Kepala BGN; Inilah Faktor Penyebab Siswa Keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Program Presiden Prabowo-Gibran Makan Bergizi Gratis (MBG), sudah di-launching pertama kali pada tanggal 25 Januari 2024 di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Peluncuran program ini menandai komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat, khususnya anak-anak dan ibu hamil. 

Pemerintah menargetkan 82,9 juta anak sekolah dan ibu hamil akan menerima manfaat dari program ini. Per bulan Agustus 2025, jumlah penerima manfaat sudah mencapai 8,2 juta orang dengan sudah melibatkan 3.338 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dilihat dari cakupan anggaran, jumlah penerima manfaat, program ini merupakan program ambisius. 

Tahun 2025 misalnya, pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp. 335 triliun. Anggaran ini merupakan bagian dari total anggaran pendidikan tahun 2026 yang mencapai Rp. 757,8 triliun. Jumlah ini adalah bagian dari mandatory spending anggaran pendidikan menurut Undang-undang Dasar yang sebesar 20 persen itu. 

Baca Juga:

Membaca Peluang Flores Timur, Pasca MOU Kemendes PDT – TNI – BGN

Kini pemerintah mulai menyadari bahwa implementasi program ambisius MBG ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan pada awalnya. Salah satu masalah yang melilit pelaksanaan MBG saat ini adalah kasus keracunan makanan yang dialami oleh anak sekolah di berbagai daerah di Indonesia. 

Berdasarkan data yang kami himpun, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah kasus keracunan terbanyak, yakni dengan 5 insiden. DKI Jakarta dengan 4 Insiden, DI Yogyakarta dan Jawa Tengan dengan 3 insiden, Sumatera Selatan, Banten, dan NTT, masing -masing dengan 2 insiden. Dugaan kami, masih banyak daerah lain yang juga mengalami kasus serupa. 

Kata Dr. Merita Arini, kasus keracunan di banyak SPPG ini memperlihatkan bahwa banyak aspek dari implementasi MBG ini belum siap dan harus segera dibenahi. Mengutip hasil penelitian, ia mengatakan, program BMG ini berdampak positif di antaranya bagi siswa karena terbukti meningkatkan konsentrasi belajar dan prestasi belajar siswa. 

Baca Juga :

Mengkonsumsi 9 Jenis Makanan Ini Bisa Tingkatkan Kecerdasan Otak Anak

Oleh karena itu, kata pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, implementasi program ini perlu segera dievaluasi secara menyeluruh. Penyebab keracunan perlu segera ditelusuri dan upaya perbaikan perlu disegerakan agar dampak positifnya dinikmati oleh lebih banyak siswa lagi. 

Lebih lanjut ia menjelaskan, kecil kemungkinan penyebabnya adalah karena makanan sengaja diracun, melainkan akibat kontaminasi. Kontaminasi bisa berasal dari bakteri, virus, jamur atau parasit yang menempel pada makanan, peralatan yang digunakan dalam distribusi atau bahan pangan yang tidak segar, terutama produk hewani. 

“Yang paling sering menjadi penyebab adalah kontaminan. Bisa dari mikroba atau toksin alami pada makanan yang tidak fresh. Produk hewani yang terlalu lama disimpan bisa mengandung histamin dalam kadar tinggi. Karena itu, rantai pengadaan harus benar-benar ketat. Bahan pangan harus segar, proses pengolahan harus higienis,” jelas Merita. 

Baca Juga :

Kandungan Gizi Enam Makanan Ini Sangat Diperlukan untuk Pembentukan Otak dan Meningkatkan Kecerdasan

“Selain itu, alat yang digunakan  baik dalam pengolahan maupun dalam distribusi harus higienis dan steril, hingga jalur distribusi tidak panjang dan lama. Kalau jalur distribusinya panjang dan lama, resiko makanannya terkontaminasi semakin tinggi,” lanjutnya. 

Penjelasan ini sejalan dengan temuan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hidayana, sebagaimana disampaikan dalam dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI seperti dilansir pada laman detik.com. Menurut Dadan, penyebabnya adalah kontaminan lantaran SPPG atau dapur MBG tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditentukan oleh BGN. 

“Dari penelusuran lapangan pasca peristiwa keracunan di berbagai sekolah, kami memperoleh kesimpulan bahwa keracunan yang dialami oleh sekolah-sekolah pada umumnya disebabkan oleh kontaminan lantaran SPPG atau dapur MBG tidak mematuhi SOP yang ditentukan oleh BGN,” jelas Dadan.  

“Di banyak dapur MBG, menurut SOP pembelian bahan baku yang seharusnya baru dilakukan di H-2, namun dapur tersebut sudah membeli bahan pada H-4 sebelum makanan dibagikan. Juga jangka waktu memasak, menurut SOP tidak boleh lebih dari 6 jam. Di banyak dapur makanan sudah dimasak 12 jam sebelum makanan dibagikan,” lanjutnya.

Baca Juga :

Stunting dan Masa Depan Generasi Sebuah Bangsa Bernama NTT

Pelanggaran SOP terkait pengadaan bahan baku, proses memasak yang terlalu jauh dari waktu distribusi, kata Deden,  telah menjadi  sebab kerusakan makanan karena terkontaminasi bakteri, virus, jamur atau parasit yang kemudian menjadi pemicu siswa keracunan tersebut. 

Kita berharap pemerintah segera mengambil langkah serius untuk menindaklanjuti temuan tersebut, sehingga program MBG yang kini sudah berdampak positif terus berlanjut bagi pertumbuhan anak-anak Indonesia. 

Dalam rangka itu, kita mengusulkan agar pemerintah melakukan sertifikasi semua dapur MBG setelah melakukan audit menyeluruh untuk memastikan ketersediaan staf pengelola yang memiliki keahlian gizi dan memastikan adanya SOP kerja yang menjamin mutu makanan bergizi bagi anak Indonesia. 

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: detik.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of