“Ketika Human Trafficking dianggap sebagai hal biasa, berarti kemanusiaan dianggap sebagai benda. Sesuatu yang bisa saja menjadi jenuh. Ketika kemanusiaan dianggap jenuh, berarti nurani manusia sudah mati. Itu sama halnya dengan menghantar diri sendiri ke liang lahat.”
Eposdigi.com – Dalam sepekan ini, Kompas, media nasional, pemegang ‘Amanat Hati Nurani Rakyat’ melansir beberapa tulisan terkait perlawanan terhadap perdagangan orang. “Anak-anak Indonesia Diperdagangkan” pada tanggal 29 Juli 2019 yang lalu, diikuti liputan investigasi di hari yang sama dengan judul “Kalau Begini Terus, Pasti Mati”, juga beberapa tulisan sehari setelahnya.
Pada 30 Juli 2019 kompas masih menalansir judul “Perdagangan Anak: Perekrut merupakan Orang Dekat” dan “Inisiatif Warga: Melawan Perdagangan Orang”. Tak hanya itu, hingga tanggal 31 Juli lalu, tepat saat dunia memperingati hari anti human trafficking, di rubrik Sosok Kompas muncul dua wajah yang tak asing. Suster Laurentina, Pi dan Pendeta Emmy Sahertian yang dalam keseharian selalu menunggu di kargo Bandara Eltari Kupang untuk menjemput kepulangan setiap jenazah korban TKI. Maka sudah sepantasnya ruang itu tepat bagi mereka.
Bagi saya, ada yang menarik sekaligus mengganjal dari tulisan wartawan Kompas pada beberapa edisi cetakan itu.
Sebagai orang Nusa Tenggara Timur (NTT), nurani saya terusik dengan kondisi kita sebagai salah satu dari 10 provinsi yang menjadi penyumbang TKI terbanyak. Ini menjadi tanda tanya besar, apa daerah ini sudah tidak bisa menjanjikan apa-apa lagi sehingga pilihan bekerja keluar daerah yang menjadi satu-satunya pilihan bagi kita?
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, BNP2TKI, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT yang diolah oleh Litbang Kompas, Calon TKI Ilegal asal NTT pada tahun 2017 sejumlah 519, meningkat tajam menjadi 1.379 pada tahun 2018. Hingga 16 Juli 2019 lalu, sudah berjumlah 672. Data lain tak kalah mengejutkan. Dari jumlah TKI tersebut, sudah ada total 66 jenazah TKI yang dipulangkan ke NTT per Juli 2019.
Dalam liputan investigasi itu, wartawan kompas menelusuri beberapa kawasan di Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, hingga Kuala Lumpur, Malaysia dengan menemui korban dan keluarganya.
Ada hal yang mengganjal dalam tulisan-tulisan ini. Misalnya terkait dokumen palsu. Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Mulkan Lekat mengatakan bahwa ada banyak sekali TKI bermasalah di Malaysia. Mereka kerap kali menggunakan dokumen keimigrasian – seperti paspor dan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) – yang palsu.
Selain beliau, Sekretaris Pertama Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Yulisdiyah Nuswapadi juga mengakui dari beberapa ‘penyakit’ perdagangan orang yang pernah ditangani KBRI, biasanya ada kurir yang mendampingi orang yang akan diseludupkan. Korban juga tak terlacak di data imigrasi karena menggunakan dokumen palsu. Menurutnya, “Biasanya (saat diseludupkan) mereka sudah ada kontak-kontaknya. Siapa yang bawa ke Surabaya, Johor, itu sudah ada orangnya.” (kata dalam kurung ditambahkan)
Pertanyaan yang hadir setelahnya adalah apa yang sudah mereka lakukan? Sebagai Sekretaris Konsuler Kedutaan Besar, yang digaji menjadi perwakilan negara dan mengetahui jelas situasi yang ada dari persoalan-persoalan tersebut dan segaka dampaknya, sudah sejauh mana ‘siapa-siapa’ dan ‘kontak-kontaknya’ diungkapkan agar praktek ini berhenti? Ataukah ‘siapa-siapa’ dan ‘kontak-kontaknya’ ini memang sengaja dibiarkan ada agar mereka di KBRI punya kerjaan setiap harinya? Kenapa Kemenlu di Malaysia seolah-olah hanya menjadi peneliti untuk menjelaskan seperti apa situasi ini tanpa mengambil langkah tegas?
Selain penjelasan panjang lebar di atas, dalam alam edisi yang lain sehari setelahnya, Kompas juga melansir tulisan “Perekrut merupakan Orang Dekat’. Yang menarik dari edisi ini adalah pada bagian Identitas calon TKI diubah. Penulis juga menjelaskan bahwa Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Nusron Wahid mengatakan bahwa Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri sebenarnya telah terintegrasi dengan sistem kependudukan Kementrian Dalam Negeri. Seharusnya hal ini dapat mencegah anak di bawah umur yang terdaftar sebagai calon TKI. Namun menurut Nusron, sistem ini tidak dapat mencegah anak-anak yang usianya “dikatrol” melalui pemalsuan data kependudukan.
Ini adalah situasi yang membenturkan banyak tanda tanya setelahnya. Bagaimana dengan verifikasi dan validasi data kependudukan di BNP2TKI? Mengapa dokumen kependudukan dimana umur calon TKI yang di “katrol” ini tidak dapat terdeteksi? Bukankah data kependudukan di dukcapil – Kemendagri tidak mudah dimanipulasi?
