Eposdigi.com – Tahun tiga puluhan, di Pare-pare kala itu tidak ada bidan. Pun ketika R.A Tuti Marini Puspowardojo melahirkan. Lazim kebanyakan orang, proses kelahiran dibantu Sanro, sebutan untuk dukun beranak. 25 Juni 1936, betapa girangnya Alwi Abdul Djalil Habibie menyambut kelahiran putra keempatnya itu.
Ia dinamai Bacharuddin Jusuf Habibie. Di keluarganya ia dipanggil Rudy. Sementara Udding adalah panggilan teman sebayanya. Singkatan dari Bacharuddin.
Semasa kecil, ia gemar membaca buku. Kakaknya Titi Sri Sulaksmi bahkan kesulitan mengajaknya main di luar rumah. Jika berhasilpun, Rudy selalu menemukan alasan untuk kembali ke rumah. Tenggelam dalam lautan ilmu dari buku-buku bacaannya. Walaupun dipandang aneh oleh teman sebayanya karena lebih sering berkutat dengan buku, namun sama seperti anak kebanyakan, ia jago berenang, menyenangi bermain kelereng dan menikmati bermain layangan.
Hidupnya berubah. Dalam usia yang masih belia, Alwi , ayahnya meninggal dunia. September 1950, ketika sedang mengimami shalat Isya, Alwi jatuh dalam sujudnya di atas sajadah. Seketika itu R.A Tuti Marini Puspowardojo menyadari bahwa ia harus menjadi lebih kuat.
Anak-anak akan menjadi tanggungjawab perempuan asal Yogyakarta itu. Ia menata hatinya. Berjanji pada dirinya untuk mengantar anak-anak mereka menjadi orang besar. Dihadapan jenasah suaminya, ia berjanji mengutamakan pendidikan anak-anaknya.
Dengan alasan di Makasar kekurangan guru, sang ibu berinisiatif mengirim Rudy putranya ke Jakarta. Anak 14 tahu itu tinggal dengan pamannya di Jakarta. Kondisi rumah pamannya tidak memungkinkan Rudy memiliki kamar tidur. Ia menggelar tikar di ruang tamu. Kondisi rumah pamannya dan udara Jakarta yang panas membuat Rudy tak tahan. Ia mengeluh kepada ibunya.
Dorongan kasih sayang sang ibu menyarankannya pindah ke Bandung. Rudy tinggal dengan keluarga Syamsuddin, kepala Kantor Tera untuk Indonesia, teman baik almahrum ayahnya. Di Bandung ini, keluarga Syamsuddin bertetangga dengan Ainun. Benih-benih cinta mulai bersemi.
Semasa SMP mereka beda sekolah. Baru ketika SMA, Rudy menjadi kakak kelas Ainun. Tetangga, dan sama sama pintar dan mencintai belajar, membuat banyak teman dan guru mereka menjodohkan mereka.
Ditingkat SMA, kepintaran Habibie mulai nampak semakin cemerlang. Ia kerap memperoleh nilai sempurna. Terutama untuk mata pelajaran eksakta. Setelah menamatkan SMA, Rudy melanjutkan kuliah ke Fakultas Teknik- ITB sesuai cita-citanya sedari kecil, menjadi Insinyur. Sedangkan Ainun melanjutkan ke Fakultas Kedokteran UI.
Petualangan baru, dimulai. Hanya satu semester di ITB, ia mengajukan diri untuk mendapatkan izin belajar ke Jerman. Ia memberanikan diri mengajukan izin mengikuti temannya Laheru yang sudah siap ke Jerman atas beasiswa penuh dari Mendikbud. Kantor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi izin.
Namun tantangan terberat baru dimulai. Rudy mendapat izin hanya sebagai delegasi yang belajar ke Jerman. Ia satu-satunya mahasiswa yang memegang paspor hijau saat itu. Konsekuansinya, Mendikbud hanya memberinya kemudahan dan legalitas untuk membeli valas untuk biaya kuliah dan biaya hidup selama di sana. Sementara teman-temannya yang lain memegang paspor dinas RI. Mereka kuliah dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
Tugas beratnya kemudian adalah meyakinkan sang ibu, mengingat biaya studi ke Jerman yang sangat besar. Ingatan akan janji kepada mendiang suaminya, R.A Tuti Marini Puspowardojo meloloskan niat baik sang putra. Berangkatlah pria yang belum genap 20 tahun itu ke negeri asal penemu mesin cetak itu.
