Surat Dari Adonara – Oktober 2019

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Kenapa harus Kelor?

Eposdigi.com – Surat ini kami tulis, berangkat dari status Ama Robert B Baowollo di laman Facebook. Status pada tanggal 19 Oktober lalu ini, merupakan tanggapan atas berita antaranews.com dengan judul “Jepang minta 40 ton kelor per minggu dari NTT”. Berita ini diturunkan pada 15 Juli 2019.

Ada dua hal menarik dari status tersebut. Pertama; bagaimana menghasilkan kelor sejumlah 40 ton perminggu? Dan kedua; mengapa Jepang begitu meminati  kelor?

Dalam penelusuran kami, selain Jepang, ternyata ada negara lain yang juga meminati kelor asal NTT. Laman antaranews.com kembali mengangkat berita soal ini. 29 Juli 2019, mereka menulis  tentang permintaan 100 ton kelor per bulan dari NTT oleh Papua Nugini.

Sungguh pertanyaan yang menggelitik dari Robert B Baowollo. Bagaimana NTT memenuhi permintaan ratusan ton per bulan tersebut? Apakah orang NTT perlu meninggalkan semua pekerjaan lain untuk memenuhi permintaan tersebut? Semua petani stop tanam yang lain, stop tanggkap ikan, stop sadap tuak, stop tidur, demikian tulisnya.

Baca Juga:

Stunting, ‘SoLor’, dan “Syuting” di Flores Timur, Dari SoLor – Menggempur Stunting menuju Kedaulatan Pangan.

Stunting, ‘SoLor’, dan “Syuting” di Flores Timur, Redefinisi poin-poin Menggempur Stunting.

Kami mencoba menelusuri laman-laman on line untuk mencari jawaban. Pertanyaan besar yang hendak dijawab adalah berapa kilogram daun kelor segar yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilo bubuk kelor kering, seperti yang diminati pasar luar negeri.

Yang paling menjawab pertanyaan ini salah satunya adalah trubus-on line.co.id pada 11/12/2017. Bahwa setiap 10 kg daun basah menghasilkan 1 kg bubuk kelor kering. Dengan demikian, sementara mengesampingkan 100 ton perbulan permintaan dari Papua Nugini, 40 ton daun kering untuk jepang membutuhkan 400 ton daun basah dari petani setiap minggu.

Jika pemerintah NTT serius menjadikan kelor sebagai salah satu produk unggulannya, maka kebijakan yang diambil untuk hal ini pun harus sama seriusnya. Kebutuhan 400 ton daun basah setiap minggu pasti membutuhkan luas areal lahan yang besar. Dari luas lahan tersebut bagaimana skema budidayanya? Apakah dengan skala perkebunan atau di kebun masing-masing petani? Jika dalam skala perkebunan bagaimana skema investasinya? Jika di kebun masing-masing petani bagaimana mengumpulkan 400 ton setiap minggu? Bagaimana skala produksinya?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini pun sangat tergantung pada variable-variabel lain. Semisal mempertahankan budidaya secara organic, lama waktu budidaya dari pembibitan hingga pertama kali panen, memperhatikan waktu panen hingga proses pengeringan, standar mutu produksi, standar mutu pengemasan, kemudian pemasarannya.

Variable terpentingnya  adalah  bagaimana kelor memberi manfaat sebesar-besarnya kepada petani NTT secara langsung dari setiap kg bubuk yang diekspor. Ini tentu sangat tergantung pada skema investasi yang diambil oleh pemerintah NTT.

Berikutnya; Jepang atau Negara manapun lainnya yang meminati kelor tentu karena kandungan nutrisinya. Ini bukan lagi rahasia. Laman-laman on line bertebaran mewartakan kebaikan kelor. Dari kesehatan tubuh hingga kosmetik.

Komposisi Nutrisi daun Kelor

DAUN KELOR SEGAR DAUN KELOR KERING
7 kali Vitamin C Jeruk ½ kali Vitamin C Jeruk
3 kali Kalium Pisang 15 kali Kalium Pisang
4 kali Vitamin A Wortel 10 kali Vitamin A Wortel
4 kali Kalsium Susu 17 kali Kalsium Susu
25 kali Zat Besi Bayam 25 kali Zat Besi Bayam
2 kali Protein Yougurt 9 kali Protein Yougurt
Kandungan Daun Kelor : 20 Jenis Asam Amino, 46 Anti Oksidan, 36 senyawa Anti-Inflamasi

Diolah dari berbagai sumber.

Maka pertanyaannya adalah apakah orang NTT juga meminati kelor sama seperti orang lain di luar negeri sana? Apakah pilihan mengkonsumsi kelor, baik sebagai sayur dari daun segarnya atau produk olahan lainnya untuk mendapatkan manfaat kesehatannya? Atau hanya mengkonsumsinya sebagai salah satu jenis sayuran, yang kebetulan masih berdaun hijau ditengah terik musim kemarau?

Tugas dan tanggung jawab kita semua untuk menjadikan kelor sebagai pilihan konsumsi karena kandungan nutrisinya. Maka tantangan terbesarnya adalah “mencuci otak” semua orang NTT  untuk melihat kelor sebagai sumber nutrisi terbaik. Tidak lagi sekedar sayur.

Ketika semua orang NTT melihat kelor sebagai nutrisi terbaik maka permintaan kelor mungkin tidak sekedar angka 40 ton per minggu. Bisa jadi naik berlipat-lipat kalinya. Ini tentu semakin mensejahterakan petani. Sekaligus menyehatkan masayarakat NTT umumnya. Apalagi ditengah angka prevalensi stunting yang tinggi di NTT. Sangat mungkin dengan kelor , NTT bebas stunting, petani sejahtera, masyarakat sehat bugar. (Foto: dari akun Facebook Maria Loretha)

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of