Eposdigi.com – Secara tradisional, bangsa Korea memiliki budaya yang sangat kuat dalam menghormati guru. Namun kini, karena kemajuan di berbagai bidang, termasuk pertumbuhan ekonomi menyebabkan sikap hormat terhadap guru ikut luntur.
Perubahan tersebut disebabkan oleh banyak faktor seperti membaiknya kesejahteraan masyarakat membuat banyak orang tua dapat mengakses pendidikan lebih baik, sehingga banyak dari mereka dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, lebih daripada kebanyakan guru.
Di sisi lain, orang Korea Selatan yang sangat kompetitif, melihat pentingnya keberhasilan akademis sejak usia muda agar kelak semakin besar peluang untuk memasuki universitas terbaik, guna memastikan karier masa depan yang lebih baik.
Faktor inilah yang membuat orang tua justru menjadi sangat dominan dalam hubungan dengan sekolah. Apalagi jika mereka hanya memiliki satu anak, sehingga memiliki hanya satu peluang untuk membesarkan anak yang mampu berkompetisi dan sukses.
Hal-hal inilah yang menyebabkan banyak orang tua terutama di perkotaan menjadi sangat dominan mengatur bukan hanya guru tetapi juga sekolah. Dengan demikian orang tua tidak lagi menjadi mitra sekolah melainkan mendominasi dan mengatur sekolah.
Baca juga :
Situsi ini menyebabkan guru kehilangan otonomi untuk mendidik anak, bahkan banyak guru terutama di perkotaan seperti di Provinsi Gyeonggi, di Seoul, Busan dan Chungcheong, tidak lagi memiliki otonomi untuk mendisiplinkan murid yang nakal.
Tindakan pendisiplinan terhadap murid yang melanggar aturan misalnya, dibalas dengan tekanan dari orang tua. Bahkan dalam banyak kasus, orang tua menyerang balik guru dengan bukti yang dimiliki.
Misalnya seorang guru di Seoul, dengan prosedur yang berlaku, menahan murid lebih lambat pulang, karena guru perlu bicara dengan murid tersebut, lantaran murid tersebut melukai murid lain. Tindakan guru ini dianggap sangat menghambat dan merugikan murid tersebut.
Hal tersebut ternyata berkaitan dengan keharusan bagi anak tersebut untuk mengikuti bimbingan belajar yang dibayar mahal oleh orang tua, guna menyiapkan anak agar kompetitif secara akademik dan pada akhirnya dapat masuk universitas terbaik.
Dalam banyak kasus, guru bukan hanya merasa ditekan, diteror, tetapi juga merasa di-bully bahkan dilecehkan oleh orang tua. Profesi guru sama sekali tidak lagi dihargai, bahkan dalam banyak kasus guru dituduh dengan tuduhan yang sepihak.
Baca juga :
Ganjar Pranowo Wacanakan Gaji Guru 30 Juta, Ini Tanggapan Para Pengamat
Bukan hanya itu, orang tua bahkan dapat meminta guru melakukan hal yang harusnya menjadi tugas orang tua. Misalnya seorang anak sering terlambat karena susah bangun pagi. Orang tua anak ini meminta guru kelasnya membangunkan anak ini tiap pagi dengan menelpon ke nomor handphone anak ini.
Karena merasa bukan tugasnya, guru kelas yang bersangkutan menolak memenuhi permintaan orang tua tersebut. Orang tua ini melaporkan guru tersebut kepada Kepala Sekolah, karena menurutnya guru ini tidak bekerja dengan baik. Buntutnya, guru ini pun dihukum oleh kepala sekolah.
Dalam banyak kasus, laporan yang disampaikan oleh orang tua selalu berbuntut guru yang disalahkan, tanpa guru dapat membela diri. Oleh karena itu, pada akhirnya banyak guru harus minta maaf pada orang tua, atau diskors, bahkan diberhentikan dari pekerjaan mereka.
Situasi ini membuat guru merasa bekerja tanpa perlindungan. Guru merasa tidak berdaya bahkan depresi. Inilah yang menjadi penyebab melonjaknya angka bunuh diri guru di Korea Selatan dalam satu dekade terakhir.
Sejak tahun 2013 pemerintah Korea Selatan mencatat 144 kasus bunuh diri termasuk 6 orang di tahun 2014, meningkat menjadi 25 orang di tahun 2021. Sempat menurun di tahun 2022 menjadi 20 orang, dan di bulan ke-10 tahun 2023 ini, angka bunuh diri guru sudah mencapai 14 orang.
Baca juga :
Tahun 2024 Indonesia Terancam Darurat Kekurangan Guru, Ini Penyebabnya
Seperti dilaporkan pada laman bbc.com, kasus bunuh diri terakhir terjadi pada 5 Juli 2023, dialami oleh seorang guru muda berusia 23 tahun bernama Lee Min-Soo. Dalam catatan hariannya terdapat banyak pengalaman menghadapi teror orang tua yang membuatnya depresi.
Salah satu di antaranya ketika ia menangani kasus seorang murid yang melukai kepala anak lain dengan pensil. Ia tidak hanya menerima tekanan dari anak yang terluka tetapi juga dari anak yang melukai. Ia disalahkan oleh kedua orang tua anak tersebut.
Min-Soo mengalami teror melalui panggilan telpon dengan penuh amarah hingga tengah malam, dari kedua orang tua anak. Buntut kasus ini membuat Min-Soo dihukum oleh kepala sekolah dan harus minta maaf, tanpa ditanya terlebih dahulu.
Kasus bunuh diri Lee Min-Soo ini memicu gelombang kemarahan dari guru Korea Selatan. Mereka mogok kerja untuk menuntut perlindungan yang lebih baik di tempat kerja mereka. Guru meminta agar ada panduan bagi mereka dalam bekerja untuk menghindari tuntutan.
Menghadapi tuntutan guru tersebut, pemerintah Korea Selatan telah membentuk tim untuk merumuskan masalah yang dihadapi guru dan mendengarkan aspirasi dan kebutuhan guru serta orang tua.
Baca juga :
Para guru juga berharap parlemen Korea Selatan segera membahas rancangan undang-undang untuk melindungi dan memberikan otonomi untuk mendidik bagi guru, serta menempatkan orang tua sebagai mitra guru dalam mendidik.
Nampaknya situasi di atas dihadapi juga oleh guru di Indonesia, meskipun keadaannya tidak separah di Korea Selatan. Namun tanda-tanda guru kehilangan otonomi karena dominasi orang tua, juga dihadapi oleh guru di Indonesia.
Kita berharap pemerintah membuat regulasi untuk mengembalikan otonomi guru. Salah satunya dengan memperbaiki kesejahteraan guru karena otonomi ada kaitannya dengan rasa percaya diri guru di hadapan orang tua.
Menurut hemat saya ini terkait masalah kesejahteraan dan fokus kerja guru. Dengan kesejahteraan yang membaik, rasa percaya diri akan lebih baik dan guru akan lebih otonom serta fokus dalam bekerja. Setelah itu, mutu pendidikan akan ikut membaik.
Foto: Holopis.com
Leave a Reply