manusia, dengan semua orang di sekelilingnya. 

Tidak dipungkiri, bahagia memang membutuhkan kecukupan sandang, pangan dan papan. Namun ternyata tanpa hubungan yang harmonis dalam interaksi antar manusia dengan semua orang di sekeliling kita, kebahagiaan tidak mungkin dapat kita raih. 

Baca juga : 

Daftar Negara Paling Bahagia dan Paling Sengsara di Dunia. Indonesia Masuk Kategori Mana?

Faktor yang sangat menentukan efektivitas interaksi antar manusia salah satunya adalah kemampuan berempati antar manusia. David Howe mendefinisikan empati sebagai kemampuan manusia dalam mengidentifikasi pikiran dan perasaan orang lain, dalam rangka merespon pikiran dan perasaan tersebut dengan sikap yang tepat.

Oleh karena itu, selain sebagai penentu kebahagiaan dan keberhasilan hidup manusia, empati juga menjadi penentu mutu kemanusiaan manusia. Manusia dengan empati yang tinggi akan menjadi sangat manusiawi. Empati membantu membangun hubungan yang positif antar manusia.

Oleh karena itu, orang dengan empati yang tinggi cenderung lebih sukses, karena mereka lebih suportif kepada orang lain, dan sebaliknya di-support oleh orang di sekelilingnya. Di samping itu, orang dengan empati  tinggi cenderung lebih berorientasi pada tujuan.

Sebaliknya manusia dengan empati yang rendah, akan cenderung menjadi pemicu masalah-masalah sosial kemanusiaan, karena orang yang berempati rendah cenderung provokatif, tidak peduli pada orang lain,  bahkan cenderung berperilaku menindas.  

Baca juga : 

Apa yang membuat Indeks Kebahagiaan Warga Denmark Paling Tinggi di Dunia?

Maka empati adalah keterampilan sosial yang sangat penting dalam hidup bersama. Sebagai keterampilan sosial yang sangat penting, empati perlu diwariskan. Lebih dari itu, para ahli psikologi dan ahli pendidikan meyakini bahwa empati merupakan keterampilan sosial penting yang dapat dipelajari. 

Pemahaman inilah yang menjelaskan mengapa negara seperti Denmark, memberi perhatian pada pengembangan empati dengan memasukkan empati sebagai subjek yang dipelajari dalam kurikulum pendidikan nasionalnya untuk anak usia 6-16 tahun, sejak tahun 1993. 

Pembelajaran empati sejak dini ini, menurut penelitian Jessica Alexander, telah menjadi faktor penyumbang yang sangat signifikan pada kebahagiaan hidup masyarakat Denmark seperti dilaporkan oleh Perserikatan Bagsa Bangsa (PBB) dalam World Happiness Report

Baca juga : 

Rata-Rata IQ Orang Indonesia Berada di Peringkat 129 Dunia, Di ASEAN Paling Rendah, Ini Penyebabnya

Laporan ini berasal dari survei sebuah badan ad hoc PBB, Sustainable Development Solutions Network (SDSN) yang bekerja sama dengan The Center for Sustainable Development Columbia University. Laporan tersebut sejak tahun 2012 menempatkan masyarakat Denmark sebagai masyarakat  paling bahagia dari 155 negara di dunia.

Bagaimana sekolah-sekolah  Denmark mengajarkan empati? 

Di Denmark empati dipelajari sejak seorang anak memasuki Sekolah Dasar (SD) dan terus berlangsung hingga berumur 16 tahun, ketika sudah berada di Sekolah Menengah Atas, baik dengan menyediakan waktu khusus, maupun dengan memberi perhatian pada pengembangan nilai-nilai tertentu melalui semua mata pelajaran. Berikut uraiannya. 

1. Klassens tid

Klassens tid adalah waktu yang disediakan khusus selama 1 jam setiap minggu bagi semua anak untuk mengembangkan empati mereka. Ini adalah jam belajar yang sangat penting dalam kurikulum sekolah-sekolah di Denmark. Jam ini sama pentingnya dengan jam pelajaran yang lain seperti bahasa Inggris atau Matematika. 

