Tentang Mitigasi Bencana Setelah 30 Tahun Gempa Flores 12 Desember 1992

Daerah
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sebagian ingatan tentang gempa 12 Desember, 30 tahun lalu itu masih tersimpan. Yang masih sangat melekat di ingatan adalah bunyi gemuruhnya. Kurang lebih seperti bunyi hujan deras yang menimpa seng atap rumah kebanyakan masyarakat di tempat kami.

Seingat saya, saat gempa saya sudah pulang sekolah. Sedang bermain di rumah pohon yang saya buat di atas pohon Gamal di depan rumah. Gempa kala itu membuatku jatuh ke tanah seperti dibanting. Puji Tuhan, itu tidak membawa cedera.

Orang-orang berlarian keluar rumah. Teriakan panik “Brero…Brero…” yang berarti ‘gempa..gempa’ dalam bahasa Lamaholot kami sedikit memberi gambaran tentang pengalaman pertama mengalami gempa bumi sebesar itu.

Baca Juga:

Siapkah NTT Diguncang Gempa Besar Hingga Magnitude 8.5?

Kemudian melihat beberapa bata merah di dinding rumah yang berjatuhan, dan melihat kabel listrik milk PLN yang berayun kuat. Ya.. Tidak terasa itu sudah berlalu 30 tahun lamanya.

Beberapa hari lalu, merespon sebuah press release dari BMKG Kupang  tentang potensi gempa bumi di wilayah NTT, di media ini, saya menuangkan kegelisahan saya dan menyoal seberapa siap masyarakat NTT menghadapi potensi gempa bumi dan juga bencana alam lainnya.

NTT yang dikelilingi oleh dua sabuk gempa aktif; Megathrust Sumba di selatan dengan Flores Back Arc Thrust di Utara Flores yang berpotensi membawa gempa besar dengan magnitude diatas 7 seharusnya menjadi perhatian serius semua kita.

Baca Juga:

Ketika Anggota Dewan Menertawakan Mitigasi Bencana

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah ulasan yang dilansir oleh theconversation.com (12/12/2022). Judul tulisan ini sedikit memprovokasi saya untuk merenung, sambil berusaha melihat lebih terang kenyataan yang ada hari ini di kampung halaman sana setelah gempa besar 30 tahun lalu itu.

“30 tahun lalu gempa dan tsunami merusak Flores: apakah mitigasi risiko di sana kini lebih baik?” demikian judul kajian yang disusun oleh tiga orang hebat: Jonathan A Lassa dari Charles Darwin University, Dantje Sina, Dosen dan Peneliti Teknik Sipil Undana dan John Petrus Talan dari Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang.

Tidak bermaksud untuk menjawab secara gambling apa pertanyaan mereka, namun berangkat dari pemikiran mereka saya tertarik untuk memberi penekanan lagi pada beberapa poin penting mitigasi risiko yang telah mereka petakan.

Pertama: Soal pembangunan tetrapod yang oleh masyarakat lokal dibahasakan sebagai ‘pemecah gelombang’. Menurut kajian ini, tetrapod ini secara hipotesa dapat melindungi wilayah pantai.

Baca Juga:

Bagaimana Gemohing terlibat dalam Mitigasi Bencana di Jepang?

Saya membayangkan bahwa tetrapod ini, barangkali bisa diganti dengan menanam dan membudidayakan hutan bakau di pesisir pantai sebagai pemecah gelombang alami.

Manfaat hutan bakau ini tentu lebih banyak daripada tetrapod. Selain tentu saja dapat menahan gelombang, hutan bakau pasti menghasilkan oksigen dan juga merupakan habitat alami berbagai jenis hewan, tempat ikan berkembang biak, lebah madu bersarang, kepiting bermain dan tentu saja bisa menjadi destinasi wisata mangrove yang menarik.

Kedua: kajian ini juga mengungkapkan mengenai pendampingan terhadap para tukang bangunan lokal oleh gereja dan Unwira mengenai bagaimana membangun hunian yang tahan terhadap bukan hanya gempa melainkan badai yang dibawa oleh siklon tropis yang sering melanda Indonesia.

Hal ini menurut saya adalah langkah yang sangat luar biasa untuk mempromosikan bagaimana membangun hunian dan fasilitas public yang tahan terhadap berbagai macam potensi bencana.

Baca Juga:

Membidik Target Pendidikan Kebencanaan

Para tukang bangunan dilatih untuk menjadi ujung tombak untuk mempromosikan mitigasi bencana, kemudian pemerintah daerah menerbitkan perda terkait mitigasi bencana, salah satunya adalah mewajibkan semua bangunan baru atau renovasi mengantongi IMB, dan membuat mekanisme agar masyarakat mematuhi regulasi tersebut.

Apalagi jika kedua hal ini dibarengi dengan pendidikan formal tentang manajemen risiko mitigasi bencana untuk semua jenjang pendidikan mulai dari jenjang TK hingga Perguruan Tinggi.

Tidak hanya institusi pendidikan formal, institusi agama pun harus menjadi kelompok terdepan untuk menjamin keselamatan para pengikutnya.

Dengan demikian dalam kurun lima tahun kedepan, jika kita serius mengupayakan mitigasi risiko bencana, kita tentu secara signifikan dapat mengurangi jumlah korban yang terdampak berbagai potensi bencana alam yang terjadi di NTT.

Foto ilustrasi stunami dari portalpurwokerto.pikiran-rakyat.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of