Eposdigi.com – Tahun pembelajaran 2021/2022 sudah dimulai. Pandemi covid–19 masih berkecamuk. Pembelajaran masih berlangsung secara daring. Barbagai materi pembelajaran yang tercurah seiring sejumlah pekerjaan rumah (PR) kembali menjadi santapan harian peserta didik.
Terlihat, peserta didik setingkat Sekolah Dasar sudah berdamai dengan pembelajaran non tatap muka ini. Mengaktifkan dan menggunakan aplikasi zoom sesuai dengan tautan yang tersedia, menyalakan atau mematikan kamera, suara, bukan lagi menjadi hal yang asing.
Berbagai informasi dan pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah. Mesin pencari seperti google menjadi tempat belajar alternatif. Persiapan untuk hadir dalam pembelajaran tidak perlu terburu–buru, mulai dari bangun pagi, persiapkan perangkat gawai, atau tablet atau laptop.
Kesibukan pergi dan pulang dari sekolah tidak ada lagi. Kondisi normal baru memunculkan zona nyaman baru pula.
Sepintas, ada pertanyaan yang sekilas mengusik. Akankah pembelajaran di sekolah masih penting di esok hari dan seterusnya? Ketika para peserta didik sudah terlanjur nyaman dengan pembelajaran berbasis daring melalui aplikasi seperti zoom serta perangkat laptop dan atau gawai masing–masing.
Baca Juga: Reformasi Sistem Pendidikan di Tengah Pandemi
Masihkah mereka membutuhkan meja, kursi dan kelas belajar dengan segala pernak-pernik serta perangkatnya di sekolah? Tentu, ketika pandemi covid–19 usai, pihak sekolah berjuang keras lagi untuk mengajak, meyakinkan dan menyiapkan peserta didik, orang tua juga atmosfir sekolah agar pembelajaran dipandang layak dilakukan lagi secara tatap muka di sekolah.
Kenyamanan belajar secara daring dibongkar lagi. Disipilin yang sudah ditanamkan dalam “kelas daring”, di mana, pantauan sebatas layar gawai dan laptop diadaptasikan kepada disiplin ruang kelas fisik–tatap muka. Orang tua dan peserta didik kembali lebih sibuk, mulai bangun lebih pagi, bersiap–siap, berangkat ke sekolah, menghadapi kemacetan (di kota–kota besar).
Kondisi yang sama juga terjadi saat pulang sekolah, mirip dengan kondisi sebelum pandemi. Mental dan fisik juga perlu diadaptasikan kembali. Kondisi pembelajaran daring yang sudah berjalan baik diharuskan kembali ke masa lampau yang sudah ketinggalan zaman. Bukan tidak mungkin bentuk frustrasi yang baru pun muncul.
Boleh jadi, pandemi covid–19 menjadi jembatan untuk menyeberang ke sekolah yang berbasis daring. Ketersediaan jaringan internet dan perangkat daring, baik perangkat lunak maupun keras dari “pusat sekolah”, juga di rumah peserta didik dan guru masing–masing, sudah memadai untuk menjamin kelancaran proses pembelajaran.
Baca Juga: Tantangan Indonesia 4.0 di Bidang Pertanian
Sebaliknya, lahan yang luas dan gedung, serta ruang–ruang kelas yang mentereng tidak diperlukan. Untuk pembelajaran praktikum yang membutuhkan laboratorium, “pusat sekolah” dapat bekerja sama dengan lembaga atau pusat laboratorium yang relevan.
Seragam sekolah sebagai identitas sebuah sekolah pun mungkin tidak perlu. Buku-buku cetak yang didistribusikan dari sekolah pun tidak perlu, karena dapat diakses melalui e-book. Berbagai tutorial pendukung pembelajaran yang relevan dan aplikatif dapat diakses dari saluran Youtube.
