Eposdigi.com – Tidak ada orang yang mengenalnya sebagai sejarawan. Dan barangkali ia sendiri pun mungkin tidak tahu bahwa ia seorang sejarawan.
Tetapi bila sejarawan didefenisikan sebagai orang yang mempelajari dan menulis mengenai masa lalu dan dianggap sebagai yang berwenang atas kajian dan penulisan tersebut, maka yang kurang pada Damianus Lewar Koban (Niko Koban) hanyalah wewenang atas kajian yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Hal yang lain telah ia miliki.
Memang ia bukan orang berpendidikan yang melakukan studi dengan metodologi yang ketat. Tetapi ia memiliki kepekaan dan ketelatenan dalam mengumpulkan artefak yang bermakna. Bukan soal benda yang punya nilai historis tetapi lebih merupakan bernda bermakna simbolik yang direduplikasi.
Peralatan seperti: alat perang (pedang dan tombak), peralatan makan, merupakan benda-benda duplikasi yang bisa dijadikan sarana untuk menjelaskaan kepada anak-anak tentang nilai sejarah bermakna di baliknya.
Baca Juga: Penulis ‘ANJING PELACAK’ : Penulis dan Sejawaran Thomas B. Ataladjar
Nilai apa yang sebenarnya bisa ditiru dari suami dari Lusia Lou Lajar yang selama 30 tahun lebih bekerja hingga pensiun di PT. Superior Coach yg memproduksi mobil Toyota itu?
Auditori Sejati
Saya ingat sekitar tahun 1976. Saya berada di kelas SD kelas 2. Niko saat itu berada di kelas 5 SD. Dia mengajak saya ke ‘wetak’ (rumah tinggal yang sekaligus jadi gudang) dari seorang bapak yang dianggap memahami sejarah: Fransiskus Gala Weka Koban.
Gala Weka yang merupakan juga seorang guru agama mengambil catatannya di sebuah buku tulis (kayer) dengan menggunakan pensil. Dengan data itu, Niko mencatat informasi yang dibacakan, sementara saya yang barusan tahu membaca hanya bisa melihat (dan mengingat hingga kini) model buku kumal yang dikeluarkan.
Berutung, si penulis catatan sejarah itu menulisnya dengan huruf ‘balok’ yang sangat rapi sehingga mudah dibaca.
Baca Juga: Pendidik Kritis, Pembela Kemanusiaan, Pejuang Ekologi Handal Itu Telah Berpulang
Buku ini berisi catatan silsilah dan cerita tsunami yang terjadi di Awololong. Niko kemudian mengajukan pertanyaan tentang perjalanan itu sementara saya hanya menjadi saksi dengan sedikit yang bisa diingat.
Tetapi hal itu membangkitkan dalam diri saya kesadaran (meski sangat sedikit) bahwa ada cerita lokal yang kalau tidak dikisahkan kembali maka akan hilang seiring waktu.
Setelah berjalannya waktu, dan terutama dengan membandingkan anak-anak seumuran itu pada dewasa ini, saya perlu angkat topi dengan ‘bocah’ Niko waktu itu.
Dengan umur yang sangat belia ia sudah merasakan bahwa sejarah lisan (tutur) kalau tidak diwariskan dalam catatan maka akan menghilang begitu saja
Ketika ditanya, mengapa seumuran itu ia berminat pada sejarah, maka pria yang tamat dari SMAK Frater Makassar (1984/1985) mengatakan bahwa keinginan mengetahui sejarah itu tejradi secara alamiah. Sejak kecil ia sangat berminat mengetahui asal usul.
Ia pun menanyakan kepada ayahnya, Yosep Benolo Koban dan ibunya Marta Tada Henakin yang kemudian mereferensikannya untuk bertanya kepada Fransiskus Gala Weka Koban yang merupakan narasumber yang terpercaya.
Baca Juga: Enam Pastor Dari 4 Konggregasi Berjuang Bersama Yayasan Koker Niko Beeker
Dari kisah masa kecil terdeteksi bahwa kecintaan pada sejarah itu antara lain karena ia punya gaya belajar auditorial. Ia suka mendengarkan kisah-kisah orang tua yang mengajarkan suatu nilai di baliknya.
