Eposdigi.com –Pos Kupang, berturut-turut tanggal 18, 19 dan 20 /9/ 2019 melansir berita pengusiran pekerja migran asal NTT di PT Wahana Tritunggal Cemerlang (WTC) dan PT Inovasi di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Dari PT WTC berkumlah 612 orang dan sekitar 300 orang dari PT Inovasi. Mereka diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi hanya karena para buruh gigih menuntut hak atas pekerjaan dan upah yang adil.
Kedua perusahaan tersebut mestinya dapat menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan melalui jalan dialog saling menguntungkan sesuai Konstitusi dan UU Ketenagakerjaan. Sehingga tidak mesti mengorbankan orang-orang yang selama ini menggantungkan hidup dari perusahaan.
Akar persoalan yang memicu aksi mogok kerja ratusan buruh asal NTT dari dua perusahaan tersebut adalah karena tidak dipenuhi hak dasar buruh, seperti upah minimum kabupaten, iuran BPJS ketengakerjaan dan iuran BPJS kesehatan.
Tuntutan pekerja sejatinya tidaklah berlebihan, karena yang dituntut adalah hak-hak dasar yang seharusnya diterima pekerja sebagai konsekuensi telah memenuhi kewajiban sebagai pekerja di perusahaan.
Perusahaan harusnya juga wajib memenuhi memenuhi hak-hak pekerja. Posisi tawar yang kuat sebagai pemilik modal tidak selayaknya digunakan untuk memperdaya dan mengeksploitasi tenga kerja. Tanpa peduli dengan hak-hak dasa mereka.
Para pekerja jangan hanya dijadikan obyek pemburuan rente untuk keuntungan para pemilik modal semata-mata.
Manajemen perusahaan harus sadar bahwa kita adalah negara hukum. Sebab itu hukum harus menjadi panglima dalam menyelesaikan setiap persoalan. Termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dimana saja di dalam wilayah NKRI.
UUD 1945 pasal 27 ayat (2) berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kemudian dipertegas kembali dalam BAB XA tentang hak asasi manusia. Pasal 28D ayat (2); Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Dua pasal yang ditetapkan dalam UUD 1945 merupakan pasal pamungkas bagi perlindungan yang hakiki atas hak hak sebagai warga negara, tapi sayangnya masih sulit dibumikan.
Amanat konstitusi ini sesungguhnya memastikan dan mempertegas perlindungan negara atas warganya. Bukan hanya pajangan belaka tetapi mesti dibumikan dalam tindakan dan kehidupan nyata. Karena itu dalam rangka memenuhi hak-hak tersebut pemerintah seharusnya bertanggungjawab, setidaknya melalui penyediaan lapangan kerja formal dan informal dengan melakukan affirmative action di lapangan.
Negara juga mesti memberikan kebebasan bagi semua warga negaranya agar dapat bekerja di semua lapangan kerja sesuai profesinya masing-masing.
Dalam rangka pelaksanaan konstitusi, negara kemudian mengeluarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 151 ayat (1) Karyawan atau buruh harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan kerjanya berakhir. Perusahaan harus berusaha untuk bernegosiasi dengan karyawan mengenai PHK tersebut agar tidak terjadi PHK lagi.
Ayat (2) Walaupun PHK tidak dapat dihindari, maka PHK wajib dirundingkan terlebih dahulu oleh perusahaan dan karyawan atau buruh apabila karyawan/buruh yang bersangkutan tidak menjadi bagian dari perusahaan. Dan ayat (3) jika perundingan yang tercantum pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan kerja, perusahaan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan/buruh setelah mendapatkan persetujuan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152 ayat (1) permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis beserta alasannya kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan pasal 153 perusahaan dilarang melakukan PHK dengan alasan jika karyawan dan atau buruh: berhalangan masuk kerja karena sakit selama 12 bulan secara terus menerus; berhalangan menjalankan pekerjaan karena memenuhi kewajiban terhadap Negara.
Masih ada sejumlah pasal lain yang memberi perlindungan bagi para pekerja. Apabila pasal-pasal dalam konstitusi dan undang-undang ketenagakerjaan itu dicermati secara seksama maka sejatinya tak mudah melakukan PHK dan tindakan pengusiran sepihak kepada para buruh.
Dengan demikian konflik kerja yang menimpa ratusan buruh migran asal NTT harusnya disikapi oleh pemerintah daerah dengan langkah-langkah konkrit, karena yang diusir dari kamp oleh perusahaan melalui para preman dan komunitas adat setempat dengan cara paksa sejak tangggal 15/9 2019. Bukan hanya para pekerja saja yang diusir melainkan para ibu hamil, bayi dan anak-anak para pekerja, yang harusnya mendapat perlindungan yang lebih memadai.
Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah daerah kabupaten Kutai Timur dan jajaran di bawahnya yang telah melakukan upaya perlindungan dan berbagai langkah negosiasi walaupun masih menemui jalan buntu. Karena itu publik NTT sangat berharap pihak pemerintah provinsi NTT harus lebih pro aktif mengambil langkah-langkah nyata.
Sebagaimana telah dilakukan oleh LBH Veritas yang kini hadir di tengah buruh dan langsung memberi perlindungan hukum bagi para pekerja beserta istri dan anak-anak.
Pemberitaan mengenai hal ini telah menjadi perhatian publik dan seharusnya mengusik pikiran dan nurani seluruh anggota DPRD NTT, agar bersuara dan bertindak lebih lantang atas nama jeritan tangis para pekerja, para ibu dan anak-anak yang diusir paksa keluar dari kamp.
Mestinya saat ini anggota DPRD yang terhormat dapat berkordinasi dengan Dinas Nakertrans Provinsi NTT guna menyikapi persoalan secara serius serta mengambil inisiatif untuk segera hadir di tengah-tengah buruh migran. Dengan mengunjungi, melihat dan merasakan problemnya dari dekat.
Menyapa dan berinteraksi secara langsung dengan mereka adalah bagian dari kerja dewan. Kehadiran fisik anggota DPRD asal NTT di tengah-tengah ketertindasan akan mengurangi penderitaan dan memberi harapan baru melihat masa depannya. Itulah wujud kehadiran Negara.
Publik NTT sedang menanti langkah solutif apa yang bisa diambil oleh para anggota DPRD NTT yang terhormat. Ketika masyarakat sebagai pekerja mengalami perlakuan tidak adil dan penindasan nyata dari tempat kerjanya, mestinya wakil rakyat ada disampingnya.
Apakah karena mereka terlalu jauh sebagai pekerja migran di Kalimantan sehingga bapak/ibu yang terhormat tak bisa berbuat apa-apa atas nama mereka?
Tidak elok sebagai anggota DPRD NTT hanya sekedar memberi pernyataan dari jauh melalui media dalam menyikapi persoalan ini.
Tentu hal ini cenderung dilihat publik sebagai langkah membangun citra politik semata. Sejatinya inilah momentum yang tepat merealisasikan janji-janji politik yang telah diucapkan selama masa kampanye. (Foto: victorynews.id)
Leave a Reply