Eposdigi.com – Hari Senin, 21 Juni 2021, Joko Widodo genap berusia 60 tahun. Usia yang bagi banyak orang harus sudah mulai pensiun. Malah kalau Jokowi sebagai panglima ABRI (apalagi panglima besar), maka seharusnya ia sudah sudah siap pensiun setahun sebelumnya. Hari ini ia harus ‘istirahat’
Tetapi ia masih punya 3 tahun (malah ada yang menggagas untuk kalau boleh menambah satu periode lagi). Mengingat sudah memasuki periode kedua, maka pertanyaan yang lebih menarik: pantaskah Jokowi mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa?
Terhadap pertanyaan ini tentu semua orang (kecuali yang selalu nyinyir akan kesuksesan Jokowi) akan menjawab ‘sangat pantas’. Dan memang ini bukan hanya isapan jepol. Kalau banyak yang mengakui dan itu pendukung tentu banyak yang masih bisa berkelit.
Tetapi hampir semua universitas ternama di Indonesia (yaitu Univeristas Negeri dan Universitas Swasta dengan grade ‘A’) telah melamar memberikan gelar itu.
Gelar yang dimaksud adalah “honoris causa’ yang bisa diterjemahakn sebagai gelar kehormatan. Gelar ini diberikan suatu Perguruan Tinggi (negeri atau swasta berakreditasi A) kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.
Dan data cukup mengejutkan. Sampai akhir tahun 2019, sudah ada 21 Perguruan Tinggi yang ingin memberikan gelar itu (tidak tahu sekarang sudah bertambah berapa PT yang telah melamar).
Tetapi jawaban Jokowi sederhana, yang pasti diucapkan sambil tertawa yang jadi khasnya: “Hehehe… gelar saya itu insinyur kehutanan dari UGM. Itu sudah cukup”.
Baca Juga : Warga “Cinta” Jokowi
Sikap ini tentu patut dihargai. Artinya, kita tidak bisa membandingkan dengan orang lain. Sebut saja Megawati yang sudah menerima 9 gelar Doktor Honoris Causa. Bahkan Puan Maharani pun tak ketinggalan.
Penerimaan mereka pun tentu telah dilakukan berdasarkan penelitian dari perguruan tinggi sebelum memberikan kepadanya. Tetapi kalau seseorang menolak, pun patut dihargai. Yang jadi pertanyaan: mengapa menolak?
Terhormat (Bukan Kehormatan)
Dalam Bahasa Inggris (atau Spanyol) kata terhormat dilukiskan sebagai ‘honored’ (Inggris) dan ‘honrado’ (Spayol). Ia merupakan julukan yang diberikan kepada seseroang sebagai pengakuan akan fakta riil tentang apa yang telah dilakukan.
Seseorang menjadi sangat terhormat karena ada korelasi antara kata dan perbuatan. Bahkan perbuatan itu bukan hanya sesekali. Karena berulang kali telah dilakukan secara konsisten maka orang sampai pada kesimpulan bahwa memang ia adalah pribadi terhormat.
Pribadi terhormat sebagaimana julukan yang diberikan sebagai pengakuan pada Jokowi tentu bukan baru sekarang. Sejarah hidupnya, perjalanan dan pendidikan keluarga, dan orang-orang terdekat yang ia temui ketika masih hidup di bantaran kali, merupakan contoh teramat jelas tentang dirinya yang apa adanya.
Bahwa sejak saat itu ia telah menjaga kehormatan dirinya. Karenanya, bila ia melangkah sampai pada titik ini, maka itu merupakan pengakuan bahwa ia memang pribadi ‘terhormat’.
Dalam arti ini maka tambahan gelar Kehormatan tidak sama sekali mengubah dirinya. Ia pun tidak perlu diakui kehormatannya agar menjadi terhormat.
Karena itu, penolakan, dan hanya mau menggunakan gelar ‘insinyur’ justru di situlah kehebatannya. Lebih jelasnya, gelar itu tidak mengubah dirinya.
Memang kalau sebagai presiden, akan diharuskan menambahkan gelar Dr (HC) di depan nama hal mana menjadi keharusan dalam dokumen resmi.
Dengan demikian publik akan tahu tentang gelar itu. Tetapi bagi Jokowi, itu hanya tambahan yang tidak perlu (minimal tidak dirasakan perlu untuk saat ini. Siapa tahu ke depannya ia mau terima?).
Lalu apakah penolakan Jokowi ini dijadikan alasan untuk mengkritik orang yang menerima tidak hanya satu tetapi beberapa? Tentu saja tidak. Bahwa mereka menerima, mungkin saja ditafsir bahwa hal itu dilihat sebagai pengakuan dari dunia perguruan tinggi akan apa yang telah dilakukan.
