Rambu, Izinkan Saya Menyalami Kepergianmu

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Saya memberanikan diri untuk menulis tentang ini, setelah dalam-dalam membenamkan diri dalam keheningan, sembari memanggil kembali segala ingatan perkara satu titik lampau yang pernah membuat saya nyaris tenggelam.

Beberapa hari lalu, tepat pada tanggal 10 Oktober, sebuah kabar yang mengejutkan tersiar di mana-mana. Dari mulut ke mulut, dari media ke media. Pagi itu, sesosok manusia yang tak lagi bernyawa ditemukan di dasar jembatan Liliba. Diduga ia tewas karena bunuh diri.

Seiring dengan kabar yang mulai menyebar itu, kabar-kabar lain lalu lalang, mendatangkan ragam spekulasi yang barangkali hingga kini pun, entah siapa yang bisa mengumandangkan kebenarannya.

Gadis itu bernama (alm) Rambu Kudu. Seorang mahasiswi D3 Farmasi di Poltekkes Kemenkes Kupang. Saya secara pribadi, tak pernah mengenalnya. Tapi kisah kepergiannya mengundang saya untuk turut memberikan diri pada ketiadaannya.

Alm. Rambu Kudu meninggal dunia tepat pada peringatan Hari Kesehatan Mental yang secara global didedikasikan sebagai momentum bagi kita untuk menyadari akan pentingnya kesehatan mental kita.

 Baca Juga:

Membumikan Tajuk Kesehatan Mental Melalui Media Sosial

Isu kesehatan mental selama ini kerap terbelenggu oleh berbagai stigma, memaksa siapa saja yang pernah merasa sakit, mesti menyangkal dan bersembunyi jauh.

Entah keributan apa yang berkecamuk dalam benak alm. Rambu Kudu, yang membawanya pada sebuah keputusan yang mungkin bagi kita terlihat sebagai sebuah ‘kekeliruan’.

Kabar burung yang beredar, Rambu Kudu putus asa lantaran persoalan pendidikan. Konon katanya, ia sudah di – DO (drop out) dari kampus tempatnya belajar. Saya mencoba memeriksa status almarhum di laman PDDIKTI. Tercatat, almarhum tidak lagi aktif sejak semester 8 sampai 10.

Namun demikian, saya menarik diri jauh-jauh dari kesimpulan pribadi yang mengimani kabar yang selama ini terdengar. Entah seperti apa persisnya masalah yang ia hadapi, saya tak punya hak apapun untuk menghakiminya.

Ketika saya menonton sejumlah video di platform TikTok yang menghadirkan informasi tentang alm. Rambu Kudu, tak sedikit yang menyalahkan pihak kampus, termasuk dosen, yang dinilai abai terhadap persoalan mahasiswanya itu.

Saya juga tidak tahu persis bagaimana sistem pendidikan yang selama ini berlangsung di Poltekkes Kemenkes Kupang. Tetapi saya tahu bahwa setiap institusi pendidikan tinggi memiliki aturan tertentu yang mengikat bagi para mahasiswa yang menimba ilmu di sana.

 Baca Juga:

Isu Kesehatan Mental Menjadi Isu Penting Untuk Mewujudkan Cita-Cita Indonesia 2045

Saya juga menolak untuk menghakimi keluarga alm. Rambu Kudu yang dalam beberapa postingan di media sosial terlihat sebagai pihak yang menekan korban untuk lekas menyelesaikan pendidikannya.

Bagi saya, kita semua adalah korban. Kita adalah korban dari standar kehidupan yang entah siapa yang menetapkannya, kapan dan dimana ditetapkan serta untuk apa ditetapkan. Kita adalah korban dari runtutan tuntutan yang mengharuskan kita untuk hidup sesuai dengan standar-standar itu.

Celakanya, standar paling naif yang sadar atau tidak, telah menyeret setiap kita adalah perihal “KESUKSESAN”. Bahwa kita semua harus sukses, entah bagaimana caranya. Bahwa kita semua tidak boleh gagal. Bahwa kita semua harus selalu menjadi hebat, menjadi besar, menjadi kuat.

Adalah haram bagi kita untuk terlihat lemah. Seolah hidup ini tidak memberikan kita kesempatan untuk menyelami diri sendiri, untuk bertolak lebih dalam ke diri sendiri. Alhasil, kita seakan dipaksa untuk mengingkari perasaan-perasaan yang muncul dalam diri kita.

Ketika kita merasa lelah dan tak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan, yang kita butuhkan adalah waktu untuk beristirahat, untuk mengambil jeda, untuk membiarkan diri kita bersatu dengan pengalaman itu. Sayangnya, yang acap kali terjadi justru sebaliknya.

