Eposdigi.com – Tidak bisa dipungkiri, Perkembangan teknologi dengan Kecerdasan Buatan atau Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence) menjadi sedemikian pesat sehingga mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia saat ini.
Terutama dalam dunia ketenagakerjaan. Artificial Intelligence atau Kecerdasan Artifisial memberi pengaruh yang sangat signifikan. Pekerjaan administratif yang dilakukan secara manual berulang-ulang dapat menjadi lebih efisien apabila dikerjakan secara otomatis oleh kecerdasan artifisial.
AI sudah terbukti oleh banyak kalangan, dapat membantu dunia usaha menjadi lebih efisien, lebih inovatif, bahkan menjadi lebih aman. AI menjadikan proses produksi berjalan lebih cepat dan efisien sekaligus memastikan produk yang dihasilkan lebih terjaga kualitasnya.
Konsekuensi dari semakin cepat dan efisien berbagai mata rantai dunia bisnis ini menjadikan teknologi AI sebagai pilihan utama oleh banyak pelaku bisnis.
Para pemilik perusahaan akan berinvestasi secara besar-besaran pada berbagai teknologi AI demi efisiensi proses kerja sekaligus jaminan bagi produk yang dihasilkan lebih berkualitas dalam standar yang sama.
Baca Juga:
Konsekuensi lainnya adalah bahwa banyak tenaga kerja administrative yang bertanggung jawab pada pekerjaan rutin akan sangat rentan diambil alih oleh otomatisasi kecerdasan buatan.
Tidak jarang kita mendapati pekerja administrative telah kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh kecerdasan buatan : proses otomatisasi terkomputerisasi. Tidak harus disebut satu demi satu, di sekeliling kita banyak contoh nyata yang kita saksikan.
Disadari atau tidak, dalam tingkatan tertentu kecerdasan artifisial telah menjadi ‘musuh’ para pekerja. Dalam tingkatan tertentu terjadi diskriminasi kepada para pekerja oleh karena perusahaan mengadopsi teknologi kecerdasan artifisial yang membuat para pekerja kehilangan pekerjaannya.
Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organisation (ILO) telah melakukan penelitian yang mendalam terkait dampak aplikasi Kecerdasan Artificial dalam dunia kerja.
Algoritma dalam Artificial Intelligence sering terkait dengan efisiensi dan efektifitas kerja, control proses, pengawasan pada kualitas produk, pencatatan jam kerja secara online dan laporan-laporan secara real time dan banyak hal lainnya.
Baca Juga:
Ancaman Global Ke-5 Sampai Dengan 10, Nomor 10 Paling Mengerikan
Kabar baiknya adalah, hasil sebuah studi yang dilakukan oleh ILO, yang dirilis pada Agustus 2023 lalu, juga menemukan bahwa sebagian besar pekerjaan dan industri yang terpapar oleh AI hanya pada proses otomatisasi yang “melengkapi” pekerjaan manusia. Bukan menggantikannya.
ILO berpendapat bahwa, AI kemungkinan besar berdampak pada perbaikan kualitas pekerjaan bukan pada hilangnya lapangan pekerjaan secara keseluruhan.
Dalam acara Artificial Intelligence and Implications on the Indonesian Labour Market Forum di Jakarta pada Kamis (20.06.2024) seperti yang diwartakan oleh detik.com, Celeste Drake, Deputi Dirjen ILO mengungkapkan bahwa AI harus memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia.
“Memastikan AI dapat membawa kesejahteraan bagi umat manusia, maka perlu ada kebijakan yang serius terkait ketenagakerjaan yang dilakukan melalui collective bargaining” kata Celeste Drake.
Agar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia maka perlu adanya tawar menawar kolektif (Collective bargaining) antara para pekerja, Pengusaha dan para penyedia teknologi AI.
Baca Juga:
Bagaimanapun, saya sulit membayangkan bahwa suatu saat 100 % pekerjaan di dunia ini akan diambil alih oleh robot yang memiliki Kecerdasan Artifisial. Karena itu para pengusaha pasti membutuhkan tenaga kerja manusia.
Namun perusahaan juga mengharapkan agar proses produksi entah itu barang dan atau jasa, memiliki efisiensi yang tinggi sekaligus memastikan tingkat kualitas terbaik.
Kebutuhan pekerja dan keinginan para pengusaha harus diterjemahkan secara sinergis oleh penyedia teknologi AI. Agar sistem otomatisasi yang mereka bangun benar-benar menghasilkan sinergi antara pekerja, pengusaha dan penyedia layanan AI.
Namun tawar menawar kolektif atau collective bargaining saja tidaklah cukup. Collective bargaining, kata Celeste, harus diikuti oleh digital skill yang memadai agar para pekerja dapat mengoperasikan AI untuk perusahaan tempat dia bekerja.
“Perlu ada upaya untuk memastikan digital skill dan lifelong learning bagi para tenaga kerja untuk kemudian dapat memanfaatkan teknologi AI,” terang Celeste (detik.com., 25.06.2024).
Baca Juga:
Selain Collective Bargaining dan Digital Skill para pemegang kebijakan atau mereka yang memiliki kuasa untuk membuat aturan perlu memikirkan secara serius tata kelola terkait penggunaan AI dalam dunia bisnis.
Regulasi mengenai tata kelola AI hanya semata-mata agar semua orang tunduk pada ketentuan AI mana yang bisa digunakan untuk kesejahteraan manusia dan mana AI yang tidak boleh digunakan karena dapat berpotensi merugikan umat manusia.
Foto ilustrasi AI dari el.iti.ac.id
Leave a Reply