Rethinking Community Development dan Kewirausahaan

Bisnis
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Nasihat Jack Ma, orang kaya Tiongkok, berikut ini menarik untuk disimak.

“Jika kau letakkan sebuah pisang dan segepok uang di hadapan seekor monyet maka sang monyet akan memilih pisang dan mengabaikan uang. Monyet tidak paham bahwa jika ia memilih uang, dengan uang tersebut ia bisa membeli lebih banyak pisang di pasar.

Demikian pula, jika anda menawarkan lowongan kerja dan peluang bisnis kepada orang-orang, maka mereka akan memilih kerja. Kebanyakan orang tidak paham bahwa seandainya mereka memilih peluang bisnis maka mereka dapat menghasilkan uang lebih banyak dari dunia usaha dibanding menerima gaji sebagai karyawan atau buruh. 

Menurut Jack Ma, orang miskin akan tetap miskin karena orang miskin tidak dididik dan dilatih untuk memahami berbagai peluang di dunia usaha. Orang-orang itu belajar banyak hal di sekolah dengan tujuan agar setelah tamat dan mendapat ijazah mereka bisa pergi melamar pekerjaan untuk mendapat gaji. Mereka tidak dididik dan dilatih untuk berwirausaha (entrepreneurship).

Baca Juga:

Indonesia Memerlukan Wirausahawan untuk Mencapai Target Menjadi Negara Maju. Praktik Pendidikan Perlu Ditinjau Ulang

Persoalan yang sama identik dengan kisah para petani dan nelayan kita di kampung-kampung. Mereka lebih nyaman menanam atau melaut lalu langsung menjual hasil kebun dan hasil tangkapan mereka ke pasar atau tengkulak dibanding mengolah hasil pertanian atau perikanan mereka, minimal menjadi bahan baku industri setengah jadi, agar mereka bisa menikmati nilai tambah.

Persoalan pada petani dan nelayan kita adalah masalah mindset. Mindset petani dan nelayan kita adalah mindset kuli yang dibayar, sama seperti mindset para pekerja kantoran atau buruh pabrik. Sama-sama berorientasi pada gaji.

Tidak ada yang mengajari dan mendampingi mereka dalam bidang kewirausahaan. Semua masih bergerak pada level tanam, tanam, dan terus tanam sampai bumi jebol 

Bahwa uang hasil menjual tenaga di rantau orang tidak harus dihabiskan untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif seperti membangun rumah atau biaya pesta adat ini dan itu.

Baca Juga:

Kedaulatan Pangan: Mimpi yang Tertunda atau Mimpi yang Tak Realistis?

Sayangnya, pemerintah daerah dan para pegiat pemberdayaan masyarakat masih saja tidur satu bantal dengan mindset petani dan nelayan di kampung: tanam, tanam dan terus tanam dana pemberdayaan sampai kantong jebol dan buku kas robek tapi tak ada hasil transformasi pemberdayaan yang bermakna dan sustainable. Tahun proyek selesai, LSM pegi. Masyarakat masih tetap seperti yang dulu.

Jiwa dunia wirausaha awal mudah terkena sakit encok, sakit pinggang dan sakit kepala minta obat pusing cap bintang tujuh di tengah fluktuasi harga-harga komoditi pasar.

Mindset kuli untuk selalu merasa nyaman menerima gaji (baca: hasil penjualan komoditi pertanian dan perikanan secara gelondongan) langsung memutuskan tidak mau menanam komoditi x lagi karena tidak ada yang beli atau harga turun.

Seandainya, lagi seandainya, ada yang membuka horizon wawasan mereka, bahwa diluar sana harga komoditi pertanian atau perikanan mereka tidak seburuk itu, akan normal dalam dua bulan ke depan, atau bahkan lebih tinggi ketimbang di tangan tengkulak. 

Baca Juga:

Klemens Kwaman: “Bagaimana Jika Nanti Dana Desa Berhenti?”

Seandainya dan seandainya mindset mereka …., seandainya wawasan mereka …., seandainya horizon pengetahuan mereka …., seandainya yang menulis ini juga tidak hanya marah-marah dari jauh, seandainya ….. dan seterusnya

Ketika cuaca tidak bersahabat:

Orang pesimis: ya sudahlah, menyerah. Kita tidak jadi berlayar. Sementara Orang optimis: Kita bersabar sebentar, badai ini pasti berlalu.

Orang cerdas dan kreatif: Siapa takut? ayo, mari kita berlayar, mainkan posisi layar memanfaatkan angin samping hingga kita sampai di seberang walau harus melakukan manuver berkali-kali.

Foto ilustrasi dari muhidin.web.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of