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bisa jadi lebih murah. Uang pangkal atau dana pembangunan sekolah mungkin tidak diperlukan lagi. Boleh dikatakan, pengetahuan dapat diperoleh dengan biaya sekolah yang lebih murah. Suka atau tidak, dunia pendidikan harus siap berubah lebih cepat.
Terhadap setiap perubahan, sekolah–sekolah sebagai lembaga pendidikan saat ini perlu mengantisipasi untuk menghadapinya. Sekolah tidak sekedar menjalankan fungsi untuk mentrasfer ilmu pengetahuan dari guru kepada peserta didik secara mekanistis.
Sekolah perlu mempunyai nilai lebih. Kecerdasan para peserta didik dikembangkan secara utuh sebagai makhluk multi dimensi. Bila tidak, sekolah pun sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia robot, seperti yang pernah diungkapkan Rabindranath Tagore (1861 – 1941), Filsuf asal India dalam kritiknya;
“Pendidikan seringkali menjadi pabrik yang memproduksi robot, manusia seolah tak bernyawa, tak punya rasa estetika dan etika dan terpisah dari alam semesta, sangat bertentangan dengan tujuan awal penciptaan manusia. Tuhan menciptakan dunia ini untuk dinikmati manusia”.
Baca Juga : Digitalisasi Administrasi Bisnis dan Tantangan Lembaga Pendidikan
“Namun aktivitas tersebut sering terganggu dengan pelatihan kedisiplinan yang membelenggu. Keterbelengguanan membunuh kepekaan pikiran. Alam adalah maha guru segala disiplin ilmu”.
Bila robot yang dibutuhkan, maka teknologi modern yang mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence) sudah siap menggantikan posisi manusia. Bukan tidak mungkin, sekolah tidak dibutuhkan ketika hanya mengajarkan hal–hal yang bisa dipelajari di luar.
Meskipun kritik ini belum tentu relevan pada semua sekolah, namun, perlu diwaspadai dan diantisipasi juga. Terhadap realitas setiap sekolah sebagai lembaga pendidikan, perlu dilihat secara konstruktif.
Artinya, dalam menciptakan atmosfir pembelajaran yang baik perlu disadari bahwa setiap manusia memiliki construct (bangunan “kebenaran”) dan construe (cara memahami “kebenaran”) yang berbeda – beda.
Membangun sekolah sebagai salah satu “rumah pengetahuan” perlu kerja sama dan keterbukaan terhadap pandangan dari setiap pihak, mulai dari pengelola, para guru dan staf terkait, peserta didik dan orang tua, pemerintah hingga masyarakat pada umumnya.
Baca Juga : Apa yang Menjadi Tantangan Utama jika Sekolah Tatap Muka di Bulan Januari?
Hingga pada gilirannya tumbuh dan berkembang pula “rasa memiliki” di mana belajar bukan untuk (sekedar) sekolah, tetapi untuk hidup. Belajar sejatinya tidak sebatas mengembangkan dan mempertajam logika, nalar, tetapi juga memanusiakan manusia dengan segala aspeknya.
Sekolah juga bukan hanya berbenah untuk menghadapi tantangan hari ini dan esok, tetapi juga perlu membangun karakter yang kuat agar tidak tergilas dan terseret arus zaman.
Peserta didik masa kini tentu sangat akrab bahkan menyatu dengan teknologi informasi dan komunikasi terkini dengan segala perangkatnya. Namun, mereka juga perlu dididik agar tidak menjadi budak teknologi. Lagi pula, sekolah sedang dituntut untuk menciptakan atmosfir merdeka belajar.
Bila ditelusuri dalam tautan http://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/merdeka-belajar, secara konseptual merdeka belajar itu ideal dan bagus. Untuk menterjemahkan dan menerapkannya, serta menyikapi setiap kritik, masukan, dan tantangan, bukanlah perkara gampang. Ini menjadi “PR” sekolah.
Penulis adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: metro.sindonews.com
Leave a Reply