Di Sebuah Tempat Bernama Manggaro

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com- “Lihatlah, ia seperti kehilangan dirinya. Kehilangan akal serta hati nuraninya.”  Ungkap Nara kepada Nur sembari menceritakan tetangganya. Yang menurut masyarakat sekitar, ia sudah seperti orang yang kurang dalam kebiasaan normal, mungkin lebih tepatnya “Gila”.

Nara merupakan orang yang sangat pekah terhadap perkataan orang lain. Ia bahkan sangat berhati-hati ketika berbicara. Ia sadar bahwa di dalam diri setiap orang, terdapat bagian yang sangat halus. Ada bagian yang sangat pekah, terutama dalam hal merasa. Ia takut melukai, ia yang bernama roh. Dalam bahasa orang Manggaro, roh ini disebut dengan Tube

Dalam dunia sains, mungkin orang mengenalnya dengan kemampuan fungsi biologis atau hasil evolusi jutaan tahun setiap syaraf yang ada dalam tubuh manusia. Atau yang akrab disapa mind in your brain oleh para psikolog.

Nara yakin bahwa setiap orang selalu  diberkati karunia bernama Tube/roh. Tube inilah yang bersemayam dalam tubuh fisik setiap orang. Tube-lah yang menuntun setiap orang dalam bertindak, bahkan dalam hal merasa. 

Ketika orang memilih mengabaikan peran atau cara kerja dari Tube/roh, maka secara tidak langsung, orang tersebut telah merawat karmanya sendiri. Bahkan dalam hal kenaasan, ia meyakini bahwa ada sesuatu yang salah, yang mungkin pernah dilakukan, sehingga memperoleh kesialan, atau buah dari karma.

Nara yakin bahwa Inilah yang memperkuat spiritualitas aliran timur dan barat. Bahkan di sebuah tempat bernama Manggaro, spiritualitas timur ini sangat hidup. Di mana orang-orang mempercayai bahwa setiap kejadian yang dialaminya saat ini, adalah buah atau hasil dari perbuatan sebelumnya. Apapun itu, bahkan dalam hal kesialan dan keberuntungan.

Ini bukan tentang takdir, tapi tentang rentetan peristiwa panjang, dari peristiwa besar, bahkan peristiwa yang kita anggap remeh teme sekalipun. Rentetan peristiwa panjang itulah yang akan menjadikan kita di masa sekarang, atau apa yang kita alami sekarang adalah hasil dari tumpukan pengalaman di masa lalu. Upss, kejauhan. Mungkin pengalaman beberapa detik, jam, hari ataupun beberapa minggu yang lalu. 

Masih belum percaya? Mari kita lihat beberapa contoh pengalaman berikut ini. Oke, katakanlah Anda menginjak tai ayam. Mengapa Anda menginjak tai ayam, karena Anda tidak memperhatikan jalan. Anda sibuk dengan gawai yang Anda miliki.

Anda sibuk menertawakan kejadian aneh dan lucu di beranda story Anda, tiktok, reels dan segala macamnya. Bukan tai ayam yang salah dalam menempatkan dirinya. Tapi Anda yang salah dalam menempatkan mata Anda. Tambahan, kaki Anda juga. 

Oke, katakanlah Anda menikah. Mengapa Anda bisa menikah, karena Anda bertemu dengan kekasih Anda. Mengapa Anda bertemu dengan kekasih Anda, karena sama-sama kuliah di kampus yang sama dan mengambil jurusan yang sama.

Mengapa Anda berdua bisa saling akrab? Karena Anda dipertemukan oleh dosen Anda yang membagi Anda dalam kelompok yang sama. Awalnya mungkin menyebalkan, tapi kemudian merasa cocok dan jadilah, ehem-ehem. Jatuh cinta maksudnya!  Mengapa Anda bisa kuliah di kampus tersebut, karena…karena… dan sebagainya, dan sebagainya. 

