Eposdigi.com – Sejak tahun 2004 setelah dilakukan beberapa kali amandemen atas UUD 1945 dan UU turunannya, sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia mulai mengalami perubahan secara signifikan dari pemilihan kepala daerah tak langsung menjadi pemilihan langsung.
Tentu perubahan ini dinilai sebagai sebuah langkah luar biasa menuju satu sistem pemerintahan yang makin demokratis.
Kebijakan Negara atas sistem pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan rakyat karena kegagalan rezim orde baru menjalankan sistem pilkada tak langsung. Mayoritas rakyat menilai bahwa selama rezim orde baru berkuasa, telah melahirkan sistem pemerintahan oligarki.
Tipe pemerintahan oligarki cenderung berwatak otorier yang selalu diwarnai oleh adanya praktek abuse of power yang dilakukan oleh para pemimpin dihampir semua level pemerintahan.
Pada masa pemerintahan rezim orde baru dibawah sistem pilkada tak langsung, memang telah menghasilkan stabilitas politik di daerah, tetapi disisi lain telah membungkam suara dan kritik rakyat bahkan akses rakyat atas sumber daya negarapun cenderung dibatasi.
Akibatnya kepentigan dan aspirasi rakyat selalu berseberangan dengan kehendak wakil rakyat yang ada di parlemen. Bahkan menjelang pilkada tak langsung, yang selalu terdengar adalah praktik money politics atau jual beli suara sebagai tradisi politik yang tak terhindarkan dari pengelola partai politik dan para politisi yang dipercaya mewakili aspirasi rakyat.
Dalam sistem pemerintahan oligarki, ketimpangan relasi kuasa antara penguasa dan rakyat di daerah sangat nyata, sehingga kepala daerah yang terpilih tidak merasa bertanggungjawab secara langsung atas peri kehidupan rakyatnya.
Ia lebih memilih menjaga hubungan baik dengan wakil rakyat di parlemen yang telah memilihnya dari pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Itulah buah dari praktek sistem pilkada tak langsung selama rezim orde baru berkuasa.
Oleh karena itu pilkada langsung yang diterapkan dewasa ini sejatinya merupakan aktualisasi dari mandat rakyat yang telah dituangkan dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang dipilih secara demokratis.
Selain itu pilkada langsung sebagai arena pembelajaran politik bagi warga guna memperkuat posisinya dihadapan Negara serta sebagai media mempersiapkan calon pemimpin baru yang lebih demokratis di level nasional.
Itu berarti ketika ada wacana yang mencoba mengganti sistem pilkada langsung kembali ke sistem pilkada tak langsung karena alasan praktek mahar politik dan jual beli suara, maka tentu hal ini patut dipertanyakan apakah pilkada tak langsung mampu menghapus praktik politik kotor di lembaga eksekutif dan perwakilan?
Namun publikpun harus tetap realistis bahwa memang tak ada satu sistem pilkada yang sempurna lepas dari kekurangannya. Mengingat implikasi negatif yang ditimbulkan oleh pilkada.
Baca Juga:
Mencari format Pilkada Ideal dalam Praktek Otonomi Daerah
Sangat sulit dibayangkan apa yang akan terjadi kelak bila kita hendak kembali lagi ke masa lalu di tengah belum membaiknya pembenahan organisasi parpol dan mentalitas para politisi di lembaga perwakilan dan pejabat eksekutif yang mayoritas belum pulih dari praktek korupsi warisan masa lalu di negeri ini.
Oleh karena itu bila kita ingin kembali dengan sistem pilkada tak langsung agar ongkos politik bisa diminimalisir maka mesti dipastikan bahwa organisasi parpol, para pejabat Negara mampu mengendalikan diri dari praktek KKN atau bersih dari godaan praktek politik uang dan transaksi jual beli suara.
Pilkada tak langsung hanya bisa diterapkan kembali bila sudah dikaji secara komprehensif. Apa yang diusulkan oleh Mendagri Tito Karnavian agar pilkada langsung dievaluasi guna mencegah praktek korupsi kepala daerah dan menghindari potensi konflik horizontal, perlu dipertimbangkan dari berbagai sudut pandang terutama terkait sistem asismetris dalam pilkada yang diusulkannya.
Perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (Perludem) menegaskan ada dua solusi yang ditawarkan untuk menangani mahalnya ongkos pilkada, pertama dari aspek pembiayaan pilkada bisa dilakukan pemetaan pengelolaan tahapan pilkada melalui penetapan e-rekapitulasi serta desain surat suara lebih murah dan efisien serta pemutahiran data pemilih dengan konsolidasi data berbasis e-KTP.
Selain itu menata kembali metode kampanye yang tak harus berorientasi pada unjuk massa besar-besaran; kedua dari segi ongkos politik, pendekatan tidak harus berbasis program tetapi berorientasi figur.
Sebab itu parpol harus berbenah guna memotong mata rantai praktek ilegal berbiaya tinggi. Karena semua masalah bersumber pada regulasi pilkada, perilaku parpol dan penegakan hukum, namun selama ini masih setengah hati dalam pelaksanaannya, (Liputan6.com, 18/112019).
Negara dalam konteks ini mestinya lebih awal melakukan upaya perbaikan atas akar persoalan terkait pembenahan regulasi pilkada, penguatan kapasitas organisasi parpol dan penegakan hukum. Parpol dan para politisi harus menjadi terdepan dalam upaya mengendalikan ongkos politik pilkada berbiaya tinggi.
Sistem dan mekanisme pilkada langsung dan tak langsung yang telah diterapkan di negeri ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu pandangan dari Mendagri dan Perludem serta para pihak lain tentang sistem dan mekanisme pilkada perlu direspon melalui diskusi dan dialog serta dikaji lebih dalam dari beragam perspektif di ruang publik.
Hal ini dimaksudkan agar sinergitas gagasan berbeda dapat menghasilkan sebuah formula pilkada baru yang lebih sedikit mudaratnya dan lebih banyak kebaikannya. Atau dalam bahasa hukum disebut “minus malum” dan “maximum bonum”.
Sebab apapun produk sistem demokrasi yang dihasilkan oleh karya manusia pasti tak ada yang sempurna. (Foto : kompas.com)
[…] Baca juga: Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Pilkada Langsung […]