Eposdigi.com – Hampir semua kasus kekerasan terkait anak sekolah bermula dari kasus perundungan atau bullying. Kasus remaja SMP membakar sekolah di Temanggung bermula dari kasus bullying, baik dari murid lain terhadap pelaku, maupun dari guru terhadap pelaku.
Juga kasus penusukan di Banjarmasin, yang pelakunya AR adalah seorang remaja SMA. Kepada polisi AR mengaku bahwa penusukan yang ia lakukan terhadap MR terjadi karena ia dendam, karena MR sering mem-bully-nya di sekolah.
Bahkan kasus terbaru yang terjadi di Gresik Jawa Timur, SAH inisial murid SD kelas 2, ditusuk mata kanannya dengan tusukan bakso, hingga mengalami kebutaan, diduga dilakukan oleh kakak kelasnya, juga bermula dari kasus bullying, sejak murid ini masih duduk di kelas 1 SD.
Hingga hari-hari ini kasus bullying masih menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu, para pengamat pendidikan bahkan mengatakan kasus bullying di Indonesia sudah berada pada titik darurat, karena kasusnya cenderung bertambah.
Baca juga :
Puluhan Murid SMP di Mataram Serang Murid SD Yang Sedang Belajar Hingga Ketakutan
Kompas.com, mengutip Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mencatat bahwa sepanjang Januari-Agustus 2023, terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan di lingkungan sekolah.
Padahal pemerintah, dalam hal ini, Kementrian Pendidikan, telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk mencegah tindakan kekerasan, termasuk bullying di lembaga pendidikan.
Misalnya pada tahun 2015, Kementrian Pendidikan menerbitkan permendikbud nomor 82 tahun 2015 untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan di lingkungan sekolah. Permendikbud ini kemudian dibaharui dengan Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023.
Baca juga :
Menulis Karya Ilmiah Menjadi Syarat Kelulusan Murid Kelas VI SD di Lumajang. Perlukah?
Data-data ini menunjukkan bahwa kebijakan Pemerintah untuk mencegah tindakan kekerasan di lingkungan sekolah cenderung tidak implementatif. Oleh karena itu tidak efektif dalam upaya menanggulangi tindakan kekerasan, apalagi upaya pencegahan kekerasan di sekolah.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri saja tidak cukup. Penerbitan Peraturan Menteri harus diikuti dengan upaya sosialisasi ke semua stakeholder, agar Peraturan Menteri tersebut diterima secara sosial dan dirasa penting, sehingga menjadi implementatif di lapangan, seperti ditegaskan oleh Prof. Fasli Jalal.
Kata Prof. Fasli Jalal, sudah cukup banyak aturan yang diberlakukan oleh pemerintah, akan tetapi secanggih apapun peraturan tersebut dibuat, tetapi jika secara sosial belum diterima dan belum dirasa penting oleh semua stakeholder, aturan tidak akan efektif di lapangan.
Menurut mantan Dirjen Dikdasmen dan wakil Mentri Pendidikan ini, harus ada proses yang dibuat secara massif, agar Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan murid menyadari dampak negatif dari bullying. Menurutnya, bullying sangat menjatuhkan harga diri korban dan susah pulih 100 persen.
Baca juga :
Memaknai Kasus Murid SMP di Temanggung yang Membakar Sekolah karena Di-bully
Melalui proses ini diharapkan Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua Murid lebih peduli, lebih sadar bahwa menghadirkan sekolah yang nyaman, dan menyenangkan adalah hak dari anak, dan menjadi tanggung jawab mereka untuk mewujudkannya.
Fasli Jalal menambahkan, proses tersebut harus dilakukan, bahkan menjadi standarisasi di lingkungan sekolah. Tanpa proses tersebut, program lanjutan seperti sekolah ramah anak tidak banyak berguna, seperti yang terjadi sekarang.
Berkaca Dari Kasus SDN 236 Gresik Jawa Timur
SDN 236 Gresik Jawa Timur, tengah menjadi perbincangan publik lantaran terjadi kasus pemalakan yang kemudian menjadi kasus kekerasan yang sangat memprihatinkan. SAH, inisial murid perempuan kelas 2, dicolok mata kanannya dengan tusukan bakso, diduga oleh kakak kelasnya, hingga mata murid tersebut buta.
Seperti dilansir pada laman jawapos.com, peristiwa nahas tersebut terjadi tangal 7 Agustus 2023, saat sekolah sedang menyelenggarakan lomba dalam rangka ulang tahun Kemerdekaan RI. Awalnya, anak ini dipalak, dimintai uang. Karena menolak, matanya dicolok pelaku dengan tusuk bakso hingga berdarah.
Baca juga :
Merasa kesakitan, SAH inisial korban, lari menuju ke kelas sambil memegang mata kanannya. Darah keluar sembari isak tangis ia melintasi halaman sekolah yang sedang ramai. SAH menangani sendiri, tidak ada yang memperhatikan. SAH membasuh matanya dengan air dari kran di bawah tiang bendera.
Begitu banyak orang di sekolah pada hari itu, tetapi kejadian itu baru diketahui oleh Orang Tua SAH ketika ia pulang sampai di rumah. Sampai di sini apa yang Eduers simpulkan tentang sekolah ini?
Ketika membaca kisah tragis ini, saya menduga banyak guru dan kepala sekolah di sekolah ini, tidak peduli pada murid. Selain karena tidak ada guru yang mengetahui, tidak ada pertolongan pertama, dan nampaknya tidak ada pengawasan sama sekali di sekolah ini.
Dalam situasi berkegiatan di luar kelas seperti perayaan kemerdekaan saja, tidak ada pengawasan, apa lagi pada hari di mana tidak ada kegiatan di luar kelas. Padahal, selain guru dan kepala sekolah, di sekolah ini ada satpam yang bertugas.
Baca juga :
Secara keseluruhan, kasus ini, selain menggambarkan dengan tepat kebenaran pendapat Prof. Fasli Jalal, bahwa Kepala Sekolah dan Guru belum merasakan pentingnya melindungi anak dari kekerasan, karena dampak buruk kekerasan pada anak dalam pertumbuhan.
Tetapi juga menggambarkan buruknya birokrasi pendidikan mengurusi sekolah, karena sosialisasi banyak Peraturan Menteri Pendidikan belum maksimal. Di daerah, urusan sosialisasi menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan dan aparatnya, seperti para pengawas sekolah. Mereka belum maksimal melakukan tugasnya.
Mudah-mudahan kasus seperti kasus SDN 236 Gresik Jawa Timur menjadi titik balik bagi dunia pendidikan di Indonesia, untuk lebih bertangung jawab, lebih profesional, mengurusi sekolah, karena di sana masa depan bangsa disiapkan.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto ilustrasi dari popmama.com
Leave a Reply