Orang dengan tipe auditori biasanya suka mendengar dan berdiskusi. Karena itu ia selalu mencari narasumber untuk menanyakan sesuatu. Juga ia senang mendengarkan cerita. Tak heran dengan umur yang sangat muda ia bisa mencari tahu sendiri kisah sejarah.
Ciri lain auditori adalah kemampuan untuk menuliskan kembali. Damianus tentu bukan seorrang sejarawan yang sudah menghasilkan buku.
Tetapi dengan media sosial seperti ini terutama facebook dan WA, Niko bisa menulis panjang lebar kenangannya masa kecil tentang sejarah di kampung halaman.
Pernah dalam tulisannya di FB, ia menulis semua nama tempat (kebun) yang ada di kampung. Sebuah rekaman tempat yang tidak bisa diingat oleh setiap orang.
Pria yang pernah kuliah 2 semester di Fakultas Sospol Universitas Hassanundin Makassar dan Akademi Bahasa Asing Makassar itu, justru mengisahkan secara sangat deskriptif satu persatu.
Hal itu menggambarkan bahwa apa yang direkam (didengarnya) semasa kecil tidak saja diingat, tetapi bisa dikisahkan kembali.
Reproduksi Sejarah
Untuk dapat mengategorikan seseorang sebagai sejarawan atau penikmat sejarah, maka kemampuan untuk mereproduksi sejarah menjadi syarat penting. Karya dalam bentuk buku merupakan hal yang paling menonjol. Di sana ketokohan dalam sejarah akan terbukti.
Baca Juga: GUSDURian Peduli Salurkan Bantuan Untuk Pengungsi di Lembata
Tetapi upaya reproduktif itu tentu tidak sebatas tulisan. Ia juga bisa dalam bentuk reprodusi barang adat yang bisa dijadikan ‘tanda mata’ untuk membantu menjelaskan kepada generasi sesudahnya.
Dalam arti ini maka benda-benda yang dikumpulkan ayah dari Maria Teresa Stefania Diana Tada Koban dan Fransiska Felicia Deviana Beto Koban ini patut diperhitungkan.
Niko mereproduksi (duplikasi) benda-benda seperti parang dan tombak. Juga peralatan untuk sirih-pinang yang ketika dilakukan upacara adat sangat dibutuhkan. Niko juga mengumpulkan aneka pakaian tradisional dari NTT yang bisa disewakan.
Tidak hanya itu. Reprodusi dalam bentuk tarian pun tidak kurang. Tarian itu sangat dibutuhkan saat adanya perkawinan adat Lembata NTT. Di situ Niko dengan teamnya sering diundang.
Aneka tarian itu bahkan sempat diliput oleh beberapa TV swasta yang menghadirkan rasa kagum akan disain pakaian adat yang tidak sedikitnya dibuat oleh Niko bersama sesama anggota team.
Di akhir wawancara ia mengatkaan bahwa nilai-nilai sejarah itu harus diwariskan.
Baca Juga: Warga Hadakewa; Dana Desa untuk Beternak Babi
Niko yang sudah 35 tahun berada di Jakarta mengatakan banyak anak-anak yang lahir di luar daerah asal orang tuanya, bila kepada mereka tidak diwariskan nilai-nilai adat maka ditakutkan nilai-nilai itu akan berhenti.
Tetapi agar nilai itu dapat diterima oleh generasi sekarang, maka diperlukan kreativitas, demikian Niko yang sangat dekat dengan para mahasiswa / pemuda asal Lembata yang tergabung dalam KEMADABAJA (Kelompok Mahasiswa-Pemuda Lembata di Jabodetabek).
Kedekatan ini bahkan sudah diretasnya di tahun 1993 saat membentuk IMALEJA (Ikatan Muda-Mudi Lerek Jabodetabek).
Rangkaian kisah tentang Damianus Lewar Koban ini bisa memberi petunjuk bahwa ia memang seorang penikmat sejarah.
Tetapi dari upaya reproduktif merepresentasikan sejarah dalam benda adat dan karya tarian serta aneka pakaian adat asal NTT memberi kemungkinan untuk mengapa tidak mengategorikan Niko sebagai ‘sejarawan?’ Mengapa tidak?
Penulis merupakan Penikmat Sejarah Damianus Lewar Koban.
Leave a Reply