Eposdigi.com – Pada saat yang lalu, katakanlah pada zaman Orde Baru, salah satu pembeda antara universitas negeri dan universitas swasta adalah dari segi biaya kuliah yang dibayar, di mana pada zaman itu uang kuliah di universitas negeri terkenal murah.
Hal ini terjadi karena, subsidi pemerintah pada universitas negeri pada zaman orde baru termasuk besar. Seperti dilansir pada laman Theconversation.com, besarnya subsidi biaya pengelolaan universitas negeri dari pemerintah berkisar 10 persen dari APBN, bahkan pada tahun 1982/1983 besarnya subsidi melonjak hingga 25 persen.
Meskipun di akhir masa orde baru tahun 1997/1998 turun menjadi hanya 4,5 persen. Inilah yang menyebabkan pada zaman itu, biaya kuliah di universitas negeri sangat murah dan relatif terjangkau oleh mahasiswa, terutama dari kelompok masyarakat kelas menengah bawah dan kelas bawah.
Setelah era reformasi, terjadi berbagai perubahan dalam mengelola universitas negeri. Di antaranya universitas negeri diberi otonomi pengelolaan misalnya melalui pemberian status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), di mana universitas diberi otonomi untuk mencari biaya pengelolaan sendiri.
Di antaranya universitas diizinkan mencari dana untuk membiayai pendidikan dengan mendirikan badan usaha sendiri, melakukan riset yang menghasilkan hak paten yang dapat dijual secara komersial dan menarik dana dari mahasiswa untuk membiayai operasional universitas.
Baca juga :
Bersama dengan otonomi ini, pemerintah mengurangi subsidi biaya pengelolaan universitas negeri. Di era kebijakan otonomi, kepada universitas negeri melalui kebijakan seperti PTNBH, pemerintah seperti dilansir pada laman VOA, hanya memberi subsidi sebesar 0,6 – 1,6 persen dari APBN. Itu hanya sebesar 8,6 triliun. Ini sangat kecil.
Angka tersebut masih sangat jauh dari standar ideal yang ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). sebesar 2 persen dari APBN. Ini disayangkan karena mandatory spending-nya pendidikan, menurut undang-undang sebesar 20 dari APBN.
Di sisi lain, mengelola universitas negeri secara otonom ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Hingga kini, masih jarang PTNBH mendirikan unit usaha yang keuntungannya digunakan untuk membiayai operasional universitas negeri. Kita juga masih jarang mendengar penelitian universitas negeri menghasilkan paten yang dapat dijual untuk mendapatkan uang untuk membiayai operasional universitas.
Satu-satunya yang bisa dilakukan saat ini adalah menarik biaya pendidikan dari mahasiswa. Inilah yang menyebabkan lahirnya kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara bertingkat hingga 8 tingkatan, agar mahasiswa dapat membayar sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua mereka.
Selain UKT, ada kebijakan penarikan biaya lain dari mahasiswa seperti Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) atau Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Pada kebijakan ini universitas negeri mengadopsi tradisi penarikan biaya pendidikan dari Universitas Swasta yang sudah dilakukan sejak lama.
Baca juga :
Peringkat 50 Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Versi UniRank Tahun 2024
Dalam implementasi, kebijakan-kebijakan ini membuat biaya pendidikan di universitas negeri semakin mahal, apalagi ditambah banyak data kemampuan ekonomi orang tua tidak akurat sehingga mahasiswa miskin diminta bayar lebih mahal, sedangkan mahasiswa yang bisa bayar mahal membayar lebih murah serta terjadi lonjakan yang tidak masuk akal.
Ini semua membuat kuliah di universitas negeri terasa seperti kuliah di universitas swasta. Bukan hanya jumlah jenis biaya pendidikan yang dibayar sama tetapi juga jumlah bayarannya sama mahalnya, apa lagi mutunya pun tidak lebih baik, dari universitas swasta.
Kita bersyukur bahwa setelah diprotes oleh mahasiswa Universitas Negeri Jenderal Soedirman, Universitas Negeri Riau, Universitas Negeri Sumatera Utara, dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari DPR, Presiden Jokowi dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim membatalkan kenaikan uang kuliah.
Kita berharap universitas negeri diberi subsidi lebih besar agar lebih murah, sehingga dapat diakses oleh semua kalangan terutama oleh masyarakat kelas bawah untuk melakukan mobilitas sosial ke kelas masyarakat yang lebih baik. Itu adalah salah satu tugas penting negara.
Meskipun pendidikan di universitas saat ini bukan kategori wajib belajar, tetapi bukan tersier. Tugas pemerintah justru harus membuka akses bagi masyarakat lebih lebar ke universitas, karena justru melalui universitas peluang masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial diperbesar.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: sumsel.suara.com
Leave a Reply