Eposdigi.com – Berita itu seperti kilat menyambar: tahun 2019 silam, sebuah kawasan lahan kering di ujung timur Pulau Flores, sangat luas plus ‘bonus’ sebuah danau obyek wisata unggulan di daerah itu digadai masyarakat kepada investor asing seharga Rp.1.000.000,- per hektar selama 30 tahun (mohon koreksi saya jika informasi ini keliru).
Artinya dalam satu tahun, tanah itu hanya bernilai Rp.33.333,-. per hektar. Jika dibagi 12 bulan, maka setiap bulan tanah kami itu per hektar dihargai cuma Rp.2.777,- sebuah nilai yang tak cukup untuk membeli satu biji obat sakit kepala atau karcis masuk ke kawasan wisata itu sekalipun..
Tentu ini bukan satu-satunya kasus masyarakat dan pemerintah daerah berselingkuh dengan investor menjual bumi, hutan, laut, sumber pangan dan sumber air kami kepada investor dari luar dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Klik judul tulisan terikut ini untuk membaca link terkait:
Logika Sempit Dibalik Pendirian Pabrik Semen di Desa Satar Punda
Sudah lama dada kami sesak dengan praktek pejabat lokal ‘membawa sesajen’ tanah dan air kami kepada investor luar/asing dengan alasan yang sama sambil merusak dan mematikan sumber kehidupan masyarakat adat.
Perselingkuhan elit politik lokal dengan investor bahkan telah memasuki praktek transaksional yang sangat menjijikkan. Di tahun 80an ada istilah “tanda tangan di atas perut” sebagai sesajen memuluskan keluarnya izin bagi investor (HPH dan sejenisnya).
Di pulau Yamdena (Tanimbar) sejak tahun 80an kami mengelus dada karena ¾ kawasan hutan di pulau itu oleh pemerintah daerah diberikan kepada pengusaha dari Jakarta. Para pejuang menentang pemberian konsesi itu (Ikatan Cendekiawan Tanimbar) kemudian ‘ditakdirkan mati rame-rame’ dalam kecelakaan pesawat sebuah maskapai di Ambon.
Klik judul tulisan terikut ini untuk membaca link terkait:
Kemudian masih di pulau yang sama muncul wacana membangun bandar udara bertaraf internasional dengan investor dari negeri gingseng dengan jaminan konsesi laut di kawasan itu untuk sekian puluh tahun. Entah seperti apa nasib kebijakan keblinger itu hari ini.
Kebiasaan menyiapkan karpet merah dan melakukan ritual menyiapkan ‘sesajen’ untuk investor seperti itu kemudian merambah ke kepulauan Aru, Seram, Halmahera, bahkan ke pulau-pulau yang lebih kecil lagi di gugus kepulauan yang sudah kecil itu seperti Nusalaut, Wetar dan sekarang bahaya menunggu Marsela.
Satu per satu kawasan hutan dan laut milik masyarakat adat di kawasan itu jatuh ke tangan pengusaha dari luar. Masyarakat setempat terusir dari tanah mereka sendiri. Ada yang bertahan dan/atau balik ke tanah dan bekas kampung halaman mereka tetapi untuk menjadi kuli di atas tanah mereka.
Klik judul tulisan terikut ini untuk membaca link terkait:
Warung yang Kian Memesona, Investor Kelas Dunia Pun Kepincut
Belanda, Inggris dan Jepang sudah lama pergi, lama sekali dari negeri ini. Dulu kita usir mereka. Sekarang kita undang “mereka”.
Hari ini kolonial baru itu bernama Belanda itam, Inggris pribumi, Jepang keribo – ada di antara masyarakat sendiri. Mereka menjadi pengundang sekaligus centeng pengawal kepentingan investor.
Sebagai centeng yang bertugas melindungi kepentingan investor mereka harus bisa mengusir hingga mencambuki dan memukul anak-anak kampung setempat yang dianggap mengganggu kepentingan tuan investor.
Datanglah babak baru prahara dalam perubahan mentalitas manusia pribumi yang sebelumnya adalah manusia merdeka: mental kuli, mental centeng, mental penjilat, mental pecundang dan berlakunya hukum rimba demi prinsip the survival of the fittest.
Klik judul tulisan terikut ini untuk membaca link terkait:
Jebakan Pasar Bebas: Konversi Lahan Pertanian Pangan Menjadi Lahan Tanaman Perdagangan
Ah, sialan sekali kau yang melahirkan istilah ini: Herbert Spencer, Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace – istilah yang kini jadi nyata di negeri kami.
Sebagai centeng mereka tentu mendapat upah – siapa tahu cukup untuk nyaleg atau diajak jalan-jalan ke Bali, Surabaya dan Jakarta untuk melihat Monas dan pulang (semoga) bisa bawa ‘monas’ mereka yang sakit rupa-rupa.
Mau tanya apa yang harus kita lakukan? Ah, pertanyaan (dan jawaban) yang terlalu klasik.
Foto ilustrasi dari harapanrakyat.com
Leave a Reply