Eposdigi.com- Untuk melawan perubahan iklim banyak orang telah melakukan upaya mengurangi emisi Co2. Salah satu upaya mengurangi emisi Co2 adalah penggunaan mobil listrik. Pemerintah Indonesia telah mendorong upaya penggunaan mobil listrik akhir-akhir ini dengan berbagai cara.
Walaupun mobil listrik tidak menghasilkan emisi Co2 komponen-komponen vital yang diperlukan untuk membuat ataupun untuk membuat mobil listrik berjalan memiliki risiko-risiko tersendiri.
Salah satu komponen utama mobil listrik yang sering digunakan adalah lithium-ion yang digunakan karena mengisi daya lebih cepat, bertahan lebih lama, dan memiliki kepadatan daya lebih tinggi untuk kekuatan baterai lebih lama dalam kemasan yang lebih ringan.
Baca juga: 20 Pekerjaan Baru, Butuh Keterampilan Baru. Apa Antisipasi Sekolah?
Ada alternatif lithium ion yaitu Nickel-Metal Hydride (NiMh) tetapi kontra yang ada dalam baterai tersebut seperti harga yang mahal, penghasilan panas yang signifikan serta self discharge yang tinggi membuatnya kurang populer walaupun kelebihan yang ada di baterai tersebut seperti mudah didaur ulang dan usia pakai yang lebih lama daripada lithium ion
Masalah yang ada dalam baterai lithium-ion saat melakukan pertambangannya adalah kemungkinan dapat merusak tanah serta pencemaran air selama melakukan pertambangan. Masalah yang ada selain pencemaran lingkungan adalah bagaimana dapat merusak ekosistem sekitar.
Untuk menghasilkan 1 ton lithium diperlukan 2,2 juta air yang biasanya diambil dari sumber terdekat. Pertambangan lithium juga berisiko menyisakan banyak lubang di tanah apabila tidak ditambal.
Pembangkit listrik Indonesia masih didominasikan oleh batu bara yang menghasilkan 58 juta ton CO2e20 per tahun yang membuat Indonesia penghasil metana terbesar ke-8. Sudah ada upaya oleh pemerintah untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik seperti pengurangan pembangkit listrik tenaga gas dan bahan bakar serta peningkat pada pembangkit listrik tenaga air serta lainnya
Baca juga: Apa Sebab Badai PHK Menerjang Startup?
Indonesia masih akan menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara sampai 2056 untuk komitmen nol emisi 2060. Selama perjalanan ke 2060 Indonesia akan berhenti pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara serta minyak bumi akan dikurangi dan dihentikan pembangunan yang baru.
Masalah yang diberikan oleh lithium-ion adalah saat sudah selesai usia penggunaan dan dibuang dimana dapat memberikan risiko pencemaran lingkungan berupa air limbah dan emisi.
Baterai mobil listrik sangat susah didaur ulang karena memiliki komponen-komponen di dalamnya yang perlu dipisahkan agar dapat didaur ulang. Pendaurulangan mobil listrik tidak semudah pendaur ulangan mesin mobil karena tidak seperti mesin mobil, mobil listrik memiliki bahan kimia yang harus secara hati-hati dipisahkan.
Untuk mendaur ulang baterai mobil listrik diperlukan Alat Pelindung Diri (APD) untuk mendaur ulang. 1 baterai mobil listrik diperlukan setengah jam serta harga yang mahal untuk melakukannya.
Baca juga: Krisis Rusia – Ukraina Dan Semangat Kepahlawanan Kita Sehari-Hari
Tetapi sekarang dikembangakan teknologi untuk memudahkan pendaur ulangan dengan berbagai cara seperti penggunaan mesin penghancur. Mesin penghancur yang digunakan harus memiliki komponen spesifik agar tidak membuat kebakaran seperti cairan yang menghilangi keadaan oksigen, yang merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan api.
Setelah dihancurkan terdapat 2 materi yaitu massal hitam dan logam. Satu metrik ton baterai yang masuk akan menelan biaya kira-kira Rp 1,4 juta untuk diproses, dengan penjualan massal hitam sekitar Rp 4,7 juta atau lebih dan baterai logam seharga sekitar Rp 7,8 Juta (digunakan USD > IDR dengan inflasi rupiah yang berlaku sekarang).
Dengan semua hal tersebut bukan berarti bahwa mobil listrik selalu lebih buruk daripada mobil BBM. Sebenarnya baik buruk mobil listrik terhadap lingkungan tergantung dengan sumber energi untuk mengisi ulang baterainya serta cara pemproduksian baterai.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh MIT menunjukkan mobil berbahan bakar gas seperti Toyota Camry ataupun Honda Clarity membuat 350 gram Co2 per 1,6 kilometer sedangkan mobil bertenaga listrik membuat 200 gram Co2 per 1,6 kilometer di Amerika Serikat.
Baca juga: Masa Depan Energi Kita, Fosil Atau EBT?
Departemen Energi Amerika Serikat menunjukan bahwa mobil listrik menghasilkan 1.783 kg CO2 per tahun, dibandingkan dengan 5.186 kg Co2 untuk kendaraan bensin. Ketika peneliti MIT melakukan perhitungan untuk Virginia Barat yang padat batu bara, mobil listrik sebenarnya menghasilkan lebih sedikit Co2 daripada mobil bensin.
Mobil listrik memiliki hal negatif dalam proses pertambangan lithium dan pembangkit listrik yang tidak menggunakan energi dapat diperbarukan, sedangkan minyak bumi memiliki proses penambangan, pengolahan (kilang minyak), transportasi (pipa/truk/kapal) lalu digunakan.
Sebagai contoh kapal pengangkut minyak dapat menghasilkan 125 juta ton Co2 per tahun. Menghasilkan 300.000 barel per hari akan menyebabkan emisi CO2 berkisar antara 0,8 hingga 4,2 juta ton CO2 per tahun.
Walaupun pembangkit listrik tenaga batu bara dan minyak bumi ada, banyak negara sudah mulai menguranginya. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi jumlah PLTU batu bara dan PLTD untuk mentransisi ke energi lebih ramah lingkungan.
Baca juga: Tantangan Kedaulatan Energi, Belajar Dari Krisis Rusia – Ukraina
Sisa masalah mobil listrik adalah keperluan pertanggungjawaban serta pendaur ulangan agar dapat meminimalisir pencemaran lingkungan. Tetapi tidak semua sampah mobil listrik didaur ulang dan justru dibuang oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang dapat berpotensi pencemaran apabila sembarangan.
Alternatif yang lebih baik dilakukan untuk sementara waktu adalah pengurangan penggunaan mobil pribadi dan memperbanyak penggunaan sepeda serta transportasi umum karena walaupun mobil listrik tidak seburuk mobil BBM masih ada faktor produksi dan lainnya yang berpotensi merusak lingkungan.
Penulis ada siswa SMP Kolese Kanisius Jakarta, kelas IX. Foto: Tribun.com
Leave a Reply