 Baca Juga:

Mental Health for PBI Students

Kita diminta untuk terus bertahan, untuk terus kuat, untuk terus berjalan, padahal kedua kaki kita rasanya sudah tak lagi punya daya, bahkan untuk sekedar berdiri, kita tak lagi mampu.

Sejak kecil, kita dididik untuk mengejar kesuksesan, tapi kita tidak dididik untuk menghadapi kegagalan. Kita hanya diminta untuk terus mencoba lagi ketika kita gagal dalam percobaan pertama, tetapi kita tidak diminta untuk mencoba jalan lain bilamana jalan sebelumnya tidak mengantarkan kita pada keberhasilan.

Yang kita tahu, kalau kita gagal mencoba membuat kue, kita harus terus mencoba sampai berhasil, tapi kita tidak bisa berhenti membuat kue dan beralih untuk membuat jenis makanan lainnya. Seakan kesuksesan kita hanya akan diakui ketika kita berhasil membuat kue. Tak ada jalan lain selain itu.

Tetapi benarkah bahwa pengakuan orang lain akan eksistensi diri kita menjadi hal yang begitu penting, sehingga kita mesti mengejar pengakuan itu?

Apakah kemerdekaan untuk menjalankan hidup hanya sekedar teori? Ataukah ajaran kehendak bebas yang diimani oleh umat Katolik (karena saya seorang katolik) hanyalah semua dogma agama tanpa arti?

Saya menyadari bahwa tidak semua orang dengan tendensi bunuh diri, bisa terbuka dengan orang lain. Mereka dipenuhi ketakutan-ketakutan akan anggapan orang lain terhadap mereka. Bukankah kita pun kerap memberondong mereka dengan penghakiman tertentu, malah tak jarang kita pun ambil bagian untuk menyalahkan mereka.

 Baca Juga:

Ini Tanda-Tanda Yang Terlihat Ketika Kamu Bahagia! Ada berapa yang ada Padamu?

Terkadang, ketakutan akan kegagalan menjadi lebih besar daripada ketakutan akan kematian. Padahal sebenarnya, yang ingin dihentikan ialah rasa sakit yang mendatangkan sesak di dada. They just want to end the pain, not the life. But they think the only way to end the pain is by ending the life…

Satu hal yang saya harap bisa kita pahami bersama bahwa tidak semua orang memiliki kekuatan mental yang sama. Tidak semua orang bisa kuat hanya saat kita berkata ,”ayo pasti bisa!”

Dan kadang ketika mereka ingin membuka diri dengan kita, yang perlu kita lakukan hanya satu : mendengarkan. Mendengarkan dengan intensi untuk memahami, bukan untuk membalas.

Cukup berikan diri untuk mendengar dan memahami mereka, sembari menawarkan bantuan bilamana kita sanggup. Kita mesti berhenti menghujani mereka dengan penghakiman-penghakiman lain yang justru akan semakin membuat mereka tertekan.

Untuk siapa saja, kapan saja, dan di mana saja : belajarlah untuk selalu memvalidasi setiap perasaan yang muncul dalam dirimu. Semakin Anda berusaha untuk mengingkarinya, semakin Anda akan terpuruk di dalamnya. Biarkan perasaan itu tinggal dan diam dalam diri Anda, sampai Anda benar-benar menemukan jalan lain yang bisa Anda pilih.

 Baca Juga:

Media Sosial Menjadi Salah Satu Penyebab Depresi Pada Anak dan Remaja Kita. Apa yang Harus Kita Lakukan?

Kesehatan mental adalah isu yang penting. Kesehatan mental adalah isu kita bersama. Berhenti melabeli orang-orang yang menyuarakan kesehatan mental, sebagai orang-orang yang cari perhatian atau kurang kerjaan.

Untuk semua penyintas bunuh diri, keluarga korban bunuh diri, semua yang memiliki tendensi bunuh diri, Anda tidak sendiri. Saatnya kita mulai menengok satu sama lain, memastikan bahwa dunia ini akan menjadi ruang yang aman buat siapa saja untuk bertumbuh dan berkembang, tanpa takut untuk menjadi diri sendiri.

Tak apa jika merasa lelah. Tak apa jika ingin beristirahat.

Hidup bukan untuk mengejar kesuksesan sesuai apa kata orang. Rayakan hal-hal baik dalam hidupmu dan belajarlah untuk memeluk dirimu sendiri, dengan segala luka yang ada padanya.

We are God’s great big family. Make sure that none will left behind.

Beristirahatlah dalam damai abadi, Rambu…

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of