Dengan kata lain, ia tidak merasakannya secara pribadi tetapi diakui manfaatnya oleh orang lain. Ataupun kalau mereka menambahkan gelar itu di depan namanya, itu pun merupakan sebuah keharusan karena lembaga resmi telah mengakuinya.
Baca Juga : Antara Fahri Hamzah, Fadli Zon, Corona dan Demokrasi Jokowi
Yang mau kita tekankan bahwa Jokowi sebagai pribadi sudah merasa ‘terhormat’ dan diaggap malah diakui sebagai pribadi terhormat. Ia menolak gelar kehormatan karena merasa sudah pas. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan dan telah dianggapnya baik karena lahir dari ketulusan dan kejujuran, maka itu sudah cukup. Pas.
Umur Panjang
Di Hari Ulang Tahun ke-60 tentu tidak ada ucapan lain selain yang biasa disampaikan kepada semua yang berulang tahun: “Panjang Umurnya, Panjang Umurnya, Panjang Umurnya serta mulia, serta mulai, serta mulia”.
Kita menggunakan frase ‘panjang umur’ karena kata umur dan usia itu berbeda makna. Umur mengungkapkan sisa hidup sementara usia menggambarkan jumlah tahun yang telah dilewati. Kita mendoakan panjang umur karena pribadi seperti Jokowi merupakan ‘manusia langka’.
Langka bukan karena ia banyak berbicara dan menggelarkan dirinya sebagai orang besar dan hebat di negeri ini. Ia tidak dalam arti itu. Yang ia lakukan hanyalah meneruskan apa yang dianggapnya baik dan jutaan warga Indonesia mengakui (meski tidak sedikit yang karena terkontaminasi apa, akhirnya nyinyir dengan keberhasilan Jokowi).
Kalau untuk Jokowi, dua kata ini bisa digunakan bersamaan. Kita bersyukur karena 60 tahun usianya, Jokowi tetap mempertahankan dirinya seperti ‘apa adanya’. Kalau bilang Jokowi ya seperti itu yang terjadi selama 60 tahun ia lewati.
Pakaiannya yang ia gunakan kemana-mana ya itu yang ia pakai sebelumnya. Tampaknya ia tidak mau memperberat diri dengan pakaian kebesaran, karena itu hanya membuatnya beda secara eksternal.
Baca Juga : Menunggu Pembuktian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, Bentukan Din Syamsuddin dkk
Tetapi kita berharap bahwa umur itu diperpanjang. Kehadirannya tentu sangat diharapkan bukan karena dirinya sebagai orang hebat (dan mendapatkan kehormatan), tetapi kondisi Indonesia saat ini, masih membutuhkan orang dengan pola seperti ini.
Di sini memang ada kesan ‘pengekalan’ seseorang menjadi presiden untuk satu periode lagi (periode ketiga).
Di sini kita semua sepakat bahwa untuk orang yang hanya mencari kehormatan tidak boleh jadi presiden bahkan satu periode sekalipun. Orang-orang seperti itu hanya akan menjadi beban dan meninggalkan sejarah kelam bagi Indonesia.
Tetapi untuk seorang pribadi terhormat seperti Jokowi yang sudah ‘terhormat’ dari ‘sononya’, gagasan untuk 3 periode bukan merupakan hal yang aneh. Kita bisa membicarakannya meski realisasinya tentu tidak bisa kita paksakan. Ia bisa tetap menjadi harapan.
Dan mengutip Maria Zambrano, dalam Persona y Democracia, la historia sacrifial, 1993 mengatakan hal menarik: El anhelo humano nunca vacio (kerinduan manusia tidak pernah kosong). Artinya kalau kerinduan agar Jokowi masih menjabat lagi itu bukan sekadar kerinduan.
Ia memang berisi pesan karena memang itulah yang terjadi dengan pribadi terhormat seperti dirinya. Happy Birthday, Joko Widodo.
Penulis adalah Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol; Penulis buku Berbuah di Usia Senja (Kanisius, 2017) dan Successful Aging, Sukses di Usia Senja (Gramedia Pustaka Utama, 2020).
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tauangkan kemabli dengan izin dari redaksi / Foto: mediaindonesia.com
[…] Sumber foto: Jokowi, Terhormat Atau Kehormatan (Memahami Penolakan Jokowi Atas Gelar Doktor Honoris Causa) […]
[…] Baca Juga: Jokowi, Terhormat atau Kehormatan (Memahami Penolakan Jokowi atas gelar Doktor Honoris Causa) […]