Retorika Sang Jenderal dan Bayangan Koruptor – Sebuah Pertanyaan untuk Republik

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, janji-janji pemberantasan korupsi menggema dari tampuk kekuasaan, bagaikan menjanjikan fajar baru bagi bangsa yang lelah dihantam rupa-rupa laku culas.

Di sisi lain, bayangan kelam para koruptor masih menari-nari di tengah hiruk pikuk perayaan kemerdekaan, seakan menertawakan segala sumpah serapah yang telah diikrarkan.

Ironi ini, yang nyata di hadapan  kita di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, memunculkan pertanyaan fundamental: sejauh mana sesungguhnya komitmen pemerintah dalam menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya seperti yang sering dilontarkan Sang Jendral yang kini telah jadi Presiden ini?

Baca Juga:

Dalam Seminar “Pertahankan atau Bubarkan KPK”, Bersama 1000 Peserta, Rudi Sembiring Meliala S.Th: Ikrar Gerakan Anti Korupsi

Janji yang Menggema di Hadapan Realitas yang Menggelisahkan

Mari kita ingat kembali dengan saksama. Di panggung-panggung kampanye, dan bahkan setelah menduduki kursi kepresidenan, suara Prabowo Subianto begitu berapi-api. Dengan lantang, beliau menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Sebuah pernyataan yang begitu melegakan bagi masyarakat yang mendambakan keadilan. Lebih jauh, ia bahkan berikrar tidak akan membela kader Partai Gerindra—partai yang diketuainya—jika terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Ini adalah janji yang begitu kuat, sebuah penanda harapan akan tegaknya supremasi hukum dan keadilan. Rakyat menaruh asa besar pada perkataan tersebut.

Baca Juga:

LSM LIRA dan Relawan Prabowo Buka Kotak Pos Prabowo: Jadi Solusi Tampung Info Korupsi Pejabat Negara

Namun, di tengah gelora janji tersebut, sebuah fakta teramat pahit mengoyak rasa keadilan semua anak bangsa. Setya Novanto, terpidana kasus mega korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP) yang merugikan negara triliunan rupiah.

Publik masih ingat betul betapa kasusnya SN ini menjadi sorotan nasional, mengungkap jaring-jaring korupsi yang begitu sistematis dan merusak. Vonis 15 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya pada tahun 2018 seharusnya menjadi tamparan keras bagi para koruptor lain, penanda bahwa negara sangat serius dalam memberantas kejahatan luar biasa ini.

Namun apa yang terjadi? Sejak vonis tersebut, Setya Novanto justru berulang kali mendapatkan remisi, potongan masa tahanan yang seharusnya diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan memenuhi syarat ketat.

Yang paling mengiris hati adalah momentum pembebasan bersyaratnya pada bulan Agustus ini, di saat bangsa Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-80.

Baca Juga:

Korupsi dan Sistem yang Korup : Cara Sederhana Membedah Anatomi Korupsi

Sebuah perayaan yang seharusnya diisi dengan refleksi kemajuan dan cita-cita bersih dari korupsi, justru diwarnai dengan pembebasan seorang mega-koruptor. Apakah ini bukan sebuah ironi yang begitu menusuk nurani keadilan semua kita sebagai anak bangsa?

Kontradiksi antara retorika politik yang tegas dan realitas penegakan hukum yang “lunak” ini bukan hanya sebuah catatan kaki semata. Ini adalah cermin buram yang memperlihatkan sejauh mana keseriusan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabumi Raka dalam memerangi korupsi.

Luka Lama yang Terus Menganga – Data dan Fakta Bicara

Sejarah panjang pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sebuah fakta yang penuh dengan pasang surut. Kita punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan dengan harapan besar, namun dalam perjalanannya tak luput dari terpaan badai dan upaya pelemahan.

Baca Juga:

Hakordia 2023 dan Mimpi Indonesia Tanpa Korupsi

Data dari berbagai lembaga kredibel terus menunjukkan betapa korupsi masih menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi bangsa.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis oleh Transparency International (TI) misalnya, kerap menjadi tolok ukur. Meskipun ada fluktuasi, trennya belum menunjukkan peningkatan signifikan yang konsisten dan berkelanjutan.

Pada tahun 2024, IPK Indonesia berada di angka yang masih memprihatinkan, jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang memiliki komitmen lebih kuat terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih. Angka yang stagnan ini mencerminkan persepsi publik dan pelaku bisnis internasional bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum optimal.

Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagai salah satu lembaga pemantau korupsi terkemuka di Indonesia, secara rutin merilis data mengenai tren penindakan kasus korupsi.

Baca Juga:

Membaca Latar Psikologi Tindakan Korupsi di Flores Timur

Laporan-laporan ICW seringkali menyoroti bagaimana penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi besar masih kerap menghadapi tantangan, mulai dari lambatnya proses hukum, ringannya vonis yang dijatuhkan, hingga fenomena remisi dan pembebasan bersyarat yang dinilai tidak transparan dan melukai prinsip berkeadilan.

Jumlah kasus korupsi yang terungkap memang banyak, tetapi berapa banyak dari kasus tersebut yang benar-benar menyeret aktor-aktor besar dan mengembalikan kerugian negara secara maksimal?

Pertanyaan ini seringkali tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Kerugian negara akibat korupsi juga bukan angka yang main-main. Triliunan rupiah lenyap begitu saja, uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau pengentasan kemiskinan, justru masuk ke kantong-kantong pribadi para koruptor.

Baca Juga:

Apa Hubungan Korupsi Dana Desa Dengan Pendidikan Politik Warga Desa?

Data dari KPK sendiri menunjukkan bahwa jumlah kerugian negara dari berbagai kasus korupsi yang ditangani mencapai angka yang fantastis setiap tahunnya. Namun, upaya pengembalian aset dan uang negara hasil korupsi seringkali tidak sebanding dengan total kerugian yang ditimbulkan.

Ini menunjukkan adanya celah besar dalam sistem penegakan hukum kita, yang memungkinkan para koruptor menikmati hasil kejahatan mereka.

Fenomena Setya Novanto, yang bertubi-tubi menerima remisi dan kini menikmati pembebasan bersyarat, adalah puncak gunung es dari masalah ini. Ini bukan sekadar kasus individual, melainkan sebuah simbol betapa rapuhnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi di hadapan kekuasaan dan pengaruh.

Baca Juga:

Dukung Prabowo Berantas Korupsi dan Hukum Mati Koruptor Kakap, LSM LIRA Sampaikan Lima Maklumat

 Publik tentu bertanya-tanya, apakah ini sinyal bahwa para koruptor kelas kakap dapat bernapas lega, bahwa pintu penjara bagi mereka tidaklah sekuat yang dibayangkan? Apakah ini juga sinyal bahwa janji-janji politik, sekeras apapun diucapkan, bisa jadi hanya sebatas retorika belaka? Bersambung….

Karikatur dari jatam.org

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of