Memaknai Kembali Perjumpaan
Eposdigi.com – Sebuah foto beredar di Instagram di posting oleh BBC Indonesia memperlihatkan seorang perawat Adriana Silva Da Costa Sauza sedang memeluk Rosa Luzia Lunardi yang tidak pernah memeluk siapapun selama lima bulan.
Foto itu menjadi fenomenal tepat kehadiran pandemi Covid-19, sehingga memperlihatkan satu momen yang diabadikan oleh fotografer Mads Nissen sebagai penggambaran lain dari situasi kita hari ini. Memeluk di dalam ketakutan.
Fenomena pelukan dalam situasi ketakutan ini menjadi bermakna justru bukan pada pelukan di balik plastik guna mencegah penularan Covid-19.
Baca Juga: Besi Pare Tonu Wujo – Dewi Sri Orang Flores Timur Versi Muhan
Fenomena ini menjadi menarik persis ketika dimensi etik dari perjumpaan dua manusia yang merasa terancam di tengah kehadiran epidemik corona. Pelukan memberikan penanda lain bahwa perjumpaan menjadi penting dalam berbagai peristiwa hidup manusia.
Entah disadari oleh kita atau tidak, sastra Indonesia keluar dari medan kuantum realitas manusia. Ia tidak lagi ikut masuk memberikan perjumpaan lain dalam situasi sosial kita.
Sastra Indonesia lebih sibuk melahirkan sastrawan melalui berbagai sayembara, atau ikut mengkampanyekan literasi tanpa pernah merefleksikan berbagai peristiwa buruk yang terjadi di bangsa ini.
Sastrawan kita lupa memberikan dimensi pengetahuan bagi generasi muda dalam membaca peristiwa dengan domain sastrawi.
Sastrawan kita eksklusif, berada dalam kesunyian masing-masing, seolah ingin memberitahu pada kita bahwa sastrawan haruslah selalu menjadi bagian dari ruang kosong bernama kesunyian.
Baca Juga: Ilalang Tanah Gersang *
Akibatnya, kita menyaksikan perkembangan sastra kita hanya sebagai sebuah perayaan literasi, sebuah pesta kehadiran karya-karya baru, tetapi tidak secara serius menjadi semacam rujukan dari berbagai peristiwa ke-Indonesia-an.
Seperti yang pernah dilakukan oleh berbagai penulis besar terdahulu yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini, atau bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia. Kesusastraan kita berada dalam situasi ringkih, tanpa pelukan dan tanpa kasih sayang.
Di tengah kepungan neoliberalisme, pandemi Covid-19 dan gencarnya literasi di Indonesia, sastra hanya berdiri sebagai gambaran tubuh yang tak terurus, yang perlu mendapat perhatian serius.
Sastra kita kehilangan semangat menjumpai setiap pembaca, memeluk kegelisahan sosial, apalagi ikut masuk memberikan alternatif dari cara memahami tubuh ke-Indonesia-an.
Baca Juga: Mencari Sang Pangeran dari Timur yang Sebenarnya
Hilangnya dimensi emansipatoris membuat komunitas sastra di berbagai daerah berdiri masing-masing, bertarung di tingkatan mereka sembari membanding-bandingan, mana di antara mereka lebih memahami sastra.
Tak ada kemudian inisiatif melalui berbagai perjumpaan guna merumuskan imajinasi kolektif tentang kesusastraan Indonesia. Imajinasi kolektif tentang sastra Indonesia di mata dunia justru tidak pernah kita rumuskan melalui berbagai perjumpaan.
Kalaupun pernah dilakukan, ia kemudian tidak punya dimensi politik kolektif di dalam refleksi tentang kesusastraan bersama.
Tentu kita berharap lebih banyak bahwa sastra dapat membuat kita berjumpa dengan keadaan masa lalu ke masa kini guna memberikan kita harapan merumuskan masa depan.
Tetapi selama sastrawan kita tidak punya dimensi emansipatoris di dalam bangunan kesusastraan Indonesia, barangkali kita mesti menggugat setiap perjumpaan guna melihat apakah benar sastra hanya berdiri dengan dimensi estetiknya kemudian melupakan dimensi etik di dalamnya.
Catatan Akhir
Ibu yang digambarkan pada awal dari tulisan ini (bagian pertama tulisan ini tayang pada edisi kemarin) adalah kakak dari ibu saya.
Baca Juga : Etik, Estetika dan Biopower : Menjumpai Sastra Indonesia di Tengah Pandemi
Satu hal menarik dari kisah tentangnya adalah bahwa ia tidak pernah menyentuh bangku pendidikan tetapi ia tidak pernah mengalami keterpisahan radikal dengan lingkungan di mana ia berasal.
Ia mencintai Adonara sebagai sebuah tanah di mana memberikannya hidup, ia mencintai setiap tanaman yang tumbuh dari hasil keringatnya.
Perjumpaan ia dengan alam adalah gambaran dari serangkaian medan kuantum yang tidak putus. Di tengah situasi pandemi, ia memiliki keterputusan dalam perjumpaan dengan manusia.
Tetapi ia tidak memiliki jarak dengan tanah di mana setiap air mata dan keringatnya pernah ikut menumbuhkan rumput dan pohon di kebun itu.
Perjumpaan itu kemudian dapat menjadi semacam penegas bahwa, kesusastraan Indonesia sebaiknya secara serius menjumpai realitas sosial.
Sastra Indonesia semestinya menjadi semacam tempat dimana manusia merasa dapat melihat masa lalu, masa kini dan membayangkan masa depan.
Seperti ungkap Martin Hedeigger; Bahasa adalah Rumah. Di rumahnya manusia tinggal. Mereka yang berpikir dan mereka yang menciptakan dengan kata-kata adalah penjaga rumah ini.
Kita perlu menciptakan rumah di dalam bangunan kesusastraan guna melihat apakah kita dapat menyusun berbagai kemungkinan tentang masa depan. Bahasa sebagai rumah perjumpaan segala situasi sosial kita.
Bahasa memungkinkan kita terlempar ke dalam kegelisahan orang lain dan ikut menjadi bagian dari proses menyembuhkan luka-luka mereka.
Satuharapan.com menulis bahwa foto ini adalah karya Mads Nissen – Politiken, Panos Picture
[…] Baca Juga: Etik, Estetika dan Biopower : Menjumpai Sastra Indonesia di Tengah Pandemi – Penutup […]