Eposdigi.com – Pada tanggal 6 Oktober 2023 yang lalu, di depoedu.com, saya menulis kisah tentang orang ini. Namanya Zhang Xinyang. Ia dijuluki anak ajaib karena di usia 10 tahun ia sudah kuliah dan meraih gelar sarjana di usia 13 tahun, lalu melanjutkan program pasca sarjana dan lulus di usia 16 tahun.
Setelah lulus Pasca Sarjana, Zhang kemudian lanjut mengambil program doktor di usia 16 tahun. Karena jenuh dari kegiatan belajar, ia mengalami masa studi yang lama di program doktor yakni selama tujuh tahun, namun berhasil lulus di usia 23 tahun.
Dengan gelar doctor di tangan, Zhang memasuki dunia kerja. Zhang mengalami bahwa reputasinya sebagai anak ajaib, mantan juara Olympiade Matematika, mahasiswa termuda, ternyata tidak banyak pengaruhnya dalam proses mencari kerja.
Setelah melamar ke berbagai perusahaan, Zhang kemudian diterima kerja paruh waktu sebagai dosen di Universitas Ningxia. Tidak lama berkerja di Universitas ini, Zhang memutuskan untuk berhenti.
Ia menikmati pekerjaan mengajar namun tidak kuat menghadapi tuntutan kerja seperti disiplin kerja, dan keharusan menyelesaikan pekerjaan administratif yang menurutnya tidak banyak gunanya. Zhang kemudian mengundurkan diri.
Baca juga :
Dengan beberapa temannya, ia kemudian terlibat dalam sebuah proyek pendidikan. Namun karena hasilnya tidak menggembirakan, ia memutuskan untuk berhenti dari proyek tersebut dan kini ia mengangur.
Kini di usia 28 tahun, dengan gelar doktor di tangan, Zhang menganggur dan hidupnya masih bergantung pada sokongan dana dari orang tuanya. Dalam sebuah wawancara yang dirilis pada laman People’s Daily, Zhang menyebut bahwa ternyata dia merasa tidak siap memasuki dunia kerja.
Ternyata ketidaksiapan bekerja memang banyak dijumpai pada mereka yang dalam pendidikannya mengalami proses yang digegas seperti dalam kasus Zhang. Pada umumnya mereka kehilangan inisiatif, kehilangan kemampuan problem solving juga kreativitas.
Ini terjadi karena pada umumnya pendekatan pembelajaran pada kelas akselerasi tidak berorientasi pada proses melainkan hasil, yang banyak melibatkan latihan terkait otak kiri seperti mengingat, berpikir logis, dan analisis.
Proses pendidikan yang digegas tidak banyak melibatkan otak kanan seperti latihan kreativitas dan problem solving. Padahal kesiapan bekerja juga banyak ditentukan oleh seberapa sering latihan terkait otak kanan.
Baca juga :
Selain tidak siap memasuki dunia kerja, dalam wawancara tersebut, ia juga menyampaikan bahwa pilihannya untuk menganggur didasari oleh niat balas dendam kepada kedua orang tuanya, karena semasa Zhang kecil, orang tuanya memaksa dirinya untuk terus belajar.
Ia merasa momen bermain semasa kecil tidak pernah ia nikmati seperti teman-temannya, karena harus terus-menerus belajar, selain untuk mengikuti berbagai kompetisi, juga karena tuntutan sebagai peserta kelas akselerasi di sekolahnya yang membuatnya lulus SMA di usia 10 tahun.
Kini di usia 28 tahun, sehari-hari Zhang menghabiskan waktunya dengan bermain game yang ia sukai. Nampaknya keinginan bermain yang ditekan ke alam bawah sadarnya di usia kanak-kanak, karena harus belajar, kini muncul dan menjadi kesenangan yang terlambat.
Benar kata Neil Postman, seorang Sosiolog Amerika bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanak mereka karena kehilangan masa bermain, di usia dewasa mereka akan menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Mudah-mudahan kasus Zhang Xinyang ini, membuat kita belajar untuk mempertimbangkan peserta didik; tahap perkembangan dan kebutuhan mereka, dalam kebijakan pendidikan dan pengajaran kita, sehingga peserta didik dapat bertumbuh secara maksimal, sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Kita berharap, ketika mereka lulus, mereka siap mengahadapi tantangan hidup, termasuk tantangan dalam karier mereka.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: Tribunnews.com
Leave a Reply