Mahasiswa ITB yang Menunggak Uang Kuliah, Ditawari Opsi Bayar Pakai Pinjol

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sebuah akun di media sosial X dengan username, ITBfess nge-tweet poster yang berisi penawaran pada mahasiswa ITB yang masih menunggak uang kuliah, untuk membayar tunggakan dengan dengan dana pinjaman dari platform pinjaman online Danacita. 

Tweet tersebut kemudian menjadi viral dan menuai reaksi dari berbagai pihak yang pada dasarnya tidak setuju dengan cara ITB menangani mahasiswa yang menunggak uang kuliah melalui kerjasama dengan platform pinjaman online Danacita sebagai pihak ketiga. 

Untuk kerjasama ini mahasiswa harus menanggung bunga yang tidak ringan. Seperti dilansir pada laman BBC, untuk pinjaman 12 bulan dikenai biaya platform 1,75 persen dengan biaya persetujuan 3 persen. Sedangkan untuk cicilan 6 bulan dikenai biaya platform 1,6 persen dengan biaya persetujuan 3 persen.

Artinya, jika seorang mahasiswa meminjam 15 juta rupiah maka estimasi total pengembalian selama enam bulan sebesar Rp. 16.890.000. Jika 12 bulan maka estimasi total pengembaliannya adalah Rp.18.600.000. Jika 18 bulan maka estimasi total pengembaliannya adalah Rp. 20.310.012 dan jika 24 bulan maka total pengembalian Rp.22.650.000. 

Baca Juga:

Program Beasiswa KIP Kuliah Semakin Ramah Pada Mahasiswa dari Keluarga Miskin

Sebelum kerjasama ini, banyak mahasiswa masih diberi keringanan jika pada awal semester  mengajukan keringanan atau penangguhan pembayaran. Kini, jika tidak membayar Uang Kuliah Tunggal sebesar 40 persen dan tidak membayar tunggakan pada semester sebelumnya, mahasiswa yang menunggak tidak dapat mengikuti kelas. 

Dengan ketentuan ini mahasiswa yang kesulitan membayar UKT karena keterbatasan orang tua, seperti diarahkan untuk mau tidak mau meminjam pada platform pinjaman online Danacita. Karena jika tidak meminjam, ITB seperti memaksa mahasiswa untuk cuti dari studi. Saat ini 206 mahasiswa ITB terancam berhenti kuliah karena memiliki tunggakan. 

Ketua Senat Mahasiswa ITB Yogi Syahputra seperti dilansir pada laman BBC menyayangkan praktik ini. Menurut Yogi, prioritas ITB harusnya membantu mahasiswa dengan ragam mekanisme yang meringankan, bukan malah mencari keuntungan dengan lembaga pinjaman online yang berbunga.

Baca juga : 

Kemelut dengan Rektor ITB, Perkuliahan Sekolah Bisnis Manajemen ITB Ditutup

Praktik ini ternyata tidak hanya berlangsung di ITB. Menurut pengakuan Direktur utama Danacita, Alfonsus Wibowo, kerja sama ini tidak hanya dilakukan dengan ITB tetapi juga dilakukan dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lain dan berbagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia. 

Apa yang kita pelajari kasus ini?

Kasus ini menurut saya mengantar kita untuk belajar paling tidak dua hal penting terkait penyelenggaraan pendidikan terutama di perguruan tinggi, meskipun juga terjadi di pendidikan dasar dan menengah. 

Pertama, negara dalam hal ini pemerintah belum mampu melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar untuk mencerdaskan kehidupan bang sa, karena hingga kini, masyarakat masih berjuang sendiri untuk bisa mengakses pendidikan. 

Perguruan Tinggi Negeri yang seharusnya menjadi agen pelaksana amanat mencerdaskan kehidupan bangsa bahkan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat kebanyakan karena mereka tidak dapat membayar biaya pendidikannya. 

Dalam situasi tersebut negara tidak dapat hadir dan mengambil bagian dalam perjuangan masyarakat. Padahal aparatur negara yang digaji dengan uang pajak dari rakyat seharusnya berupaya menyelenggarakan pencerdasan kehidupan bangsa tersebut..

Baca Juga:

Banyak Jalan Menuju Dunia Kuliah

Rektor Perguruan Tinggi Negeri sebagai salah satu aparatur negara tersebut bersama jajarannya belum maksimal mengusahakan sumber pembiayaan pendidikan selain menarik biaya dari para mahasiswa yang relatif tinggi.

Kasus ini juga menggambarkan buruknya tata kelola Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) di mana PTNBH berhak melakukan komersialisasi dan mengelola keuangan sendiri, dan rektor PTNBH masih sangat minim melakukan keduanya.    

Harusnya Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan jajarannya, dengan kreativitas mereka melakukan riset dan inovasi yang menghasilkan hak paten, untuk meningkatkan intellectual capital sehingga Perguruan Tinggi Negeri mendapat dana tambahan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan.

Namun bisa juga terjadi jika ada pendapat yang mengatakan bahwa kasus seperti ini juga terjadi karena UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bermasalah. Karena undang-undang ini telah menggeser arah Pendidikan Tinggi di Indonesia ke privatisasi dan komersialisasi. 

Jika situasi komersialisasi ini dibiarkan maka akan semakin banyak anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dan amanat Undang-Undang Dasar bagi negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa semakin jauh. 

Kedua, Sejak lama Indonesia memiliki dana abadi untuk pendidikan. Selama ini dana tersebut hanya digunakan untuk dana beasiswa LPDP baik untuk melanjutkan studi di dalam negeri maupun di luar negeri. Ini sangat membantu anak-anak muda yang cerdas untuk melanjutkan studi. 

Baca juga : 

Mahasiswa, apa Prioritasmu?

Namun dari populasi mahasiswa, jumlah anak muda cerdas penerima manfaat beasiswa LPDP hanya sedikit. Mahasiswa lain yang kesulitan membiayai pendidikan sendiri jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka ini juga membutuhkan dukungan dari pemerintah. 

Kini jumlah dana abadi tersebut, yang belum digunakan mencapai 150 triliun rupiah meskipun setiap tahun jumlah penerima beasiswa LPDP terus bertambah. Oleh karena itu pemerintah berencana untuk menghentikan penyetoran dana ke rekening  dana abadi dari kas negara  untuk sementara,

Saat ini pemerintah sedang memikirkan untuk menggunakan dana abadi tersebut, selain untuk beasiswa LPDP. Saya setuju opsi menggunakan sebagian dari dana tersebut digunakan sebagai dana student loan untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan membiayai studi mereka. 

Gagasan semacam ini harusnya telah menjadi opsi kebijakan namun saya menduga opsi itu tidak muncul karena cara kerja birokrasi kita, juga birokrasi pendidikan kita, pasif, linier dan tidak kontekstual sehingga opsi-opsi pemecahan masalah yang visioner tidak muncul.

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: katadata.co.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of