“Kita adalah keturunan bangsa pejuang, yang tidak mengenal kalah dan lelah”, Rudy memotivasi diri dengan kata-katanya sendiri. Ketika teman-temannya mendapat uang kuliah, uang buku, dan juga uang pakaian, Rudy tidak. Keprihatinan ini yang mendorongnya belajar lebih tekun sambil bekerja menghidupi dirinya di tanah rantau. Buah dari usaha tak mengenal lelah itu adalah penganugerahan gelar Diploma Ingenieur dengan nilai magna cum laude.
Selepas kuliah, Rudy langsung mendapat kerja di Jerman. Lama tidak pulang, membuatnya begitu kangen pada Indonesia. Pada alamnya, pada kulinernya, pada keramahan negerinya, pada keluarganya, pada ibunya.
Kesempatan liburan tiga bulan dari tempatnya bekerja ia gunakan untuk pulang ke Indonesia. Saat di Bandung, ia bertemu dengan Ainun, yang saat itu sedang izin karena sakit dari tempat kerjanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Rudy tak sanggup menyembunyikan kekagumannya. Benih-benih cinta masa SMA mekar berseri. Gejolak hatinya yakin bahwa ia tengah bertemu dengan jodoh yang disiapkan Tuhan buatnya.
“Ainun menjadikan saya sebagai suami yang ia idamkan, dan saya menjadikan Ainun sebagai istri yang saya cita-citakan”. 12 Mei 1962, mereka menikah. Ainun, dokter muda itu, merelakan karirnya di Rumah Sakit Cipto, dan ikut suaminya yang sedang bekerja dan melanjutkan studi di Jerman.
Awalnya Rudy mengepalai Departemen Riset dan Analisa Struktur Penerbangan di Hamburger Flugzeugbau Bau (HFB). Tugas maha beratnya adalah mencari solusi untuk mengatasi masalah ketidakstabilan konstruksi ekor pesawat Fokker 28. Dasar otak nya yang brilliant tugas itu selesai dalam enam bulan. Di HFB, Rudy juga merancang pesawat baru. Satu pesawat utuh yang dirancangnya, diberi kode nama DO-31. Pesawat bermesin jet dengan kemampuan tinggal landar dan mendarat secara vertical. Pengembangan dari rancangan ini kemudian dibeli oleh NASA.
Tahun 1969, HFB milik keluarga Blohm yang memproduksi pesawat pengangkut sipil dan militer, bergabung dengan perusahaan pesawat tempur milik keluarga Messerschmidt dan perusahaan pesawat helicopter dan senjata milik keluarga Bolkow. Gabungan ketiganya membentuk perusahan baru, Messerschmidt Bolkow Blohm atau MBB. Di perusahaan baru ini Rudy mengemban jabatan prestisius sebagai Kepala Devisi Metode dan Teknologi untuk pesawat angkut sipil dan militer. Empat tahun kemudian, ia memperoleh jabatan mentreng sebagai Vice President dan Direktur Pengembangan dan Penerapan Teknologi. Rudy adalah orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan itu dalam lingkaran direksi perusahaan Jerman.
Ibu Pertiwi memanggil. Ketika melakukan kunjungan ke Jerman Barat, Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina, ingin menemui Rudy. Ia meminta Dubes RI untuk Jerman Barat, Achmad Tirtosudiro untuk memeprtemukannya dengan Rudy. Tak tahu menahu siapa Ibnu Sutowo, apalagi Pertamina, ia mau saja bertemu, Desember 1973.
“Saudara Rudy, je moet je schamen als Indonesier!” Kata Sutowo saat pertama kali bertemu. ‘Seharusnya kamu malu sebagai orang Indonesia”. Rudy tercekat. Diam tak bergerak. “Di Indonesia, orang –orang sedang membangun, kamu kok malah di sini?” rentetan kata-kata Sutowo mengusik nasionalismenya. Dadanya bergemuruh. Ia pulang untuk berkarya demi ibu pertiwi setelah 20 tahun bekerja di Jerman.
Sumpahku! **
Terlentang! Jatuh! Perih! Kesal!
Engkau Pegang dalam Perjalanan. Djanji Pusaka dan Sakti.
Tanah Tumpah Darahku. Makmur dan Sutji
Hancur Badan tetap Berdjalan
Djiwa Besar dan Sutji Membawa Aku..Padamu!!
Hari ini, setelah 83 tahun mengabdi, Ibu Pertiwi memanggilmu pulang. Bacharuddin Jusuf Habibie, damailah bersama para pahlawan dalam dekapan Ibu Pertiwi.
(**Puisi ini ditulis Rudy ketika dirawat di rumah sakit Klein Wasserthal, November 1959. Inspirasi utama tulisan ini dari buku “Tak Boleh Lelah dan Kalah” karya Fachmy Casofa. Foto : merdeka.com.)
Leave a Reply