Pentakosta, Penindasan dan Teologi Sosial

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Sebuah Anotasi untuk sahabatku Pendeta Rudy Rahabeat: “Pentakosta: Turbulensi, Stagnasi, dan Momen Transformasi Gereja.“

Eposdigi.com – Peristiwa Pentakosta, jika dimaknai sebagai peristiwa teologis saja, maka kita akan dibawa kepada disiplin berteologi bahwa narasi tentang peristiwa pentakosta, sebagaimana juga narasi lain (dalam) Kitab Suci, bersifat final.

Tugas (ber)teologi adalah mencari, menangkap, dan memaknai apa kehendak Allah terhadap bayi Gereja Kristus yang masih sangat lemah pada saat itu dengan, dan dalam, konteks narasi besar rencana Keselamatan Allah yang (juga) sudah final.

Dalam bahasa awam: kira-kira apa maunya Allah dengan peristiwa pentakosta ya? Dan para teolog akan sigap menjawab: Sebelum Yesus naik ke Surga ia sudah berpesan dan seterusnya.

Baca Juga:

Menguji Agama Koda Dengan Alienasi Feuerbach

Semua jawaban lengkap sudah ada dalam teks Kitab Suci. Jangan kau andalkan pikiranmu.

Adakah peluang disiplin ilmu sosiologi, terutama teologi sosial, menawarkan perspektif lain yang lebih fleksibel, lebih terbuka, tidak final, tetapi tetap dalam koridor „beriman“ dan berteologi yang kontekstual membumi dalam kerangka besar Rencana Keselamatan Allah?

Perspektif ini mengandaikan Allah tidak berhenti berbicara pada manusia, dan menjadi teks final beku dalam Kitab Suci. Allah akan terus berbicara melampau co-text and context Kitab Suci dalam kehidupan sosial suatu masyarakat dan zaman dimana umat hidup.

Baca Juga:

Hari Komsos Sedunia : Mendengarkan dengan Telinga Hati

Sampai di sini kita ingat perlawanan teologis atas praksis berteologi ortodoks dan kaku – suatu gerakan berdarah-darah dalam Gereja yang melahirkan teologi pembebasan di Amerika Latin melawan teologi dogmatis dan hukum Gereja yang rigid.

Konteks sejarah sebelum, selama, dan sesudah peristiwa Pentakosta di Yerusalem menawarkan perspektif sosiologi (konflik) untuk memaknai arti turunnya Roh Kudus dalam situasi penindasan yang dialami umat Kristen perdana.

Umat perdana yang ‘galau‘ perlu diberi spirit booster – ya semacam vaksin keberanian – untuk tabah, kuat memelihara asa, menguatkan harapan, dan memberi energi untuk keluar dari ketakutan dan berani mewartakan kabar Kristus yang bangkit: 

Baca Juga:

VUCA, Disruption, Leadership, And 21’st Century Learning Skills

“Tetapi kamu akan menerima kuasa , kalau Roh Kudus turun ke atas kamu,  dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis. 1:8)

Dunia dan Gereja hari ini menghadapi situasi penuh gejolak (volatility), penuh ketidakpastian (uncertainty), semakin kompleks (complexity) dan semakin ambigu (ambiguity) – VUCA.

Mencari jawaban apa kehendak Tuhan ketika mengutus Roh Kudus bagi umatNya pada zaman ini hanya dengan kembali mencari dalil dalam teks Kitab Suci untuk pembenaran pendapat dan argumentasi teologis (ideal) saja sejatinya sudah tidak memadai.

Baca Juga:

Setelah Pesta Natal, Lalu Apa?

Kita perlu memahami kompleksitas persoalan Gereja dan masalah yang dihadapi Gereja dan dunia hari ini dengan telaah dan strategi melampaui ilmu dan disiplin berteologi.

Jangan kaget kalau salah satu bisikan bijak dari roh ilmu-ilmu duniawi-profan yang tak kalah cerdas untuk menyuntik spirit pembaruan Gereja justru datang dari dunia manajemen yang menghentak dengan gagasan bahwa “kegagalan kita mengatasi masalah hari ini (termasuk masalah Gereja) justru karena kita masih terus bertindak menggunakan logika hari kemarin” – (Peter Drucker).

Foto dari akurat.co

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of