Dari rangkaian peristiwa ini, yang kemudian menjadikan orang-orang Manggaro percaya bahwa alam bekerja dengan hukum sebab-akibat. Apa yang kau tanam, itu yang kau tuai. Apa yang kau beri, maka akan kembali padamu. 

Spiritualitas orang Manggaro sungguh sangat mencerminkan relasi keintiman ke dalam. Yakni diri kita sendiri. Sedangkan spiritualitas orang barat cenderung lebih melihat ke luar. Begitulah Nara menafsirkan setiap budaya yang ada pada daerahnya, yakni Manggaro. 

Relasi ke dalam ini bisa dilihat dalam setiap kejadian, misalnya dalam hal kenaasan. Nara masih menyimpan rapat memori terhadap saudaranya Eni. Eni pernah kecelakaan ditabrak sebuah mobil ketika  melewati hutan Naedo.

Sebuah tempat yang diyakini angker karena telah banyak menelan korban. Eni terluka di bagian kaki  kirinya, namun tidak terlalu parah. Kebetulan yang menabrak adalah orang kota yang sedang melakukan trip ke daerah-daerah terpencil. 

Terlihat pengendara mobil sangat takut hingga khawatir. Ia menawarkan untuk mengurusi seluruh pengobatan kaki si Eni. Namun keluarga menolak, karena menyadari bahwa mungkin ada sesuatu kesalahan dalam suku atau klan mereka yang belum terselesaikan.

Kesadaran akan ketidaktuntasan ini merupakan refleksi atau relasi ke dalam, yang kemudian membentuk spirit keyakinan bahwa apa yang kita alami hari ini, adalah buah dari hasil rentetan peristiwa-peristiwa di masa lalu.

Jika berdasarkan spiritualitas barat, maka orang akan cenderung berfokus ke luar. Orang yang ditabrak mungkin akan menuntut berat kepada pelaku. Fokusnya ditujukan pada materi. Berapa yang perlu dibayar atas sebuah kecelakaan demi kesembuhan.

Jika tidak, hukum yang akan berlaku. Namun tidak demikian yang dilakukan orang-orang Manggaro. Mereka sungguh yakin, bahwa kecelakaan yang dialami oleh setiap orang adalah buah dari karma dirinya atau keluarganya, dalam hal ini adalah para leluhur mereka. 

Yang menjadi pertanyaan besar adalah, Jika Eni mengalami kecelakaan, bukankah itu adalah buah dari karmanya? mungkin karena Eni tidak fokus mengendarai. Mungkin karena rem motor Eni tidak berfungsi dengan baik. Jawabannya, mungkin saja iya, mungkin saja tidak. 

Orang-orang Manggaro percaya bahwa karma leluhurnya bisa diwariskan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah orang hanya akan menerima karma dari perbuatannya? Mengapa disangkutpautkan dengan dosa para leluhur? Bukankah kecelakaan yang dialami oleh Eni merupakan kesalahan dari dirinya. Tidak fokus dalam mengemudi, remnya blong, dll. 

Oke, keyakinan akan karma yang bisa diwariskan bagi orang Manggaro tentu telah melalui berbagai rentetan peristiwa panjang. Mereka meyakini bahwa di dalam diri setiap orang, mengalir darah para leluhurnya. Artinya, kita yang sekarang adalah bagian dari para pendahulu kita.

Di dalam tubuh kita, terekam warisan genetik dari para leluhur kita. Baik yang terlihat, maupun yang tidak terlihat. Entah itu warisan terkait tinggi badan, warna mata, bentuk alis, gaya berbicara, dll. 

Orang-orang Manggaro meyakini bahwa dosa para leluhur yang belum terbayar akan mengikuti para penerusnya. Jika leluhur-leluhur banyak melakukan kesalahan dan meninggalkan jejak atau luka bagi korbannya dan  belum benar-benar sembuh, maka alam semesta akan terus menghubungkan setiap peristiwa yang ada. Bahkan hingga kenaasan yang dialami oleh anak cucunya. 

