Eposdigi.com – Dalam dua kesempatan yang berdekatan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya perihal kesantunan dan moral, budi pekerti masyarakat Indonesia. Kesempatan pertama ia sampaikan dalam pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR pada Rabu, 16/8/2023.
Pada kesempatan tersebut Jokowi mengaku prihatin pada gejala lunturnya kesantunan dan budi pekerti masyarakat Indonesia di era kebebasan berdemokrasi. Presiden Jokowi sedih karena budaya santun, budi pekerti luhur mulai hilang dari perilaku masyarakat Indonesia.
Selanjutnya kata Jokowi, kebebasan dan demokrasi telah digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah, terutama kepada mereka yang berbeda, mereka yang menjadi lawan politik. Hal ini telah menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat.
Baca juga :
Menurut Jokowi, keadaan ini menjadi polusi budaya yang membuat mayoritas masyarakat kecewa. Namun kata Jokowi, di sisi lain, cacian dan makian juga telah membangunkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik, agar Indonesia tetap melangkah maju menuju Indonesia emas 2045.
Kesempatan kedua, Jokowi bicara tentang budi pekerti dan moral di depan para Pelajar ketika membuka Muktamar XXII Ikatan Pelajar Muhammdiyah (IPM) 2023 di Kabupaten Deli Serdang, Medan Sumatra Utara pada Sabtu, 19/8/2023.
Presiden Joko Widodo pada kesempatan tersebut mengatakan, memiliki nilai akademis sempurna tidak ada artinya jika seorang anak muda tidak memiliki budi pekerti dan moral yang baik dalam kehidupannya sehari-hari.
“Tidak ada gunanya memperoleh nilai sekolah 10. Engak ada gunanya kalau moralnya 0. Kalau budi pekertinya dalam kehidupan sehari-hari tidak baik. Setuju?,” kata Jokowi dalam sambutannya, seperti dilansir pada laman CNN Indonesia.
Baca juga :
Selain itu Presiden Jokowi juga mengharapkan agar para pelajar di era digital ini, bisa menguasai teknologi, mengembangkan teknologi, dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat banyak, sekaligus juga memiliki budi pekerti luhur serta moral yang baik.
Pesan ini hendaknya dibaca sebagai mundurnya praktik peradaban publik kita, di mana, luas dan dalamnya pengetahuan kita, tidak tercermin dalam praktik bertindak kita. Misalnya, kita tahu bahwa korupsi itu dilarang agama, tetapi banyak orang gemar melakukannya.
Kita tahu bahwa manusia memiliki martabat secitra dengan Allah, oleh karena itu harus dihormati, haknya harus dijunjung tinggi, apapun keadaannya. Tapi kita gemar menghina, merendahkan dalam perkataan, bahkan memperkosa haknya dengan tindakan kita.
Inilah sejatinya yang dikatakan oleh Presiden Jokowi dalam dua kesempatan di atas. Bahwa moral dan budi pekerti masyarakat telah luntur dalam perilaku masyarakat kita dan penguasaan pengetahuan moral tidak muncul dalam perilaku berbudi pekerti.
Sebagai Presiden, Jokowi memiliki otoritas untuk membuat pesan ini memperoleh atensi yang layak dari semua pihak terkait, sehingga memberi perhatian sebagai pesan moral. Di pihak lain, pihak-pihak terkait hendaknya memiliki kepekaan untuk menangkap ini sebagai perintah.
Baca juga :
Riwayat Pendidikan Dyah Ayu, Mahasiswi Fakultas Kedokteran UI Termuda di Usia 15 Tahun
Jika ini tidak terjadi, maka dapat dibaca sebagai tumpulnya nurani kolektif birokrasi kita. Di sisi lain instruksi tertulis yang jelas dan tegas saja dapat tidak terlaksana oleh birokrasi kita, apalagi pesan moral seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi.
Nampaknya ilmuwan sosial perlu turun gunung untuk merumuskan masalah dan melakukan studi tidak hanya untuk memahami gejala ini, melainkan selanjutnya memecahkan masalah ini. Karena jika dibiarkan, birokrasi kian tidak efektif. Apa jadinya negara jika birokrasinya tumpul dan tidak efektif?
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: cnbcindonesia.com
Leave a Reply