Eposdigi.com – Minggu lalu, viral di media sosial berita tentang kegiatan Pramuka, susur sungai, yang diikuti oleh 249 murid SMPN I Turi Sleman, Yogyakarta.
Dalam kegiatan tersebut, seperti dilansir oleh Tirto.id, terjadi musibah yang menyebabkan 10 orang murid meninggal. Mereka tereret arus air Sungai Sompor, dan tenggelam.
Dari informasi yang kami himpun, kegiatan tersebut memang terjadi dalam kondisi belum hujan di lokasi. Namun di wilayah hulu sungai terlihat gelap, dan air sungai di sepanjang lokasi kegiatan telah berubah menjadi keruh, diikuti naiknya permukaan air.
Para peserta sama sekali tidak dibekali dengan peralatan keselamatan berupa rompi, tali, atau tongkat. Maka, ketika menyusuri sungai, mereka hanya berpegangan tangan di antara para anggota kelompok.
Data lain menyebutkan, jumlah pendamping hanya terdiri dari 7 orang. Sedangkan jumlah pesertanya ada 249 murid. Para murid dibagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 7-8 orang.
Jika satu kelompok didampingi olehsatu orang kakak Pembina, maka diperlukan pendamping sebanyak sekitar 35 orang. Maka jumlah pendampingnya sangat kurang jika hanya ada 7 orang.
Tampak pula bahwa kompetensi dan profesionalisme dari 7 orang pendamping, sangat tidak memadai. Di samping itu, para peserta sama sekali tidak dibekali dengan standar pengamanan biasanya, paling tidak berupa tali yang dapat dipegang oleh semua anggota kelompok.
Para pendamping juga tidak menangkap tanda-tanda bahaya, berupa air sungai yang berubah menjadi keruh, dan permukaan air yang meninggi dari 50 cm. menjadi bahkan 100 cm.
Bahkan ketika warga sekitar mengingatkan agar kegiatan dihentikan karena sangat berbahaya, seorang guru pendamping menjawab “Urusan mati ada di tangan Tuhan”, seperti ditirukan oleh Tita, salah satu peserta yang berhasil diselamatkan temannya.
Di samping itu, tampak juga bahwa guru tidak paham manajemen resiko. Tidak ada koordinasi yang baik antara para pelaksana kegiatan dan Kepala Sekolah. Bahkan Kepala Sekolah tidak mengetahui adanya kegiatan tersebut. Ada problem apakah? Silakan ditelusuri oleh pihak yang berwenang.
Hal lain, kegiatan ini pun tidak melibatkan pihak lain yang lebih kompeten. Padahal di lokasi kegiatan tersebut terdapat organisasi yang sehari-hari melakukan kegiatan outbond.
Harusnya ada kolaborasi antara para Pembina Pramuka dan para pengelola outbond. Karena di samping mereka kompeten, secara real sekolah pun kekurangan guru pendamping. Ini memperlihatkan problem yang lain, perencanaan kegiatan ini pun tidak dilakukan dengan baik.
Secara keseluruhan, kasus SMPN I Turi ini menjadi cermin untuk melihat potret, betapa sekolah-sekolah kita belum dikelola secara professional. Karena, keselamatan dan perkembangan murid belum menjadi orientasi utama bagi para pengelola pendidikan pada semua level. (Artikel ini sebelumnya tayang di depoedu.com. Kai tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: indozone.id)
[…] Baca Juga: Kasus SMPN I Turi, Cermin Sekolah Belum Dikelola Secara Profesional […]