Karma-karma itu mampu menembus ruang dan waktu. Artinya, orang yang sudah meninggal pun, jika kesalahannya belum terhapus atau diampuni, maka karma akan mengikuti anak cucunya.

Karena di dalam tubuh setiap anak dan cucunya, terdapat warisan genetik darinya. Bahkan jika orang manggaro pergi meninggalkan kampungnya, hukum karma itu akan tetap mengejar. Ia tidak mengenal batasan tempat bahkan ampun sekalipun. 

Kembali lagi ke awal cerita, Nara yang merupakan pemuda dari Manggaro, dibesarkan dengan pengaruh spiritualitas timur yang kuat, meyakini bahwa orang yang disebutnya gila telah mencederai spiritualitas mereka. 

Orang yang disebutnya gila tersebut mengaku telah menerima wahyu dari para leluhurnya. Mengaku bahwa ia telah mendapat pencerahan. Penglihatannya bisa menembus ruang dan waktu.

Entah benar atau tidak, Nara melihat orang itu telah mencacati spiritualitas mereka. Orang itu cenderung membeberkan apapun yang ada dalam penglihatannya. Entah pengalaman baik maupun pengalaman buruk akan diceritakannya.

Bayangkan jika Anda bertemu dengannya. Apa reaksi Anda jika beberapa pengalaman hidup Anda dibeberkan olehnya? Rasa perasaan apa yang muncul jika apa yang disampaikannya adalah aib atau rahasia yang selama ini Anda tutup rapat?

Jika klaim yang diberikan oleh orang yang dikatakan gila ini benar, apakah Anda akan merasa malu? Atau lebih ditepatnya dipermalukan?

Dalam spiritualitas orang Manggaro, akan selalu ada orang yang mampu memiliki penglihatan akan masa lampau dan masa kini, yakni Ataloa. Ataloa adalah orang-orang yang diberi otoritas khusus dalam tatanan adat orang Manggaro. Ataloa dipercaya sebagai wakil dari UbunTawan (Yang Maha: Tuhan bagi orang-orang Manggaro) sebagai pembawa pesan.

Tentu, pemberitaan pesan dari ataloa adalah hasil dari kesepakatan kedua bela pihak, antara ataloa dan siapapun orang Manggaro yang ingin mencari tahu suatu informasi. Baik tentang dirinya, keluarganya dan para leluhurnya. Ada etika dalam proses penyampaian pesan.

Bukan membongkar aib di segala tempat dan di segala waktu, seperti yang dilakukan oleh yang orang tidak memiliki otoritas khusus tersebut. Menurut Nara, tetangganya tersebut sudah menodai tatanan adat mereka.

Ia tidak memiliki nasab sebagai seorang ataloa, tapi selalu membeberkan apapun kepada orang lain terkait masa depan mereka, kehidupan mereka, dll. Bahkan tidak ada etika apapun dalam penyampaian pesan tersebut. Hingga terkesan membuat mereka dipermalukan.

Nara yakin bahwa, tetangganya tersebut telah menerima karma dari perbuatannya, atau dosa para leluhurnya. “Ia harus dibersihkan.” Ungkap Nur kepada Nara. “Saya yakin Nara, tube/roh orang tersebut telah tertukar dengan tube yang lain. Sebaiknya kita laporkan saja kepada tetua adat, Eyang Subaenga, agar orang ini bisa dibersihkan. “Tapi aku khawatir, Nur.”

“Lah, apa yang kau khawatirkan?”. Dia kan eyangmu, macam mana pula kau tak mau melaporkan. Toh pada akhirnya kau yang akan menjadi ketua dan meneruskan seluruh tatanan Adat yang ada di daerah kita ini. Bagaimana bisa kau biarkan orang tersebut mencederai adat istiadat kita? Ini harus segera dibersihkan. Jika kau tak mau, aku saja yang memberitahu Eyangmu.”

Diskusi panjang antara Nara dengan Nur, yang akhirnya membuat mereka sepakat bahwa tetangga mereka ini harus dibersihkan. Informasi ini harus sampai kepada eyang Subaenga. 