Baca juga : 

Tiga Rahasia Hidup Bahagia Bagi Orang Finlandia

Selama jam klassens tid, mereka tidak membahas tentang konsep dan seluk-beluk mengenai empati, melainkan para siswa bersama guru mereka mendiskusikan masalah yang mereka hadapi secara bersama-sama dan berupaya mencari solusi dari masalah tersebut, baik masalah pelajaran maupun masalah pribadi; pergaulan atau keluarga.  

Jika ada yang menyampaikan masalah, mereka semua mendengarkan dengan serius, sambil tetap menunjukan respek pada teman mereka yang menyampaikan masalahnya. Di sanalah esensinya pembelajaran empati tersebut; mereka mencoba memahami perasaan teman mereka dan mencoba berpikir seperti pikiran teman tersebut.

Jika tidak ada problem yang dibahas, anak-anak dan guru bersantai sambil menikmati hygge. Hygge dalam budaya Denmark artinya waktu kosong yang sengaja diciptakan untuk menikmati kebersamaan dalam kehangatan dan saling percaya.

2. Kerja sama kolaboratif

Dalam rangka mengembangkan empati, 60 persen dari tugas di sekolah-sekolah Denmark diselesaikan dalam format kerja tim. Dalam proses kerjasama tersebut para guru memberi perhatian terhadap pembentukan nilai-nilai kebersamaan. 

Baca juga : 

BRICS dan Dedolarisasi, Tanda Berakhirnya Hegemoni Amerika Serikat?

Misalnya dalam kerjasama, fokusnya bukan menjadi yang terbaik dari yang lain, melainkan semua siswa memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Inilah yang membentuk suasana kerja di Denmark menjadi tempat kerja terbaik di Eropa.  

Dalam kerja sama, guru-guru di Denmark sangat menekankan nilai-nilai kebersamaan dan bukan persaingan. Guru-guru menekankan bahwa tiap-tiap siswa tidak bersaing dengan siswa yang lain, melainkan bersaing dengan dirinya sendiri.

Oleh karena itu, sekolah-sekolah di Denmark, tidak memberikan hadiah kepada para siswa yang berprestasi pada mata pelajaran tertentu, agar tidak memicu persaingan di antara para siswa. Mereka menciptakan iklim motivasi untuk berkembang yang ukurannya adalah capaian mereka sendiri. 

Dalam iklim kerjasama kolaboratif itu, guru-guru di Denmark mengajarkan pada para siswa untuk berkolaborasi antar siswa yang memiliki kemampuan, bakat-minat, kekuatan dan kelemahan yang berbeda tersebut, dan justru masing-masing berkembang karena kolaborasi tersebut. . 

Baca juga : 

Hindari Sembilan Kesalahan ini, Agar Tidak Menjadi Penyesalan Seumur Hidup – Empat Bagian Pertama

Para guru mendorong para siswa untuk saling membantu dalam proyek-proyek yang mereka kerjakan. Guru-guru menekankan bahwa untuk berhasil dalam hidup, orang perlu berkolaborasi dengan orang lain. Dan bahwa hanya dengan berkolaborasi, hasil yang diperoleh akan lebih maksimal bagi semua orang.

3. Memberi ruang bagi anak untuk bermain

Selain dua hal tersebut di atas, hal lain yang dilakukan di sekolah-sekolah Denmark untuk mengembangkan empati adalah memberi ruang bagi anak-anak untuk bermain bebas. Menurut Jessica Alexander bermain bebas memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan empati dan mengembangkan keterampilan bernegosiasi. 

Waktu untuk bermain bebas tersebut misalnya pada saat jam istirahat. Oleh karena itu jam istirahat di Denmark relatif lama dan siwa bebas bermain.  Dalam penelitiannya, Jessica Alexander bahkan menyimpulkan bahwa bermain bebas di sekolah Denmark telah dianggap sebagai alat pendidikan, termasuk alat pengembangan empati sejak tahun 1871. 

Baca juga : 

“Yang Terbaik Untuk Anak”; Antara Ego Orang Tua atau Kebutuhan Anak?

Itulah cara Denmark mengelola pendidikannya. Para siswa bukan hanya belajar ilmu pengetahuan dan teknologi saja melainkan juga belajar keterampilan sosial seperti empati dan telah terbukti berdampak positif menjadikan siswa mereka menjadi dewasa dan bahagia. Bagaimana dengan kita di Indonesia? 

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: cose.org

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of