Apa yang sudah dilakukan BNP2TKI dalam mengatasi masalah ini? Mengapa sesuatu yang seperti ini tidak dapat dibenahi dari waktu ke waktu? Ini sudah terjadi dari tahun ke tahun. Seolah ada pembiaran. Seolah pasrah dan disengajakan sistem itu terus begitu.
Sedang rakyat jelata -akar rumput – berdiri di bawah terik, menangis. Menanti di Kargo Bandara. Menunggu kapan peti-peti jenazah itu pulang. Di waktu yang sama, perekrut di kampung-kampung sedang menjanjikan gaji yang besar. Para orang tua di kampung terpedaya uang sirih pinang. Lalu dokumen identitas mereka diubah. Sedang BNP2TKI sebagai representasi negara sibuk menjadi peneliti. Menggerutu pada sistem. Entah di antara mereka apa yang lebih penting dari kemanusiaan selain aturan prosedural. Kalau saja mereka mempunyai cinta, cinta itu di atas segala-galanya. Melampaui prosedural.
Dimanakah kita?
Beberapa kali saya membersama dua perempuan yang masuk dalam rubrik Sosok Kompas pada tanggal 31 Juli kemarin. Selain mereka, biasanya ada beberapa kawan-kawan yang tergabung dalam pemerhati dan solidaritas anti human trafficking. Tak lupa beberapa kawan-kawan media dan petugas Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) yang mengatur kelengkapan dokumen dan ambulance untuk menghantar jenazah korban human trafficking ini.
Meski pulang dengan riwayat kematian yang berbeda-beda bisa saja karena memang sakit, kecelakaan lalu meninggal atau hanya menggunakan ‘alasan’ sakit dan kecelakaan saja sebagai bagian dari kelengkapan dokumen, kita tidak benar-benar tahu.
Di Kupang, biasanya jenazah yang berasal dari daratan Timor langsung dihantar oleh BP3TKI untuk sampai ke kampung halaman. Sedangkan jenazah yang berasal dari Flores, Sumba, Alor dan daerah lainnya, harus menunggu jadwal kapal atau pesawat untuk menyeberang. Jenazah -jenazah ini harus disemayamkan di Ruang Jenazah RSU Kupang.
Situasi seperti ini kadang mengaduk emosi. Menangis sedih dalam diam. Mereka yang kaku tak bernyawa ini – setelah dijemput oleh Tim Pelayan Kargo – kadang terbaring sendirian di ruang jenazah. Menunggu seharian untuk dikirimkan ke kampung halaman. Tanpa dikenali dan ditemani.
Apakah mereka representasi manusia-manusia dari setiap kabupaten? Mengapa mereka ditinggakan sendirian? Bukankah begitu banyak kelompok-kelompok arisan dari hampir semua daerah di NTT yang berada di kota Kupang? Kelompok-kelompok organisasi mahasiswa daerah, kelompok organisasi rumpun keluarga besar dari suatu daerah kabupaten di NTT yang berdomisili di Kupang, sudah sejauh mana melihat mereka sebagai sesama dan keluarga. Apakah ini mewakilkan bagaimana nurani kemanusiaan kita melihat “diri kita yang lain” (baca: mereka)? Atau jangan sampai kita memandang mereka sebagai ‘dia yang lain’. Bukan saya! Bukan urusan saya!
Jika dalam diri kita tertanam sikap bahwa human trafficking adalah hal biasa, berarti kita sudah mengganggap bahwa kemanusiaan kita sama seperti benda mati. Kematian nurani seperti ini, sama halnya kita sedang menggali dan menghantar diri sendiri ke liang lahat.
Semoga menjadi refleksi kita semua.
Penulis adalah Global Amabassador for Human Rights and Peace Indonesia 2019. Foto: Penulis Bersama Suster Laurentina, PI dan Pendeta Emmy Sahertian di Kargo Bandara Eltari Kupang. Dalam moment, menjemput jenazah korban TKI.
Kasus HT terus berulang telah mengkonfirmasi negara tak optimal atau bahkan gagal menangani kasus ini. Masalah HT juga bagian dr fenomena kemiskinan di desa yg belum tuntas tertangani…
Mantap ulasannya…menurut saya ada beberapa sebab terjadinya perantauan (pengiriman tenaga kerja ke luar negeri). 1.). Pada beberapa daerah di NTT, merantau sudah merupakan suatu tradisi. Banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya karena hasil dari kiriman Ringgit. Wakil Bupati Flores Timur saat ini, Agustinus Payong Boli sendiri mengalami hal tersebut. Dia merantau ke Malaysia untuk menyelesaikan studi S1 hukumnya di UNDANA. Dan ini sering diungkapkan pada setiap kunjungan kerjanya. Dan masih banyak lagi para pejabat NTT yg biaya sekolahnya berasal dari negeri Jiran. 2). Peran Pemda sangat penting dalam rangka menata pengiriman TKI ke luar negeri. Harus ada Perda yang mengatur dan… Read more »
Hal lain yang juga penting adalah kepekaan masyarakat untuk terlibat aktif dalam tindakan pencegahan. Saling melihat kiri kanan dan segera melapor dugaan tindakan HT.
[…] Baca Juga: Human Trafficking: Mengubur Nurani Kita Dalam Setiap Peti Mati TKI […]
[…] Baca Juga : Human Trafficking: Mengubur Nurani Kita Dalam Setiap Peti Mati TKI […]