******

“Siapkan kapas, buah kelapa dan potong sedikit kain adat. Apapun yang terjadi, Ingo (pemuda yang dikatakan gila) harus ikut malam ini ke Sungai dekat hutan Naedo.”

Orang Manggaro percaya bahwa sungai adalah salah satu agen tercepat untuk mampu membawa apa saja yang ada di daratan menuju ke laut. Laut diyakini sebagai tempat bermuara segala yang baik dan jahat. 

Tube yang ada di dalam fisik Ingo harus dilepaskan. Eyang Subaenga memiliki penglihatan bahwa Tube Ingo telah tertukar dengan Tube para iblis yang ada di hutan Naedo. Tube asli dari Ingo telah terjebak di hutan tersebut. Masih bergentayangan dan harus segera diambil dan dipasangkan kembali ke dalam tubuh yang asli. 

Nara dan Nur, serta beberapa orang manggaro turut andil dalam proses pertukaran tube ini. Nara menyiapkan segala syarat, dan Nur meminta tolong beberapa orang Manggaro untuk menculik Ingo dan dibawa ke sungai dekat hutan Naedo. 

Malam pun tiba, segala syarat telah siap. Ingo yang diculik sudah dibawa ke sungai. Eyang Subaenga memulai proses pertukaran tube. Mengambil kelapa, kapas dan potongan kait adat. Ingo kemudian dimandikan dengan air kelapa, dilap dengan kain adat. Kapas kemudian dibuntel menjadi 2 bulatan. Masing-masing melambangkan tube, baik tube dari Ingo dan tube dari iblis. 

Sebelum tube akhirnya kembali pada tubuh fisik yang asli, tiba-tiba seorang warga yang ikut mengalami kerasukan. “Lakukan ritual ini dalam keadaan sadar. Kami akan kembalikan tube pemuda ini, jika karma leluhurnya telah dibayar. Apa yang kalian harapkan dengan ritual seperti ini? Bukankah pemuda ini sedang dalam keadaan tidak sadar?”

“Bagaimana bisa kami membawanya dalam keadaan sadar, sedangkan tube yang dalam tubuhnya bukan tube yang asli?” Tanya nara.

“Setiap bulan purnama, tube yang asli akan kembali kepada tubuh fisiknya. Pulanglah, dan lakukan ritual ini pada saat purnama.”

*****

Dalam pondok bambu adat, Nara, Nur, para warga dan Eyang Subaenga membuka kembali diskusi.
“Sejak awal, saya menyadari  bahwa ada sesuatu yang keliru. Mari kita tunggu datangnya bulan purnama. Masih tersisah beberapa hari lagi.

Namun sebelum itu, alangkah baiknya kita bersihkan dulu dosa para leluhur dari Ingo. Sepertinya ada kesalahan yang belum dituntaskan. Hingga kemudian kita boleh mengembalikan tube asli ke dalam tubuhnya Ingo. Semoga dalam peristiwa bulan penuh, tube asli dari Ingo bisa kembali, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh penguasa hutan Naedo tersebut.” Ungkap Eyang Subaenga.

Segala proses ritual apapun yang dilakukan oleh orang Manggaro, harus dilakukan dalam keadaan sadar, tanpa paksaan apapun. Harus dalam keadaan sadar! Hingga menjelang beberapa bulan, keluarga dari Ingo tidak mengakui bahkan tidak mempercayai bahwa leluhur mereka pernah melakukan kesalahan di hutan Naedo.

Kesalahan tersebut belum terbayar. Hingga Ingo terus berkeliaran dan menjadi semakin gila. Tubenya telah terjebak. Peristiwa bulan penuh kian waktu terus berlalu, namun karena dosa leluhurnya belum dibersihkan, ia terpaksa hidup dengan tube para iblis dari hutan tersebut. Ingo selamanya hidup dalam keadaan gila. Tube iblis telah menyatu dengan tubuh fisiknya. Ingo pun meninggal!

Foto: kibrispdr.org

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of