Eposdigi.com – Transisi energi di Jepang dan Korsel tengah gencar dikembangkan. Untuk mengganti bahan bakar fosil terutama batu bara sebagai pembangkit tenaga listrik, Jepang dan korea kini tengah menggandrungi bahan baku ramah lingkungan yaitu pellet kayu.
Pelet kayu digunakan Negeri Sakura da Negeri Gingseng sebagai campuran dalam bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap, yang selama ini 100 % menggunakan bahan baku energi fosil yaitu batu bara.
Transisi hijau ini bahkan kini menjadi kebijakan nasional kedua negara yang dikenal dengan istilah green transformation (GX). Di Jepang, green transformation dijalankan dengan dua model yaitu full-firing yang merupakan pengembangan pembangkit listrik menggunakan biomassa secara penuh.
Baca Juga:
Jepang Temukan Solusi Cerdas Ubah “Sampah” Nuklir Jadi Baterai
Selain Full Firing, dalam rangka transformasi ini, Jepang juga menempuh jalan lain berupa kombinasi antara sumber bahan bakar fosil batubara dengan biomassa yang dikenal sebagai co-firing.
Untuk tujuan green transformation ini, Jepang dan Korea Selatan secara massif mengimpor bahan baku biomassa berupa pelet kayu dari negara-negara berkembang. Salah satunya adalah mengimpor pelet kayu dari Indonesia.
Pelet kayu adalah bahan bakar alternatif yang menggunakan serbuk kayu sebagai bahan utama pembuatannya. Proses pembuatannya mulai dari pengeringan, pengepresan dan pemadatan serbuk kayu. Pelet kayu biasanya berbentuk silinder dengan panjang 6-30 mm.
Tidak hanya sebagai bahan bakar pembangkit listrik, Pelet kayu memiliki banyak fungsi lain. Pelet kayu juga digunakan dalam industri restoran sebagai bahan bakar memasak atau memanggang. Juga pengganti batu bara pada mesin-mesin boiler penghasil uap.
Baca Juga:
Pelet kayu atau wood pellet dalam proses pembakarannya menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Debu hasil pembakaran pellet kayu tidak merupakan limbah berbahaya, bukan seperti debu batu bara yang masuk kategori limbah B3
B3 merupakan akronim dari Bahan Berbahaya dan Beracun, yang sifat dan konsentrasinya mengandung zat yang beracun dan berbahaya, yang secara langsung maupun tidak langsung merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan lingkungan, manusia dan mikroorganisme lainnya.
Wood Pallet memiliki tingkat kalori yang lebih tinggi dari batubara. Artinya wood pallet atau palet kayu lebih baik dari batubara dalam menghasilkan panas. Limbah batu bara merupakan limbah B3 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2021, yang penanganannya masih memerlukan biaya tersendiri.
Karena itu, dari sisi efisiensi palet kayu merupakan pilihan yang ‘ramah lingkungan’ dan lebih menguntungkan dari sisi bisnis. Tapi apakah palet kayu yang juga diklaim sebagai green energi ini, benar-benar ramah lingkungan?
Baca Juga:
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita lihat dulu data berikut. Nilai ekspor pelet kayu dari Provinsi Gorontalo sebesar Rp335,58 Miliar hingga Oktober 2024, atau sebesar 272.955 ton, oleh PT Biomassa Jaya Abadi yang menjadi eksportir terkemuka pellet kayu, ke Jepang dan Korea Selatan.
Tidak hanya palet kayu, Jepang juga mengimpor wood chips atau potongan kayu kecil dari Indonesia. Laman kompas.com(24.12.2024) yang mengutip Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebutkan bahwa ekspor wood chips Indonesia ke Jepang meningkat 4.377.5 % sejak tahun 2012 hingga 2023.
Sementara ekspor wood palet atau palet kayu ke Jepang meningkat hingga 254.275%. Angka prosentase ini menunjukan bahwa dalam kurun waktu sama seperti ekspor wood palett, Indonesia mengalami peningkatan sebesar 2.500 kali lipat.
Total nilai ekspor pelet kayu dari Indonesia sebesar 60.250 ton atau sebesar US$8.190.132. (fwi.co.id/24.12.2024)
Baca Juga:
Nilai ekspor yang tinggi ini, diduga merupakan hasil dari subsidi yang diberikan oleh Jepang dan Korea Selatan atas produksi pelet kayu, walaupun sekarang Korea Selatan telah menarik subsidinya terkait produksi pellet kayu.
Kembali pada pertanyaan diatas, apakah palet kayu yang juga diklaim sebagai green energi ini, benar-benar ramah lingkungan?
Permintaan pelet kayu sekaligus subsidi atasnya dari Jepang dan Korea Selatan seperti dikutip dari mongabay.co.id (16.03.2025) terbukti mengingkatkan Hutan Tanaman Industri (HTI) atau kebun kayu energi di Indonesia.
Peningkatan hutan tanaman industri atau kebun kayu energi jelas merupakan ancaman nyata bagi manusia yang hidupnya dekat dan selaras dengan hutan alami. Hutan alami menyimpan cadangan C-Carbon 254 ton, sedangkan hutan produksi menyimpan C-Karbon sebanyak 107.86 ton karbon.
Baca Juga:
Flores Timur, Bisakah Mencontoh Hutan Bambu Lestari di Ngada?
Laman yang sama juga mencatat bahwa potensi deforestasi hutan terkait energi biomassa ini akan mencapai 360.000 hingga 2,1 juta hektar per tahun.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa transisi energi Jepang merusak hutan Indonesia.
“Beberapa bulan lalu, saya mengunjungi Jepang dan melihat bagaimana hutan-hutan mereka dijaga, bahkan yang ditengah kota. Ironisnya Indonesia harus menanggung deforestasi akibat upaya transisi energi yang dilakukan Jepang,” kata Bhima (mongabay.co.id/16.03.2025).
Transisi energi, terutama bioenergy harus berlandaskan keadilan. Benar-benar ramah lingkungan dan benar-benar memberi keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal pemilik hutan.
Foto ilustrasi dari kompas.com
Leave a Reply